Selasa, 14 Oktober 2014

KEPEMIMPINAN, Kelompok



KELOMPOK


Pengertian

            Hidup berkelompok merupakan pengakuan bahwa manusia itu memang makhluk sosial. Dengan demikian, pada dasarnya adanya kelompok dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi dalam kehidupan manusia. Dengan berkelompok akan terasa betapa pekerjaan yang sulit jika dikerjakan sendiri barangkali akan menjadi ringan bila dikerjakan di dalam kelompok.
            Menghadapi ancaman akibat ketiadaan aturan karena masing-masing individu tidak memiliki jalinan atau ikatan sosial, menjadikan masing-masing individu melakukan pengelompokkan agar memungkinkannya memperoleh jaminan perasaan aman dalam menjalani hidup. Diawali dengan usaha mengartikan kelompok, uraian berikut ini menjelaskan makna kelompok sampai kepada adanya konflik di dalammya.
            Suatu kelompok (group) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai suatu sasaran tertentu. Dalam pengertian ini kelompok diberi tekanan pada adanya interaksi antar personal di dalam jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan aktivitas komunikasi berlangsung dari masing-masing individu kepada individu yang lain tanpa melalui orang lain atau orang katiga dalam mentransformasikan pesannya. Karena merupakan kumpulan sejumlah orang maka perilaku ataupun kinerja seseorang anggota kelompok sangat dipengaruhi oleh hal yang sama dari seseorang yang lain di dalam kelompok tersebut.
            Suatu kelompok juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan sehingga menunjukkan beberapa fungsi yang menyatakan peran dan norma yang mengatur hubungan masing-masing anggotanya. Pandangan ini memang terlalu sosiologis dengan mengedepankan adanya peran dan juga norma kelompok, tetapi penting juga dipahami bahwa pemahaman kelompok tidak akan komprehensif jika tanpa menyinggung tesis kontrak sosial yang selama ini memberi sumbangan yang berarti bagi usaha pelacakan terhadap asal mula terjadinya kelompok dan berlanjut kepada masyarakat.
            Peran individu dan norma di dalam kelompok merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat kesediaan individu menyerahkan atau mengkontrakkan sebagian kepentingannya untuk diatur oleh aturan yang disepakati atau norma yang hidup dalam kelompok. Dalam keadaan asali manusia, setiap individu tentu menjalani hidup sesuai pandangan serta caranya sendiri. Manusia belum lagi memiliki pola dalam bertindak sehingga sangat mungkin terjadi benturan kepentingan yang bisa jadi mengakibatkan situasi anarkis. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan hidup karena ancaman yang mungkin selalu muncul dari individu lain sebagai akibat dari pemilikan cara pandang dan tindakan hidup yang belum terpola menjadi perilaku kelompok. Dalam situasi ini, manusia menjadi dituntut selalu waspada dari ancaman. Perjalanan hidup yang penuh ancaman inilah yang lambat laun menyadarkan tiap individu untuk mengintegrasikan sebagian kepentingan hidupnya dengan melakukan sejumlah kesepakatan dengan individu lain untuk membentuk kelompok. Munculnya kelompok dengan demikian memunculkan juga seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan yang terbingkai dalam norma dan atau bahkan hukum yang harus dipatuhi bersama.
            Pemahaman tentang kelompok dapat didekati dari beberapa perspektif yang berbeda yang tentu akan menghasilkan tekanan yang berbeda dalam pendefinisiannya. Dari perspektif sosiologis menghasilkan definisi yang memberi sumbangan pada tekanan adanya norma. Dari perspektif organisasi menghasilkan definisi yang menekankan adanya interaksi bertujuan dengan aturan tegas sebagai pembatas tindakan. Melintasi sejumlah perspektif yang memang menghasilkan sejumlah tekanan yang berbeda, pada dasarnya memahami kelompok selalu mendapati hal yang sama yakni, adanya sasaran tertentu. Tidak mungkin suatu kelompok terbangun tanpa didasari oleh adanya sasaran.
            Akhirnya secara agak komprehensif kelompok dapat didefinisikan sebagai kumpulan dua orang atau lebih yang saling tergantung dan berinteraksi dengan seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan untuk mencapai suatu sasaran tertentu.

