Sabtu, 27 Juli 2013

Kebudayaan



Kebudayaan

            Sejumlah orang memberikan arti kebudayaan dengan pengertian yang sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai pikiran, karya dan apapun hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan. Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai kesenian. Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh dari pendefinisian yang memadai.
            Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan dengan sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun yang merupakan hasil pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang asali dari manusia hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia dalam kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedangkan yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait dengann sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan lain-lain yang sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan merupakan konstruksi budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari dengan alat berupa sendok, piring dan garpu, serta cara mengunyah makanan yang tidak bersuara, semua itu merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian maka hal penting yang harus disadari adalah bahwa konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki perbedaan di damping sejumlah persamaan.
            Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi penyumbang bagi usaha membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Apa yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin akan tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat itu berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik di kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim benar-salah, baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak ada ukuran yang dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya.
            Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan konsep yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar kehidupannya dan memberi arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002). Dalam pandangan dasar ini kebudayaan digambarkan sebagai sebuah teks, kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para anggotanya dan menjadikannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan menginternalisasikan suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk perasaan maka seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah kebudayaan mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga mereka memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga mereka memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan orang lain.
            Fakta penting lain mengenai kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan itu bersifat terbuka. Ia merupakan entitas ideasional. Karena sifatnya yang terbuka, maka kebudayaan itu mudah ditembus, dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai kebudayaan lain. Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin terjadi pengaruh satu kebudayaan   oleh kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak tersusun atas beraneka ragam kebudayaan yang mandiri, tertutup dan bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi dan traksaksional atau pertukaran yang konstan.
            Pertukaran dan penyesuaian terjadi setiap saat dan disetiap waktu. Makanan yang kita makan, buku yang kita baca, musik yang kita dengar, konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan, pengetahuan, semuanya itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk disadari agar pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan sebagaimana orang membuat kategori sederhana semisal : budaya kulit hitam, budaya kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain sebagainya.
            Sebagaimana pengertian kebudayaan yang demikian luas, maka sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian material dan non-material. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat berupa barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak lagi benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif manusia. Semua benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang, manusiapun memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup. Tetapi, jika binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam dan tinggal memakainya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan mengolahnya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya.
            Kebudayaan non-material terdiri dari kata-kata atau bahasa yang dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi atau berinteraksi sosial. Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta sejumlah kebiasaan juga merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang memfasilitasi umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkinkan oleh kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta norma-norma sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di sesuatu masyarakat, itu semua merupakan wujud dari kebudayaan non-material. Berjabat tangan, berjalan di sebelah kiri, berciuman ketika bertemu dengan teman lama serta masih banyak lagi contoh yang dapat disebut sebagai kontruksi budaya.
            Untuk lebih memudahkan usaha memahami kebudayaan non-material ini, berikut secara agak terinci akan diuraikan tentang bahasa dan komunikasi, norma, kebiasaan, tata kelakuan, lembaga, nilai, dan hukum.

            1.         Bahasa dan komunikasi
            Sebagaimana di depan sudah sedikit disinggung bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah mahluk pekerja, maka keadaan ini sangat berbeda dengan binatang. Sekalipun demikian, segala aktivitas (atau lebih tepatnya disebut gerakan) binatang tentu memerlukan sarana yang memudahkan. Binatang memiliki 'bahasanya' sendiri. Banyak binatang dapat bertukar perasaan melalui geraman atau auman, dengkuran, panggilan untuk kawin dan suara-suara lain yang hanya dimengerti oleh sesama binatang. Beberapa binatang mengeluarkan bebauan atau menggerak-gerakkan badannya untuk menyampaikan pesan bagi yang lain.
            Bunyi dan gerakan ini bukanlah bahasa, karena masing-masing lebih merupakan reaksi naluriah daripada reaksi yang terkonstruksi dari hasil learning process. Kita tidak tahu apakah anjing menggonggong karena mengajak kawin anjing yang lain. Barangkali anjing tersebut hanya sekedar ingin menggonggong saja. Sepengetahuan kita, tidak ada binatang yang mengeluarkan suara khusus untuk maksud khusus yang ditujukan pada binatang sejenisnya. Tidak juga gerakan khusus yang dimaksudkan untuk menandai maksud khusus pada binatang lainnya. Dengan demikian maka bahasa tidaklah dimiliki oleh binatang, tetapi hanya dimiliki oleh manusia.
            Suatu bahasa hanyalah semacam tanda yang berupa suatu susunan suara dengan arti khusus pada setiap suara. Suatu teriakan emosional dan naluriah bukanlah suatu bahasa sekalipun suara yang demikian itu mengandung makna. Bayi menangis tanpa menggunakan bahasa untuk sekedar memberitahukan bahwa ia sakit, lapar atau popoknya minta diganti. Bahasa barulah muncul ketika terdapat perkaitan makna dengan sesuatu bunyi.
            Belakangan ini, muncul peristilahan yang terkait dengan bahasa, yakni bahasa tubuh. Sejumlah artikel di majalah bahkan sampai ada sebuah buku yang secara khusus menguraikan tentang bahasa tubuh. Bahasa tubuh hanyalah dimaksudkan untuk menjelaskan ada perubahan arti yang diperagakan melalui gerak isyarat dan sikap tubuh. Meskipun bahasa tubuh mungkin dapat merupakan bentuk komunikasi, tetapi ia bukanlah bahasa dalam arti sebenarnya karena bahasa terbatas pada komunikasi melalui simbol kata-kata.
            Hanya manusialah yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Pertukaran simbol untuk merubah arah perasaan bagi manusia difasilitasi oleh bahasa untuk berinteraksi sosial. Tanpa bahasa dan komunikasi, dengan sangat mudah kita membayangan kehidupan manusia di dalam goa dan ranting pohon.