Kelompok Formal dan informal

            Ketika terdapat dua orang yang mengangkat meja untuk dipindahkan tempatnya, tentu berdasarkan pengertian di muka, dua orang tersebut telah membangun kelompok. Begitu pula adanya beberapa orang dalam sebuah tim pemasaran dari perusahaan pengalengan buah nanas, tim inipun merupakan sebuah kelompok. Mencermati dua contoh tersebut, tentu akan segera tertangkap pengertian bahwa sebenarnya berdasarkan formalitasnya, kelompok itu dapat dipilah menjadi formal dan informal.
            Kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan oleh adanya struktur organisasi, dengan pembagian kerja dan pembatasan sejumlah wewenang secara tegas untuk melakukan berbagai tugas dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dalam kelompok formal, berbagai tindakan ditentukan oleh dan diarahkan kepada tujuan tertentu.
            Di dalam kelompok formal masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi kelompok tugas dan kelompok komando. Kelompok tugas ditetapkan secara organisasional, mewakili beberapa unit kerja untuk bersama-sama menyelesaikan suatu tugas tertentu. Kelompok yang melintasi garis komando ini dapat dimisalkan jika di suatu Fakultas terdapat kasus plagiasi atas salah satu skripsi. Dekan fakultas yang bersangkutan menentukan agar Ketua Jurusan, Bagian Perpustakaan dan Pembantu Dekan serta Pembimbing Utama penulisan skripsi yang diduga sebagai hasil plagiasi itu membentuk kelompok untuk melakukan penyelidikan sebelum sanksi akademik diberlakukan kepada sarjana plagiat yang bersangkutan.
            Kelompok komando adalah kelompok yang terdiri dari atas dan bawahan yang mengikuti garis komando dan sangat hierarkis. Kelompok ini dispesifikasikan oleh bagan organisasi yang memetakan secara tegas batas tugas, wewenang, dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok.
            Kelompok informal diartikan sebagai persekutuan dua orang atau lebih yang tidak terstruktur secara formal. Kelompok jenis ini biasanya muncul merupakan tanggapan atau respon terhadap kebutuhan orang akan kontak sosial. Dengan kata lain, kelompok informal ini tidak berkembang sebagai akibat dari perancangan tetapi tumbuh secara alamiah. Di dalam suasana kerja, secara wajar seringkali kelompok informal ini terbentuk. Empat orang karyawan dari unit kerja berlainan secara teratur selalu melakukan pulang bersama-sama, merupakan contoh nyata dari kelompok informal. Ivanchevic dkk (1996) membagi kelompok informal ini menjadi (1) kelompok minat yakni elompok yang terbentuk oleh beberapa individu yang tidak menjadi anggota kelompok tugas dan komando tetapi memiliki sasaran yang sama hanya saja sasaran tersebut berbeda dengan sasaran kelompok utamanya. Sedangkan (2) kelompok persahabatan adalah kelompok yang interaksi anggotanya terjadi di luar aktivitas kerja.

Mengapa Orang Berkelompok.