            2.         Norma
            Sejumlah besar pengertian norma merujuk pada aturan moral yang disetujui untuk dilaksanakan dan tidak dilaksanakan. Dengan demikian ia (norma) merefleksikan apa yang disetujui dan yang tidak disetujui oleh anggota suatu masyarakat untuk dilakukan. Norma menunjukkan kepada anggota masyarakat tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan. Berbeda dengan hukum, maka norma tidak memiliki sanksi yang tegas kecuali secara moral.
            Pada dasarnya, norma sosial adalah hasil dari kehidupan bermasyarakat. Kecuali memang ia menjadi bagian kehidupan sosial ia juga tercipta dari proses sosial dalam suatu masyarakat. Norma tumbuh menjadi batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Ia berada di luar individu yang mengatur perilaku individu dalam interaksi sosialnya. Bahkan, sejak sebelum individu itu dilahirkan, norma tersebut telah ada.
            Individu dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima seperangkat aturan tidak tertulis yang berbentuk norma. Individu menginternalisasikan aturan-aturan, menerima aturan tersebut sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah dan ia dikendalikan tidak saja melalui rasa takut untuk merugikan individu lain tetapi juga melalui perasaan bersalah apabila melanggarnya.
Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat Barat dimana kerja keras merupakan suatu keutamaan yang sangat dihargai akan mengakibatkan perasaan bersalah pada individu bila ia tidak mengerjakan apa-apa.
            Sekalipun norma menghadirkan pembatasan-pembatasan tingkah laku dan mengendalikan berbagai tindakan sosial individu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak merasa mendapat tekanan atau paksaan karena mereka telah menginternalisasi norma tersebut untuk kemudian menjadi standar tingkah lakunya sendiri. Sepanjang hidup individu disosialisasikan untuk menerima begitu saja bermacam-macam norma dari kelompok yang beraneka ragam sebagaimana keluarga, teman sebaya, sejawat di kantor, dan kolektivitas lain memungkinkan ia terlibat di dalamnya.
            Dalam setiap kelompok sosial, tentu norma yang hidup sangat mungkin berlainan. Bentuk-bentuk humor tertentu akan diterima baik dalam suatu kelompok tetapi sangat mungkin dikatakan sebagai 'berselera rendah' di kelompok lain. Dalam hal tertentu tingkah laku dianggap wajar dalam suatu masyarakat, tetapi mungkin dianggap menyimpang di masyarakat lain. Di kalangan selebriti berciuman dan bersentuhan fisik dianggap normatif, mungkin tabu bagi masyarakat dalam kelompok bukan selebriti.
           
            3.         Kebiasaan
            Ada begitu banyak kebiasaan yang dilakukan oleh setiap masyarakat. Bahkan masyarakat primitifpun memiliki kebiasaan. Tentu kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat primitif tidaklah sebanyak masyarakat modern. Kepemilikan kebiasaan yang merentang mulai dari masyarakat primitif hingga modern ini menunjukkan bahwa pengulangan tindakan yang terpola itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak masyarakat itu ada.
            Di mana-mana kehidupan sosial selalu penuh dengan berbagai masalah bagaimana merebut kehidupan dari alam, bagaimana membagi hasil usaha atau keuntungan, bagaimana kita berhubungan secara serasi dengan orang lain dan sebagainya. Manusia telah mencoba setiap cara 'yang mungkin' untuk menghadapi masalah semacam itu. Berbagai masyarakat telah menemukan berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Suatu kelompok dapat saja makan satu kali dalam sehari dan boleh makan sambil berdiri, serta selalu berjabat tangan jika bertemu seseorang kawan. Hal yang sama berlaku untuk ratusan bahkan ribuan macam kebiasaan.
            Setiap kebiasaan merupakan sekumpulan dari sejumlah kemungkinan yang pengerjaannya. Awalnya tentu melalui coba-coba datau mendapati situasi kebetulan yang mengibatkan pengaruh yang tidak disadari, kemudian seseorang mengerjakannya serta mengulang-ulangnya. Dari pengerjaan pengulangan atau berulangkali ini maka sampailah seseorang pada penerimaan pengerjaan itu sebagai sesuatu yang wajar dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kejadian semacam ini terjadi turun temurun, dari generasi yang lebih tua ke generasi yang muda.
            Kebiasaan (folkways) hanyalah suatu cara yang lazim dan wajar serta diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Ia (kebiasaan) memiliki kekuatan mengikat sebagai perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Berjabat tangan, memberi hormat pada yang lebih tua, selalu memberikan sesuatu melalui tangan kanan, merupakan kebiasaan-kebiasaan dari sesuatu masyarakat sekalipun hal yang sama mungkin tidak terjadi pada masyarakat lainnya.                                             Sebagaimana telah disinggung pada bab 2 bahwa kebiasaan bukanlah bawaan sejak lahir, namun adalah hasil pembelajaran dari pengalaman. Pengalaman atau pembelajaran tersebut diperoleh manusia sejak masa kanak-kanaknya melalui usaha peniruan dari sejumlah tindakan yang telah ada dalam lingkungan sosialnya.