            Selintas, di depan telah disinggung tentang alasan mengapa orang cenderung berkelompok. Paling tidak, jika lebih dirinci, terdapat enam alasan yang bisa dikemukakan berkaitan dengan kecenderungan berkelompok ini, yakni alasan keamanan, status, harga diri, integrasi sosial, kemudahan, dan prestasi.
1.     Keamanan. Dengan bergabung dalam suatu kelompok, masing-masing orang dapat mengurangi perasaan tidak aman dalam kesendirian. Orang menjadi lebih percaya diri dan merasa menjadi bagian dari suatu kesatuan kekuatan dan karenanya akan terasa lebih tahan terhadap berbagai ancaman yang mungkin timbul.
2.     Status. Ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok penting, maka seseorang itu akan dipandang oleh orang lain dengan status yang berbeda. Dalam stratifikasi sosial yang ada dimungkinkan seseorang mendapatkan status yang berbeda jika seseorang tersebut menjadi anggota sesuatu kelompok. Status yang berbeda ini berasal dari pengakuan orang lain yang tidak menjadi bagian atau anggota kelompok.
3.     Harga diri. Kelompok juga dapat memberi perasaan berharga pada diri anggotanya. Artinya adalah, menjadi anggota sesuatu kelompok dapat memberikan perasaan berharga karena dapat diterima sebagai anggota tersebut sudah memenuhi standar tertentu yang disyaratkan.
4.    Integrasi sosial. Berbagai kelompok dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk berafiliasi, bersosialisasi dengan menjadi bagian dari suatu kelompok menunjukkan intensitas kebutuhan sosial dari seseorang. Di dalam kelompok, masing-masing anggota menikmati interaksi yang teratur, yang bagi banyak orang interaksi ini merupakan modal awal mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam mengintegrasikan diri ke dalam lingkungan sosialnya.
5.     Kemudahan. Apa yang tidak dapat atau terlalu sulit dicapai secara individual seringkali menjadi lebih ringan jika diusahakan untuk dicapai melalui kerjasama dengan orang lain. Hal ini menjelaskan bahwa dengan berkelompok seseorang itu akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang bersedia menjadi anggota suatu kelompok hanya apabila dalam pandangannya kelompok tersebut dapat memenuhi berbagai harapan serta mampu menolong mencapai atau memenuhi kebutuhannya.
6.    Prestasi. Ketika diperlukan adanya sekelompok orang untuk mencapai suatu tugas pekerjaan tertentu, dari orang-orang tersebut muncul kebutuhan untuk menunjukkan bakat yang dimilikinya, pengetahuannya dan mungkin saja kekuatannya agar pekerjaan dapat terselesaikan. Setelah pekerjaan terselesaikan, maka hasilnya dapat menjadi ukuran prestasinya.

Perkembangan Kelompok.