            4.         Tata Kelakuan
            Jika kebiasaan berangsur-angsur dipahami tidak semata-mata sebagai cara bertindak namun juga menghadirkan pembatasan-pembatasan atas tindakan individu, maka kebiasaan tadi akan berubah menjadi tata kelakuan atau mores. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang berfungsi sebagai penjaga harmoni sosial. Dengan mengacu pada tata kelakuan, seseorang individu anggota masyarakat dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menghindari penyimpangan yang tidak dikehendaki oleh masyarakatnya.
            Penting disadari, bahwa tata kelakuan merupakan batas perilaku individu dalam kelompok masyarakat. Tata kelakuan akan melarang atau membolehkan sesuatu tindakan itu dilakukan di suatu masyarakat. Ia diharapkan menjadi pusat acuan tindak individu demi terpeliharanya harmoni sosial. Dengan demikian, mengingat tata kelakuan itu merupakan produk masyarakat, maka dengan sendirinya setiap masyarakat memilik tata kelakuan yang masing-masing cenderung berbeda.
            Horton dan Hunt (1996) mengajukan pengertian tentang tata kelakuan sebagai gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain. Ada kandungan irrasionalitas dalam tesis tentang tata kelakuan ini, yakni terletak pada keyakinan bahwa sebagai gagasan yang luhur pantang bagi siapapun anggora masyarakat yang melanggarnya. Karena, pelanggaran dapat berarti undangan bagi hadirnya bencana pada masyarakat pemiliknya (pemilik tata kelakuan tersebut). Orang luar dapat saja mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah masuk akal, namun demikian memang itulah kenyataannya, dan pernyataan tidak masuk akal dari orang luar tersebut tidak serta merta menghadirkan klaim benar salah untuk masyarakat yang meyakininya.
            Tata kelakuan itu dapat saja meliputi sifat tabu terhadap sejumlah jenis makanan tertentu semisal babi dan kuda. Dapat juga tabu terkait dengan kesopanan seperti melarang muka, tumit, pergelangan tangan, dada, atau apa saja yang terbuka, karena dianggap tidak sopan. Berkata-kata jorok mungkin saja merupakan pelanggaran bagi tata kelakuan yang mengutamakan kelemahlembutan dan kesopanan.
            Tata kelakuan tidak ditemukan atau dipikirkan atau disusun dengan sengaja karena seseorang menganggap hal itu adalah gagasan yang baik. Tata kelakuan muncul dari keyakinan kelompok yang ada dalam masyarakat bahwa suatu tindakan khusus akan merugikan dan harus dilarang, serta tindakan khusus akan dianjurkan mengingat kemanfaatannya bagi orang lain.
            Tata kelakuan pada abad pertengahan membenarkan Gereja untuk membiarkan pelacuran dan bahkan turut menikmati hasilnya. Orang-orang yang memerintahkan penyiksaan dan pembakaran orang-orang biadab bukanlah orang-orang kasar yang jahat, tetapi orang yang terhormat sekaligus bermartabat. Tetapi, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, kini tata kelakuan itu sudah semakin sulit ditemukan eksistensinya.