        Berkembangnya suatu kumpulan manusia untuk menjadi sebuah kelompok selalu melewati proses yang dapat diidentifikasi tahapannya. Konseptualisasi yang cukup terkenal mengenai ini bisa dijumpai dalam teori yang disebut Tangga Cog (Cog Ladder) yang memetakan tahap perkembangan kelompok dalam lima tangga dimulai dari tangga pertama berupa Polite stage (tangga sopan santun), Why we're here stage (tingkat mengapa kita ada disini), Bid power stage (tingkat usaha mendapat kekuasaan), constructive stage (tingkat konstruktif), dan tangga kelima adalah Esprit stage atau tingkat kompak. (Keating, 1995)
        Stephen P Robbins (1996) mengidentifikasi tahap perkembangan terjadinya kelompok juga ke dalam lima tahapan, yakni forming (pembentukan), storming (keributan), norming (penormaan), performing (pelaksanaan), dan adjourning (penundaan).
        Mensintesakan kedua pendapat di atas, maka kemudian dapat dijelaskan bahwa perkembangan kelompok adalah melalui tahapan sebagaimana uraian berikut ini.
Tahap 1      Pengenalan. Pada tahap ini masing-masing individu yang bertemu saling berusaha memahami dengan saling bertanya dan memberitahukan tentang apa yang menjadi minatnya.Mereka saling berusaha untuk saling diterima dan disukai. Perilaku yang muncul dalam tahap awal ini masih diwarnai oleh norma pribadinya atau dari fakta sosialnya masing-masing. Kesan kaku memang segera tampak, namun sebenarnya dalam kekakuan itu mereka mulai berusaha mengadaptasikan minatnya melalui pemilihan tindakan agar dapat mengatasi perbedaan atau bahkan rasa tidak senang yang timbul pada saat saling bertemu, serta bagaimana mengolah rasa diri agar pihak lain dapat menyukainya. Benih kelompok muncul pada tingkat ini dengan penampakkan awal berupa clique atau kelompok kecil.
                          Pedoman bertindak pada tahap ini biasanya adalah perkataan-perkataan sebagai ungkapan dari gagasan-gagasan yang pada umumnya diterima orang dan menghindari perdebatan ataupun hal yang menimbulkan kejutan. Masingmasing pihak dalam tahap ini cenderung tampil dengan sosok yang belum sebagaimana adanya, personifikasinya masih berusaha disamarkan di hadapan pihak lain sehingga yang tampak baru sekedar front stage atau panggung depannya saja.
Tahap 2     Pemaduan sasaran. Tahap ini memberi penjelasan adanya usaha dari masing-masing pihak untuk 'saling menyapakan' sasarannya. Terdapat penerimaan melalui interaksi yang toleran terhadap adanya perbedaan, namun ada juga konflik akibat ketidaksesuaian yang memang tidak dapat dinegosiasikan. Dalam cog ladder, tahap ini dipertajam menjadi tahap keributan (storming) untuk mengawali timbulnya integrasi.
                   Pada tahap ini identitas kelompok belum tampak jelas karena kegunaan kelompok bagi masing-masing individu juga masih belum begitu jelas sekalipun sasaran kelompok sudah mulai dibicarakan untuk dipadukan.
Tahap 3     Pemetaan kekuasaan. Tahap ketiga dalam perkembangan kelompok ini dicirikan oleh munculnya strukturasi sehingga mulai tampak peta kekuasaan dari masing-masing pihak atau individu dalam kelompok. Sekumpulan individu dalam kelompok telah bergerak saling mempengaruhi bahkan pengaruh itu sampai kepada jalan pikiran kelompok. Dalam pergerakan kelompok ini akhirnya semakin tampak kekuatan masing-masing anggota yang secara wajar akan memunculkan kenyataan adanya anggota yang lebih mendapat perhatian dan pengakuan daripada yang didapat oleh anggota lain di dalam kelompok. Elite kelompok akan muncul karena dalam interaksi antar anggota akan memperlihatkan adanya sedikit orang yang ternyata memiliki kelebihan dibandingkan dengan kebanyakan orang yang menjadi anggota kelompok, dan kelebihan itu berupa kekuasaan. Akhirnya kekuasaan kelompok didistribusikan di antara anggota dengan derajat yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Tahap 4     Konstruktif. Tahap ini ditandai oleh berbagai perubahan sikap dalam diri anggota. Masing-masing anggota kelompok mau dan mampu secara sungguh-sungguh mendengar yang lain dan terbuka untuk saling menerima. Gagasan, pemikiran, dan usul kreatif diterima dan ditanggapi secara wajar. Diskusi telah terfokus lebih spesifik pada tugas-tugas dan mengembangkan strategi alternatif untuk menyelesaikannya. Di tahap ini identitas kelompok mulai terbangun secara mantap. Setiap keputusan yang diambil dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan bersama. Struktur kekuasaan telah sepenuhnya fungsional dan diterima dengan baik.
Tahap 5     Kompak. Pada tahap terakhir ini anggota telah memiliki semangat tinggi dan kesetiaan yang mendalam kepada kelompok. Tujuan kelompok akan menjadi hal utama bagi setiap anggota dibanding tujuan individunya. Ikatan emosional yang demikian kuat di antara anggota kelompok dan tingkat saling percaya yang sudah tinggi membentuk norma atau aturan yang memiliki sangsi terhadap segala bentuk pelanggaran. Hal ini menjadikan setiap anggota kelompok memiliki kesetiaan dan kehendak untuk tetap berada dalam kelompok.
                   Harapan-harapan yang sebelumnya masih tersembunyi menjadi saling terbuka dan saling diterima, didukung untuk menjadi lebih kreatif demi perkembangan kelompok sehingga kelompok mampu menyelesaikan tugas yang hasilnya melebihi kemampuan yang ada pada masing-masing anggota.