            5.         Lembaga
            Lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tatacara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu. Dalam sebagian besar masyarakat yang kompleks, ada lima lembaga dasar, yakni keluarga, agama, pemerintahan, pendidikan, dan kegiatan ekonomi. Lembaga termasuk diantara kontruksi budaya yang paling resmi dan bersifat memaksa. Jika kebiasaan dan tata kelakuan hanya bersifat mengikat, maka lembaga melintasi sifat tersebut hingga bersifat memaksa.
            Yang perlu diingat adalah bahwa lembaga selalu merupakan sistem gagasan dan perilaku yang terorganisasi yang menghasilkan perilaku kolektif. Dengan demikian sebenarnya, lembaga tidak memiliki anggota tetapi memiliki pengikut. Sebagai contoh, agama bukanlah suatu kelompok orang, tetapi merupakan sistem gagasan, kepercayaan, praktek dan hubungan. Jadi agama bukanlah manusianya, agama adalah suatu sistem keyakinan dan prakteknya. Sama halnya jika kita contohkan bahwa sepakbola adalah sistem permainan, sedang team adalah para pemainnya. Team adalah asosiasi orang-orang yang memainkan permainan itu sendiri.
            Suatu lembaga setidaknya mencakup tiga hal, yakni (1) seperangkat pola perilaku yang telah memiliki standar, (2) serangkaian tata kelakuan, sikap dan sejumlah nilai yang mendukung, dan (3) adanya tradisi. Cakupan ini  mendekatkan pengertian bahwa lembaga sebagai suatu sistem disertai kecenderungan praktek gagasan yang telah secara umum mendapatkan dukungan dan atau toleransi dari sejumlah nilai.
            Ada seseorang mengatakan bahwa dulu masyarakat kita tidaklah mengenal istilah pacaran, tetapi sekarang pacaran sudah melembaga. Pemahaman atas teks tersebut adalah bahwa seseorang ingin mengatakan jika tindakan pacaran itu sudah diterima secara umum di masyarakat sebagai bagian yang perlu dari pendewasaan dan penemuan pasangan perkawinan. Jika seseorang yang lain mengatakan bahwa sapaan assalamu'alaikum itu sudah melembaga, maka itu berarti bahwa sapaan tersebut telah diterima secara umum dan dibakukan sebagai salam ketika terjadi pertemuan seseorang dengan orang lain.
            Ada beberapa unsur dalam lembaga sosial, di antaranya adalah (1) simbol kebudayaan. Manusia telah menciptakan berbagai simbol yang berfungsi sebagai pengingat kelembagaan. Nasionalisme akan dengan cepat diingatkan oleh bendera dan lambang negara. Begitu juga lagu kebangsaan. Lagu kebangsaan akan dengan mudah menuntun pendengarnya untuk segera ingat pada negaranya. Gedung juga dapat menjadi simbol lembaga. Karenanya, sulit untuk membayangkan agama tanpa masjid dan desa tanpa rumah.
            (2) Kode perilaku. Pengikut suatu lembaga selalu harus siap melaksanakan perannya dalam lembaga tersebut. Peran itu biasanya terungkap dalam tindakan tertentu yang resmi semisal janji setia pada negara, janji setia pada pasangan perkawinan, kode etik paramedis, kode etik advokad, janji sarjana dan lain sebagainya. Sekalipun janji-janji tersebut pada akhirnya dilanggar, tetapi telah menjadi penanda atau kode perilaku yang membatasi dari perilaku lain yang bukan merupakan mainstream perilaku lembaga.
            (3) Ideologi. Secara sederhana ideologi dapat dipahami sebagai seperangkat gagasan yang menyetujui sesuatu norma. Ideologi menjelaskan mengapa seseorang harus bertindak demikian dan tidak yang lain. Ia dapat menjadi pembenar yang masuk akal terhadap sesuatu tindakan berdasar pada sesuatu norma lembaga. Contohnya, kenakalan remaja mungkin saja diterjemahkan secara berbeda oleh lembaga yang satu dengan lainnya karena ideologi masing-masing lembaga tersebut berbeda.
           
            6.         Nilai
            Banyak pidato, bahkan hingga berbuih-buih sudut bibirnya, menyelipkan kata nilai dalam frekuensi yang tinggi. Tata nilai, nilai budaya, nilai-nilai luhur, nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai reformasi, menjadi sejumlah kata yang dapat dengan mudah didengar dari pidato-pidato kantoran hingga kampanye lapangan. Bersamaan dengan itu, banyak pula sebenarnya orang yang tidak begitu paham tentang apa yang dimaksud dengan 'nilai'.
            Nilai adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1974). Karena itu, sebagai suatu bagian dari sistem budaya, nilai biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan anggota masyarakat. Bagian dari sistem budaya (selain nilai) semisal norma dan juga hukum biasanya berpedoman pada sistem nilai ini.
            Jika tata kelakuan adalah gagasan yang menyatakan apakah tindakan tertentu itu benar atau sebaliknya, maka nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai merupakan bagian penting dari suatu kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima. Ketepatan waktu, kemajuan materi, dan persaingan bebas yang fair, serta etos pelayan merupakan nilai-nilai utama orang-orang yang bekerja di sektor perbankan, sementara sejumlah nilai itu tidak ditemukan, misalnya, di lingkungan karyawan pemerintahan lokal.
            Dalam masyarakat plural, pertentangan nilai akan terus berlangsung, dan nilai-nilai berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran nilai, atau bahkan perubahan nilai, akan mempengaruhi kebiasaan (folkways) dan tata kelakukan (mores).
Pergeseran nilai terkait dengan kehidupan seks misalnya, akan mengubah tata kelakuan remaja dalam pacaran. Yang dulu pacaran tidak lebih dari sekedar saling berkirim surat penuh rayuan dan ungkapan cinta, sekarang pacaran cenderung dianggap tidak lengkap tanpa ciuman bibir bahkan saling raba.
           