Ciri-ciri Kelompok

        Setiap kelompok memiliki beberapa ciri tertentu yang dapat membedakannya dengan yang bukan kelompok seperti antara lain kerumunan, gerombolan atau kumpulan orang yang sedang berada di lobi sebuah hotel. Ciri-ciri tersebut adalah :
1.     Struktur
        Dalam setiap kelompok pasti terdapat pemilahan anggota yang didasarkan pada sejumlah faktor tertentu semisal keahlian, status sosial dan kadang juga latar belakang sosial ekonomi anggota kelompok. Pemilahan ini diikuti dengan penjenjangan ke dalam sejumlah posisi tertentu sehingga terbentuklah struktur yang dapat secara tegas memberi batas tugas dan wewenang dalam hubungannya dengan aktivitas kelompok. Struktur dalam kelompok formal didasarkan pada posisi anggota dalam organisasinya, sementara dalam kelompok informal biasanya didasarkan pada sesuatu yang relevan dengan minat dan kepentingan kelompoknya.


2.     Peran
        Peran adalah seperangkat pola perilaku yang diharapkan dan dikaitkan pada seseorang yang menmpati suatu posisi tertentu di dalam kelompok. Setiap posisi dalam struktur kelompok ditempati oleh individu dengan perannya masing-masing. Peran individu dalam posisi tertentu dapat berupa
        a.    Peran yang diharapkan, yaitu perilaku yang diharapkan muncul dari peran seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur kelompok
        b.    Peran yang dipersepsi, yakni pandangan seseorang mengenai bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam suatu situasi.
        c.    Peran yang dimainkan, yakni perilaku yang benar-benar dilakukan oleh seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam struktur kelompok.

3.     Norma
        Interaksi antar individu, yang masing-masing individu tentu sebagian mendasarkan perilakunya pada seperangkat nilai pribadi atau perpektifnya sendiri, di dalam kelompok akan menghasilkan bentuk perilaku baru dan kemudian menimbulkan kesepakatan-kesepakatan baru tentang beberapa hal yang layak dan tidak layak dilakukan. Masing-masing individu akhirnya bersedia mengkompromikan kepentingan dan perilakunya sendiri untuk suatu kepentingan dan perilaku kolektif yang akan tercermin dalam adanya norma kelompok. Jadi norma ini dapat dipahami sebagai standar perilaku yang diterima dalam suatu kelompok untuk digunakan bersama oleh setiap individu anggota kelompok.
Ketika seseorang menyadari bahwa nilai pribadinya berbeda dengan norma yang hidup dan berlaku di dalam kelompoknya, maka seseorang itu dihadapkan pada pilihan apakah (1) nemerima norma kelompok, (2) mencoba mengubah untuk disesuaikan dengan nilai pribadinya, atau (3) meninggalkan kelompok tersebut.




4.    Kepemimpinan
        Di dalam kelompok pasti muncul kesenjangan yang diakibatkan oleh adanya beberapa faktor dasar yang dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Seseorang anggota akan merasa tidak mampu dalam satu hal tetapi mampu untuk hal yang lain. Seseorang mau dengan senang hati melakukan aktivitas kelompok, sementara ada seseorang yang lain tidak mau. Kematangan profesional maupun kematangan psikologis yang tidak mungkin sama pada tiap individu akhirnya memunculkan dikotomi pemimpin dan pengikut, artinya bahwa dalam kelompok itu muncul perasaan atau kesadaran diri seseorang yang merasa mampu memimpin sementara yang lain merasa tidak mampu. Dari sinilah diperoleh alasan untuk mengatakan bahwa dalam setiap kelompok pasti terdapat kepemimpinan, yakni perilaku seseorang dalam kelompok yang berusaha mempengaruhi orang lain di kelompok yang sama agar bersedia melakukan aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan kelompok itu sendiri.

Kekohesifan Kelompok

        Kekohesifan adalah derajat sejauh mana anggota kelompok tertarik satu kepada yang lain dan memiliki motivasi untuk tetap tinggal dalam kelompok. Terdapat sejumlah hal yang harus diperhatikan untuk sekedar mengetahui atau mengusahakan agar kekohesifan kelompok terpelihara. Beberapa hal yang teridentifikasi di bawah ini dapat merupakan kekuatan tetapi dapat pula menjadi faktor yang melemahkan tingkat kekohesifan kelompok.