            7.         Hukum
            Operasionalisasi hukum terkait dengan kewajiban dan hukuman. Sebagai perangkat aturan formal yang mengikat, hukum memiliki sanksi sangat tegas berupa hukuman fisik dari pelanggarnya. Bagi anggota masyarakat yang tidak berusaha mematuhi hukum dengan cara menyesuaikan tindakan dengan apa yang dikehendaki hukum, maka akan dijatuhi hukuman penjara.
            Tata kelakuan memang cenderung berfungsi hanya sebagai tata kelakuan. Tetapi tata kelakuan berkecenderungan juga menyatu dalam hukum di masyarakat. Bisa jadi, hukum muncul sebagai bentuk formalisasi dari tata kelakuan yang ada. Oleh karena itu sebenarnya, hukum muncul untuk memperkuat tata kelakuan. Pembatasan tindakan manusia oleh hukum diorientasikan agar anggota masyarakat tidak tergoda untuk melanggar tata kelakuan. Orang-orang dipaksa untuk menyesuaikan diri melalui ancaman hukuman yang sah.
            Pembicaraan mengenai hukuman sebagai ungkapan tata kelakuan yang terkodifikasi adalah pandangan hukum kaum fungsionalis. Para sosiolog aliran ini memahami hukum sebagai alat golongan elite untuk mengendalikan dan mengeksploitasi golongan tertindas. Mereka memandang hukum sebagai pengabsah eksploitasi, sementara polisi dan pengadilan memaksakan pelaksanaannya untuk kepentingan pertahanan sejumlah hak istimewa mereka atas beban golongan tertindas. Itulah sebabnya, dalam masyarakat plural yang kompleks, kecuali hukum memperkuat tata kelakuan, juga berusaha melindungi dan memelihara sistem sosial.
            Pendapat lain tentang hukum adalah alokasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan dilakukan dengan semangat kebajikan yang mengedepankan aspek keadilan (justice). Masyarakat dipahami sebagai sebuah entitas konsensual yang memiliki nilai-nilai bersama. Demi menjaga harmoni sosial atau keteraturan sosial,  hukum menjadi sarana penting yang bersifat memaksa melalui sanksi-sanksi tegas yang oleh Max Weber disebut sebagai alat-alat coecive. Bagi Weber, kepatuhan terhadap hukum semata-mata karena ia memiliki alat tersebut. Alat-alat coercive tersebut dipakai untuk menegakkan hukum dalam masyarakat, organisasi korporasi, atau lembaga-lembaga (Kuper & Kuper, 2000). Karenanya, pemberlakuan hukum dijamin oleh negara karena negara memiliki keunggulan dalam hal penggunaan kekerasan kepada warganya.
            Dari banyak hal terkait kebudayaan material dan non-material sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka dapat disimpulkan bahwa paling sedikit suatu kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yakni (1) wujudnya sebagai suatu tatanan gagasan berupa perangkat nilai, norma, hukum. Wujud pertama ini merupakan sesuatu yang abstrak, yang tak dapat diraba apalagi difoto. Lokasinya ada di kepala atau di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan itu hidup.
            (2) Wujud kebudayaan yang kedua adalah kompleks aktivitas atau rangkaian tindakan dari manusia di dalam masyarakat. Wujud kedua ini seringkali berbentuk tata kelakuan, berupa rangkaian tindakan yang telah terpola menjadi sesuatu yang memiliki pembenar moral karena telah diterima oleh masyarakat. Sebagai rangkaian tindakan atau aktivitas, maka wujud ini bersifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan secara visual bahkan audio visual.
            (3) Wujud kebudayaan yang berupa benda-benda meterial yang merupakan hasil karya manusia. Karena sifatnya yang meterialistik, maka tentu wujud ketiga kebudayaan tersebut dapat dilihat, diraba dan difoto. Iniliah wujud paling konkret dari sebuah kebudayaan.
            Ketiga wujud kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas, dalam dunia kehidupan sosial tentulah tidak terpisah satu dengan lainnya. Baik pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan, maupun tindakan dan karya nyata manusia, terangkai menjadi suatu sistem kebudayaan. Sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-baian, maka dengan sendirinyalah ketiga wujud kebudayaan tersebut menjadi saling berpengaruh sekaligus saling tergantung. Suatu kebudayaan bukanlah sekedar akumulasi dari kebiasaan dan tata-kelakuan, tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Memang rumit, bahkan sekedar mengetahui unsur kebudayaan saja kita perlu memahami banyak hal yang sepertinya tidak memiliki kaitan dengan kebudayaan.  Unit terkecil dalam kebudayaan disebut unsur (trait), yakni suatu kesatuan corak perilaku yang dipelajari dan dianggap tak dapat diperkecil lagi.
            Ada demikian banyak unsur dalam suatu kebudayaan, tetapi memudahkan penjelasan terkait unsur-unsur tersebut, di sini dapat disebut tujuh yang universal, yakni (1) sistem religi, (2) sistem organisasi sosial, (3) sistem pengetahuan, (4) sistem bahasa, (5) sistem kesenian, (6) sistem mata pencaharian, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal ini masing-masing dapat dipecah menjadi sejumlah sub-sistem atau sub-unsur lagi.