1.     Konflik

        Faktor konflik di sini lebih diarahkan kepemahaman ide atau gagasan. Seringkali kontras antara dua atau lebih gagasan dari beberapa individu di dalam kelompok tidak saja dapat menjadi kekuatan, tetapi juga dapat menjadi kelemahan. Menjadi kekuatan konstruktif apabila dikelola secara tepat dengan mensinergikan masing-masingg gagasan lewat pemaduan. Menjadi kelemahan apabila konflik terlanjur menjadi kekuatan merusak yang menjurus pada arah yang memisahkan masing-masing pihak yang memiliki gagasan. Dalam hal yang demikian, pemimpin yang efektif pasti dengan segera menghentikannya melalui cara yang dianggapnya sesuai dengan situasi konflik.

2.     Kepentingan

        Beberapa individu di dalam kelompok seringkali memandang suatu masalah kelompok dari perspektif kepentingannya. Dalam hal kepentingan individu tersebut memiliki kekuatan untuk memperbaiki atau melengkapi kepentingan kelompok maka akan merupakan hal yang inovatif bagi kelompok. Namun ketika dirasakan bahwa kepentingan individu tersebut bertentangan dengan kepentingan kelompok dan individu bersangkutan tidak mau dan mampu memadukannya dengan kepentingan kelompok, maka kecenderungan yang akan terjadi adalah melonggarnya perasaan kolektif di dalam kelompok.

3.     Resiko

        Orang cenderung untuk berpikir bahwa kelompok akan lebih konservatif dan waspada daripada individu (Stoner 1993). Padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa dalam beberapa situasi, kelompok akan mengambil keputusan justru lebih riskan dibanding individu.

4.    Waktu

        Faktor waktu (duration) merupakan keuntungan bagi keputusan kelompok karena derajat kualitas keputusan itu dipengaruhi durasi yang dipakai dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi, dari sudut pandang beaya, panjangnya durasi akan menambah atau meningkatkan beaya yang diperlukan.



5.     Pikiran yang sering berubah

        Sangat jarang terjadi, jika terdapat masalah di dalam kelompok, masing-masing anggota kelompok memiliki frame of meaning atau landasan pikiran yang sama dalam memandang masalah tersebut sehingga akhirnya dalam memulai pemecahan masalah terjadi pemakaian cara yang berbeda. Bagi pemimpin haruslah disadari bahwa manusia itu memiliki kecenderungan mudah berubah pikiran sehingga pijakan kesadaran ini akan menyediakan pilihan tindakan yang jika salah memilihnya dapat melemahkan kekohesifan kelompok. Sebaliknya, jika tepat dalam memilih tindakan akan berkecenderungan memperkuat kekohesifan atau kepaduan kelompok.