Senin, 22 Juli 2013

Masyarakat


Masyarakat

            Setelah selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai sejumlah hal terkait dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting untuk memahami terlebih dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal ini diperlukan karena kecuali dunia kehidupan sosial itu beroperasi di masyarakat, juga pengertian masyarakat akan selalu terbawa hingga akhir buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi di depan komunikasi itulah yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa hingga jauh.
            Kata masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun keduanya sangat berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu yang tidak asali, baik berupa sesuatu yang materiil maupun sebaliknya adalah konstruksi budaya atau hasil kebudayaan, atau hasil suatu budi daya manusia. Sedangkan masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Mungkin pemakaian istilah organisasi dapat dicairkan dengan pemakaian istilah sekumpulan karena organisasi mengandung pengertian adanya pengaturan struktural yang kaku dengan pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat tidaklah setegas dan seteratur sebuah organisasi.
            Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton & Hunt 1996; 59). Pendefinisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh dua sosiolog dari Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk pegangan studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas milik mereka sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu wilayah tertentu.
            Adanya sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai adanya sistem sosial. Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik sentral pengertian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah, bahwa setiap bagian struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Setiap bagian dari sebuah sistem sangat berfungsi terhadap bagian yang lain. Kesalingtergantungan antar bagian atau struktur dalam sistem sosial inilah yang membentuk masyarakat. Keyakinan ini menjadi asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang pentolannya adalah Robert King Merton.
            Keseimbangan menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat. Sehingga, tesis atau anggapan ini mengabaikan adanya struktur yang beroperasi menentang atau bertentangan dengan struktur yang lain dalam sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki fungsi dalam artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan, oleh penganut teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya adalah, fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional, tetapi setidaknya kemiskinan itu berfungsi : 1) menyediakan tenaga kerja kasar, 2) pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya terhadap si miskin, 4)  penyedia tenaga bagi pemanfaatan barang bekas pakai orang kaya dan lain sebagainya.
            Yang baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggapan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya memiliki kesalingtergantungan sekaligus saling memiliki fungsi bagi masing-masingnya. Kecuali teori Fungsionalisme Struktural, masih terdapat sejumlah teori lain yang semuanya berbicara tentang bagaimana masyarakat bisa dilahirkan, dipelihara serta dikembangkan. Mengingat tekanan studi Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada sosiologi tetapi juga pada teknologi komunikasi, maka akan menjadi baik kalau kita batasi uraian tentang masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa mainstream golongan besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja sebagaimana, masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini memiliki kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah hal spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya.

            1.         Masyarakat Desa.
            Sudah lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua golongan besar, yakni desa dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan perbedaan untuk sejumlah hal, terutama fisik dan sosialnya. Karenanya, selalu terdapat perbedaan perilaku antara oirang desa dan orang kota. Perbedaan tersebut merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi sastrawan untuk mengarang novel atau skenario drama dan film.
            Terdapat ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat ditunjukkan dalam uraian ini yakni, 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4) ekonomi subsistensi.
            Isolasi. Mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol pada masa silam adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang desa mengelompkkan diri ke dalam desa-desa kecil yang ladang pertaniannya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Rumah yang terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman desa, suatu pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun dari segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah dari yang lain, tetapi bahkan keluarga yang satupun terpisah denganb keluarga yang lain. Bukan sesuatu yang kebetulan jika budaya ramah tamah terdapat dalam kehidupan masyarakat desa di samping sifat yang menonjol lainnya yakni budaya gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti nyata betapa adat dan kebiasaan muncul karena kebutuhan sosial dan karenanya ketika kebutuhan sosial itu berubah maka akan cenderung mengubah adat dan kebiasaannya.
            Homogen. Secara keseluruhan diseluruh pemukiman di suatu negara, Indonesia umpamanya, sangatlah heterogen. Namun demikian, di tempat pemukiman pedesaan pemukim cenderung sangat homogen dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya mereka mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya disertai oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional, dan etnosentrisme masyarakat yang menonjol.
            Pertanian. Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau buruh lepas di sektor tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan Tokopun ikut terlibat dalam kehidupan pertanian. Semua menghadapi masalah dan tugas yang sama, serta sama-sama merasakan betapa tidak berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan alam yang berada di luar kemampuan manusia.
             Ekonomi Subsistensi. Keluarga tradisional di masyarakat pedesaan berusaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi sendiri. Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem tukar (barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat hemat merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang menyolok dipandang sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah keluarga pedesaan ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak, hasil panen serta harta warisan yang diterima dan yang kelak mampu diwariskan kepada anak keturunannya.
            Dalam kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya sistem ekonomi pasar, masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini muncul sebagai ketidakpercayaan dan kebencian terhadap anggota masyarakat kota.Dari sudut pandang anggota, masyarakat desa berjumlah relatif kecil terdiri dari individu-individu yang cenderung disatukan oleh garis keturunan dengan teknologi pertanian sederhana serta interaksi sosialnya dilakukan dengan model komunikasi tatap muka.
            Saat ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana membanjirnya informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami perubahan. Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah membedakan masyarakat desa dengan kota melalui sejumlah penanda sebagaimana telah diuraikan di depan, tetapi perbedaan yang dapat ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman dahulu.
            Dewasa ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya. Meskipun memang masih terdapat sejumlah perbedaan dalam segi kepribadian, gaya hidup, dan sistem nilai antara masyarakat desa dengan kota, namun perbedaan itu semakin mencair. Baik orang kota maupun desa telah dijangkau oleh media massa yang sama dan mereka memberikan respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa tersebut. Mobil dan jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan menjadi tidak begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak lagi dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan. Pertanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komersialisasi dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai bertumbuhan usaha agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang berkurangnya petani dan tenaga kerja agraris. Akibatnya        

            2.         Masyarakat Kota
            Pertumbuhan kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa diorganisasi berdasarkan sistem kekearabatn dan diarahkan oleh adat kebiasaan, maka tidak demikian dengan kota. Kota memiliki pembagian kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus. Bukan sistem kekerabatan sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota merupakan organisasi sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial.
            Perkembangan kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan kota kecil (town) menjadi kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai dengan aktivitas khas yang terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu teritori. Misalnya, kota peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristirahatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan kota kecil ini biasanya memberikan rangsangan kuat bagi penemuan-penemuan yang tidak ditemukan di pedesaan, misalnya saja adanya kereta, selokan dan terowongan air, sistem tulisan, sistem angka, birokrasi pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifikasi sosial, serta masih banyak lagi yang lainnya. Karenanya, maka wajar kalau di dalam pertumbuhannya sejumlah kota menjadi pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta sejumlah daya tari kemujuan lain.
            Namun demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan kejahatan, hedonisme, pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepura-puraan. Singkatnya, kota merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda dengan cirii budaya dominan. Kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras) tidak sebagaimana desa yang cenderung homogen. Terdapat sejumlah ciri yang dapat membantu kita mengenali masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak sosial, 3) keteraturan, 4) keramaian, 5) kepribadian urban.
            Anominitas. Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan cenderung menciptakan anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota masyarakat kota habis ditengah kumpulan manusia yang anonim. Keadaan ini dihasilkan oleh hebatnya heterogenitas kehidupan kota yang ditandai oleh keanekaragaman ras, kelas sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau agama, dan lain sebagainya. Anominitas paling heboh di masyarakat kota biasanya terdapat di kampung kumuh, yakni kampung tempat manusia, lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus terlupakan. Mereka hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki masa lalu yang jelas, dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan kumpulan orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa dengan peran sosialnya yang tida penting.
            Jarak Sosial. Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas, dan impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini mungkin dapat dilakukan dengan contoh berikut.
            Jika kita sedang berada di sesebuah mall atau di peron stasiun kereta kita tentu berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja kita harus bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita temui tersebut bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan yang panjang dengan kita atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya dapat mengenali orang-orang yang lalu lalang itu melalui apa yang dapat kita lihat semisal pakaian, perhiasan, sikap dan mungkin barang bawaannya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan bahwa yang terjadi adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan setiap oarang bisa saja bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di dua tempat tersebut, namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta tidak memiliki kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak sosial yang nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam lagu seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian.
            Keteraturan. Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau ketidakformalan, namun tidak demikian dengan masyarakat kota. Keteraturan masyarakat kota sebagai sesuatu yang wajar muncul akibat kepadatan penduduk dan spesialisasi pekerjaan. Jadwal pekerjaan yang ketat yang harus dilakukan penyesuaian dengan 'jam biologis' (waktu tidur, bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran untuk mengatur sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum.
            Lampu pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, transportasi dan sejumlah hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas perkotaan. Perkembangannya bahkan, membangun rumah tinggal keluarga saja kini harus mengikuti Peraturan Daerah. Di beberapa kota besar, ada sesuatu kawasan yang tidak boleh dibangun sesuatu bangunan tanpa rekomendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga dengan perlakuan warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan mengingat pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus dilindungi melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya.
            Dengan demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu kota, kecenderungannya adalah semakin banyak pengaturan hidup yang pusat orientasinya adalah pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat desa yang cenderung mengikuti harmoni alamiah. Tidak banyak pengaturan hidup yang membatasi kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa. Kehidupan cenderung berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan cuaca.
            Keramaian (crowding). Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif yang dapat diukur, sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif. Seseorang merasa berada dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia kekurangan tempat atau kebebasan pribadinya. Seseorang kawan mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kota kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup karena suasana kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal.
            Kecenderungan kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai oleh kepadatan penduduk yang secara fisik tentu menghasilkan keramaian. Problem sosial yang muncul dari keramaian biasanya terkait dengan penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial. Dengan mengambil contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia, memang tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam problem. Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduknya paling tinggi di dunia, namun tingkat kematian, penyakit, dan gangguan mental lebih rendah dari pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton & Hunt 1996; 154). Keramaian dan kepadatan penduduk tidak harus mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi tampaknya kita harus mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas lingkungan yang dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup manusia. Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan demi menjaga kualitas hidupnya.
            Kepribadian urban. Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis Wirth, 1938) menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan menciptakan kepribadian yang sangat berbeda dengan masyarakat desa. Orang kota cenderung memiliki kepribadian anomis, materialistis, mandiri (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, manipulatif, dan cenderung dalam perasaan tidak aman.
            Seiring dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotong-royong, ketetanggaan serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun menurun. Hal ini menjadi penyumbang utama munculnya kepribadian yang menempatkan 'diri' sebagai pusat pertimbangan tindakan.  Sikap tolong menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan masyarakat desa tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat semacam kekosongan sosial yang alienatif yang menjadikan penduduk kota menjauh dari ciri kepribadian desa.

Beberapa Tipe Tindakan Sosial


Beberapa Tipe Tindakan Sosial      

            Sepenuhnya uraian mengenai jenis tindakan sosial ini diadopsi dari pemikiran Max Weber (1864-1920). Jika tindakan sosial itu harus menyertakan makna subyektif dalam pendefinisiannya, tentu problem besar yang segera muncul adalah tentang metode untuk mengetahui makna subyektif itu dari pemahaman yang obyektif atau terukur. Namun Weber merekomendasikan konsep rasionalitas untuk menjadi kunci analisis ilmiah mengenai tindakan manusia itu.
            Pendekatan paling obyektif, bagi Weber, adalah dengan menganalisis 'sesuatu di balik tindakan' yang kemudian diyakini sebagai rasionalitas tindakan. Artinya bahwa, di balik setiap tindakan sosial selalu ada yang dapat dianalisis sebagai motif mengapa seseorang itu bertindak. Rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan bersama di mana aspek-aspek subyektif tindakan dapat di analisis secara obyektif. Misalnya, apabila seseorang pembeli memilih yang kurang mahal dari dua produk yang sama, kita mengerti bahwa itu sebagai tindakan rasional karena sesuai dengan kriteria rasionalitas obyektif yang ada.
            Rasionalitas merupakan konsep dasar untuk mengklasifikasikan tindakan sosial. Dua tindakan dalam dua kutub yang berlawanan dengan demikian adalah tindakan rasional dan tindakan nonrasional. Mengelaborasi dua kutub tipe tindakan sosial ini akhirnya memunculkan varian tipe tindakan sosial sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