Selasa, 07 Oktober 2014

KEPEMIMPINAN



Mendefinisikan Kepemimpinan

            Selama bertahun-tahun, padangan kita mengenai apa kepemimpinan itu dan siapa yang dapat mempraktekkannya selalu berubah-ubah. Pada suatu waktu, keahlian kepemimpinan dianggap sebagai suatu bawaan sejak lahir. Pemimpin dilahirkan, dan bukannya diciptakan. Asumsi ini membimbing lahirnya teori kepemimpinan Great Man. Teori ini melihat kekuasaan ada pada sejumlah orang tertentu yang karena pewarisan dan keberuntungan membuat mereka menjadi pemimpin. Mereka yang dari keturunan tertentu dapat memimpin, sedang yang lainnya harus dipimpin. Tidak ada yang dapat mengubah takdir.
            Ketika gagal menjelaskan secara memadai tentang kepemimpinan, teori ini digantikan dengan teori Big Bang, yang diberangkatkan oleh argumen bahwa peristiwa besar membuat seseorang menjadi pemimpin, yang sebenarnya adalah juga manusia biasa. Teori ini menggabungkan situasi dan pengikut untuk membentuk pemimpin. Sebagaimana teori Great Man, teori Big Bang inipun menyajikan definisi yang tidak memadai. Sekarang, dalam kurun waktu yang tidak terganggu oleh Great Man ataupun Big Bang, kita memiliki kesempatan untuk menghargai para pemimpin kita sekaligus memikirkan esensi dari kepemimpinan.
            Kajian akademis tentang kepemimpinan dimulai pada sekitar tahu 1900. Fokus kajian ini masih pada beberapa sifat yang menjadi ciri atau karakter dari pemimpin-pemimpin besar dunia terutama para pemimpin heroik sebagaimana Gandhi, Martin Luther, Julius Caesar, hingga Washington ataupun Lincoln. Sejumlah sifat menonjol berhasil diidentifikasi semisal kharisma, daya persuasi, pandangan ke depan serta sejumlah kualitas tertentu yang menyertai pemimpin tersebut. Tetapi, seperti terlihat pada masa setelah itu, ratusan penelitian tentang pemimpin dan kepemimpinan telah gagal membuktikan bahwa setiap bakat atau kualitas tertentu itu secara konsisten berhubungan dengan kepemimpinan yang efektif.
            Benar sebagaimana yang ditulis Ralph Stogdill (1974) bahwa 'ada banyak definisi yang berlainan tentang kepemimpinan yang jumlahnya hampir sebanyak orang yang berusaha mendefinisikan konsep tersebut'. Dalam bukunya berjudul Handbook of Leadership :A Survey of Theory and Research, Stogdill mendefinisikan kepemimpinan '.......is the process of influencing group activities toward goal setting and goal achievement' (adalah proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan).
            Definisi ini memberi tekanan kepada proses perumusan tujuan disamping proses pengaruh dan pencapaian tujuan. Stogdill terlihat sangat menyadari bahwa keberlangsungan kepemimpinan selalu berawal dari kegiatan perumusan tujuan. Kesadaran ini membuatnya lalai bahwa perumusan tujuan kelompok itu memasuki wilayah manajemen. Artinya adalah, kalau yang terbicarakan manajemen maka pembicaraan itu harus terfokus pada topik organisasi. Kalau kepemimpinan fokus kajiannya melintasi problem organisasi, yakni kelompok. Begitu juga jika manajemen berkaitan dengan wewenang, maka kepemimpinan yang dibicarakan bukan lagi wewenang tetapi pengaruh
            Peneliti yang berbeda konsepsinya dengan Stogdill tentang kepemimpinan di antaranya adalah Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977). Kedua peneliti ini terkenal dengan teori Kepemimpinan Situasional. Sesuai dengan temuannya, Hersey dan Blanchard mendefinisikan kepemimpinan sebagai ".........that leadership is the process of influencing the activities of an individual or a group in efforts toward goal achievement in a given situation." Kepemimpinan diartikan oleh Hersey dan Blanchard sebagai proses dalam mempengaruhi sejumlah kegiatan seseorang atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Jadi berdasarkan definisi tersebut, akhirnya kepemimpinan itu akan terjadi apabila dalam situasi tertentu seseorang mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perseorangan maupun kelompok.
            Gary Yukl (2001) sebelum mempublikasikan definisinya tentang kepemimpinan, menyepakati Stogdill dengan membuat daftar sejumlah definisi sebagaimana yang telah dihasilkan oleh peneliti pendahulunya. Di bawah ini adalah sejumlah definisi kepemimpinan yang dikutip oleh Yukl dalam bukunya berjudul Leadership in Organization.
1.   Kepemimpinan adalah "perilaku individu....yang mengarahkan aktivitas kelompok untuk mencapai sasaran bersama" (Hemphill & Coons, 1957)
2.   Kepemimpinan adalah "pengaruh tambahan yang melebihi dan berada di atas kebutuhan mekanis dalam mengarahkan organisasi secara rutin" (D. Katz & Kahn, 1978)