            1.         Rasionalitas Instrumental
            Tindakan sosial dengan pertimbangan rasionalitas instrumental ini pada dasarnya adalah tindakan sosial yang menempatkan aspek efektifitas serta efisiensitas di  tempat yang utama. Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki sejumlah tujuan dan atas dasar suatu kriteria ditentukanlah prioritas serta pemilihan alat untuk mencapai tujuan tersebut.
            Manusia, sebagaimana Aristoteles yakin, bahwa merupakan satu-satunya mahluk hidup yang dibekali rasio kecerdasan. Bentuk tertinggi dari penggunaan rasio sebagaimana yang dimaksud Aristoteles tersebut muncul dalam bentuk tindakan sosial yang instrumental. Artinya, tindakan seseorang dalam situasi interaksi sosial penuh makna ditempatkan sebagai alat bagi pencapaian tujuan. Tindakan sosial dengan demikian bukanlah tujuan, namun sekedar alat untuk mendekati tujuan.
            Terkait dengan tipe tindakan sosial instrumental ini, Weber menemukan perwujudan tuntasnya di wilayah ekonomi. Terutama, tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat impersonal yang merupakan bentuk dasar rasionalitas instrumental ini. Dalam organisasi birokrasi dunia Barat modern, ciri rasionalitas jenis ini juga sangat tampak nyata.

            2.         Rasionalitas Nilai
            Dibandingkan dengan tindakan sosial berdasar pada rasionalitas instrumental, maka rasionalitas nilai memberi penjelasan adanya peran pertimbangan nonrasional. Tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari tindakan sosial yang berorientasi nilai ini. Muslim mungkin menilai pengalaman subyektif mengenai kedekatannya dengan Allah SWT berbentuk perasaan damai, tenang, dan nyaman yang mampu menempatkan nilai-nilai lainnya menjadi tidak penting.
            Dalam tindakan sosial dengan pertimbangan rasionalitas nilai, seseorang sulit menganalisis secara obyektif. Terlebih-lebih, komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian tinggi sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility), efisiensi, efektifitas, semuanya menjadi tidak relevan lagi. Apakah nilai seperti itu dicapai secara efektif, tidak dapat dibuktikan secara obyektif dengan cara yang sama seperti kita membuktikan keberhasilan dalam mencapai tujuan dalam tindakan instrumental.

            3.         Tindakan Tradisional
            Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Jika seorang indiividu memperlihatkan tindakan karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau tanpa perencanaan, tindakan seperti ini tergolong pada tindakan sosial tradisional. Pada saat seseorang ditanya mengapa ia bertindak seperti yang dilakukan dan kemudian menjawab bahwa hal itu sesuai dengan yang biasa ia lakukan, maka ini menandai bahwa tindakannya merupakan tindakan tradisional.
            Dalam tindakan ini, seseorang hanya menempatkan kebiasaan, tradisi yang ada sebagai rujukan tindakannya. Tidak ada rasionalitas yang memadai untuk suatu pilihan tindakan baginya. Tradisi dan atau kebiasaan menjadi satu-satunya acuan untuk mana seseorang melakukan sesuatu. Apabila kelompok-kelompok atau keseluruhan masyarakat didominasi oleh orientasi seperti ini, maka kebiasaan dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka acuanya, yang diterima begitu saja tanpa ada persoalan.
            Tidak ada kritik dalam tindakan tradisional. Tradisi dan kebiasaan diterima dengan penuh kepercayaan bahwa sesuatu cara bertindak telah teruji kebenarannya secara turun temurun. Kalimat pembenar dari tindakan tradisional lazim berbunyi : "Inilah cara yang telah dilaksanakan oleh nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya, ini adalah cara yang sudah begini dan akan selalu tetap begini terus". Tindakan tradisional ini secara berangsur-angsur akan lenyap seiring dengan menguatnya tindakan sosial yang bertipe rasionalitas instrumental.

            4.         Tindakan Afektif
            Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya (Johnson 1986; 221).
            Keempat tipe tindakan sosial yang baru kita bahas ini harus dilihat sebagai tipe-tipe ideal. Dalam dunia kehidupan sosial, banyak tindakan yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe tersebut. Sebagai contoh, tindakan tradisional mungkin mencerminkan suatu kepercayaan yang sadar akan sakralitas tradisi-tradisi dalam suatu masyarakat, dan itu berarti bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Atau bisa juga, ia mencerminkan suatu penilaian yang sadar akan alternatif-alternatif serta cerminan keputusan bahwa tradisi-tradisi yang sudah mapan merupakan cara yang paling baik untuk suatu tujuan yang dipilih secara sadar di antara pilihan tujuan yang lain.