3.   "Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang.... memobilisasi ....sumberdaya institusional, politis, psikologis, dan sumber- sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi motivasi pengikutnya" (Burns, 1978)
4.  Kepemimpinan adalah "proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir untuk mencapai sasaran" (Rauch & behling, 1984)
5.   Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arahan yang berarti) ke usaha kolektif, yang menyebabkan adanya usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan" (Jacobs & Jaques, 1990)
6.  Kepemimpinan "adalah kemampuan untuk bertindak di luar budaya....untuk memulai proses perubahan evolusi agar menjadi lebih adaptif" (E.H. Schein, 1992)
7.   "Kepemimpinan adalah proses untuk membuat orang memahami manfaat bekerja bersama orang lain, sehingga mereka paham dan mau melakukannya" (Drath & Palus, 1994)
8.  "Kepemimpinan adalah cara mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai, dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu" (Richard & Eagel, 1986)
9.  Kepemimpinan adalah "kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi..." (House et.Al, 1999)
              Mempertimbangkan demikian banyak definisi kepemimpinan yang tidak jarang bahkan membingungkan, akhirnya Yukl dengan sangat hati-hati serta ingin lebih komprehensif mendefinisikan kepemimpinan dengan kalimat yang panjangnya melampaui definisi-difinisi lain. Definisi yang dikemukakan Yukl adalah bahwa kepemimpinan merupakan proses untuk mempengaruhi orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif demi pencapaian tujuan bersama.
              Tentu sejumlah definisi sebagaimana yang telah disajikan di muka muncul dari peneliti-peneliti sesuai perspektif dan ketertarikan perhatiannya. Tetapi, semua definisi tersebut kalau dicermati memiliki persentuhan satu dengan lainnya. Persentuhan itu terletak pada bahwa semua definisi kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan itu berkaitan dengan proses yang disengaja untuk mempengaruhi orang lain
            Berdasarkan acuan sejumlah definisi yang telah dipublikasikan oleh penulis-penulis terdahulu, maka kita mendifinisikan kepemimpinan sebagai serangkaian perilaku pemimpin dalam mempengaruhi untuk mengarahkan kegiatan kelompok menuju sasaran tertentu.
            Ada beberapa implikasi penting dalam definisi ini, yang pertama adalah bahwa kepemimpinan melibatkan orang lain di dalam kelompok. Dengan kesadaran orang lain untuk bersedia dipengaruhi dan diarahkan, maka anggota kelompok membantu menentukan status pemimpin dan memungkinkan proses kepemimpinan itu berlangsung. Singkatnya, tanpa adanya orang lain, segala macam kualitas kepemimpinan seseorang tidak relevan dibicarakan.
            Kedua, kepemimpinan selalu melibatkan atau bahkan mensyaratkan adanya kekuasaan. Tidak ada pemimpin tanpa kekuasaan. Kekuasaan merupakan sumberdaya yang dibutuhkan oleh seseorang pemimpin agar dapat mempengaruhi orang yang dipimpin. Dengan demikian maka keberhasilan kepemimpinan juga sangat ditentukan oleh kepemilikan kekuasaan dari seorang pemimpin. Kekuasaan yang kuat dengan berbagai sumber kekuasaan yang dimiliki pemimpin akan sangat berarti bagi pelaksanaan kepemimpinannya. Semakin banyak sumber kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin akan semakin besar potensi kepemimpinannya yang efektif.
            Ketiga, kepemimpinan selalu terkait dengan proses pengaruh. Semua aktivitas seseorang pemimpin  pada dasarnya adalah mentranspormasikan gagasan dengan cara mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin tidak hanya secara sah memiliki otoritas memerintah pengikut, tetapi juga mempengaruhi cara pengikut mengerjakan sesebuah kegiatan kelompok. Seorang pemimpin dapat saja memerintah pengikut (bawahan) untuk mengerjakan tugas tertentu, tetapi mungkin pengaruhnya atas pengikutlah yang menentukan apakah tugas itu dilaksanakan dengan benar atau sebaliknya.
            Keempat, kata  kepemimpinan memberi penjelasan adanya tindakan tertentu yang terus-menerus dan terjaga konsistensinya sehingga terpola kedalam perilaku. Dalam kaitan ini, tindakan termaksud sudah menjadi perilaku obyektif atau terukur sebagaimana dilakukan oleh seorang pemimpin ketika berusaha mempengaruhi anggota kelompok yang dipimpinnya. Pengertian ini menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan rangkaian proses. Mungkin inilah sebabnya, Yukl (2001) mengatakan bahwa kajian kepemimpinan cenderung memberi penekanan pada aspek perubahan, sedangkan manajemen lebih menekankan status-quo.