KELOMPOK, MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN
Kelompok
Hidup berkelompok merupakan pengakuan bahwa manusia itu memang makhluk sosial. Dengan demikian, pada dasarnya adanya kelompok dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi dalam kehidupan manusia. Dengan berkelompok akan terasa betapa pekerjaan yang sulit jika dikerjakan sendiri barangkali akan menjadi ringan bila dikerjakan di dalam kelompok.
Menghadapi ancaman akibat ketiadaan aturan karena masing-masing individu tidak memiliki jalinan atau ikatan sosial, menjadikan masing-masing individu melakukan pengelompokkan agar memungkinkannya memperoleh jaminan perasaan aman dalam menjalani hidup. Diawali dengan usaha mengartikan kelompok, uraian berikut ini menjelaskan makna kelompok sampai kepada adanya konflik di dalammya.
Suatu kelompok (group) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai suatu sasaran tertentu. Dalam pengertian ini kelompok diberi tekanan pada adanya interaksi antar personal di dalam jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan aktivitas komunikasi berlangsung dari masing-masing individu kepada individu yang lain tanpa melalui orang lain atau orang katiga dalam mentransformasikan pesannya. Karena merupakan kumpulan sejumlah orang maka perilaku ataupun kinerja seseorang anggota kelompok sangat dipengaruhi oleh hal yang sama dari seseorang yang lain di dalam kelompok tersebut.
Suatu kelompok juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan sehingga menunjukkan beberapa fungsi yang menyatakan peran dan norma yang mengatur hubungan masing-masing anggotanya. Pandangan ini memang terlalu sosiologis dengan mengedepankan adanya peran dan juga norma kelompok, tetapi penting juga dipahami bahwa pemahaman kelompok tidak akan komprehensif jika tanpa menyinggung tesis kontrak sosial yang selama ini memberi sumbangan yang berarti bagi usaha pelacakan terhadap asal mula terjadinya kelompok dan berlanjut kepada masyarakat.
Peran individu dan norma di dalam kelompok merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat kesediaan individu menyerahkan atau mengkontrakkan sebagian kepentingannya untuk diatur oleh aturan yang disepakati atau norma yang hidup dalam kelompok. Dalam keadaan asali manusia, setiap individu tentu menjalani hidup sesuai pandangan serta caranya sendiri. Manusia belum lagi memiliki pola dalam bertindak sehingga sangat mungkin terjadi benturan kepentingan yang bisa jadi mengakibatkan situasi anarkis. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan hidup karena ancaman yang mungkin selalu muncul dari individu lain sebagai akibat dari pemilikan cara pandang dan tindakan hidup yang belum terpola menjadi perilaku kelompok. Dalam situasi ini, manusia menjadi dituntut selalu waspada dari ancaman. Perjalanan hidup yang penuh ancaman inilah yang lambat laun menyadarkan tiap individu untuk mengintegrasikan sebagian kepentingan hidupnya dengan melakukan sejumlah kesepakatan dengan individu lain untuk membentuk kelompok. Munculnya kelompok dengan demikian memunculkan juga seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan yang terbingkai dalam norma dan atau bahkan hukum yang harus dipatuhi bersama.
Pemahaman tentang kelompok dapat didekati dari beberapa perspektif yang berbeda yang tentu akan menghasilkan tekanan yang berbeda dalam pendefinisiannya. Dari perspektif sosiologis menghasilkan definisi yang memberi sumbangan pada tekanan adanya norma. Dari perspektif organisasi menghasilkan definisi yang menekankan adanya interaksi bertujuan dengan aturan tegas sebagai pembatas tindakan. Melintasi sejumlah perspektif yang memang menghasilkan sejumlah tekanan yang berbeda, pada dasarnya memahami kelompok selalu mendapati hal yang sama yakni, adanya sasaran tertentu. Tidak mungkin suatu kelompok terbangun tanpa didasari oleh adanya sasaran.
Akhirnya secara agak komprehensif kelompok dapat didefinisikan sebagai kumpulan dua orang atau lebih yang saling tergantung dan berinteraksi dengan seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan untuk mencapai suatu sasaran tertentu.
1. Mengapa Orang Berkelompok.
Selintas, di depan selintas telah disinggung tentang alasan mengapa orang cenderung berkelompok. Paling tidak, jika lebih dirinci, terdapat enam alasan yang bisa dikemukakan berkaitan dengan kecenderungan berkelompok ini, yakni alasan keamanan, status, harga diri, integrasi sosial, kemudahan, dan prestasi.
Keamanan. Dengan bergabung dalam suatu kelompok, masing-masing orang dapat mengurangi perasaan tidak aman dalam kesendirian. Orang menjadi lebih percaya diri dan merasa menjadi bagian dari suatu kesatuan kekuatan dan karenanya akan terasa lebih tahan terhadap berbagai ancaman yang mungkin timbul.
Status. Ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok penting, maka seseorang itu akan dipandang oleh orang lain dengan status yang berbeda. Dalam stratifikasi sosial yang ada dimungkinkan seseorang mendapatkan status yang berbeda jika seseorang tersebut menjadi anggota sesuatu kelompok. Status yang berbeda ini berasal dari pengakuan orang lain yang tidak menjadi bagian atau anggota kelompok.
Harga diri. Kelompok juga dapat memberi perasaan berharga pada diri anggotanya. Artinya adalah, menjadi anggota sesuatu kelompok dapat memberikan perasaan berharga karena dapat diterima sebagai anggota tersebut sudah memenuhi standar tertentu yang disyaratkan.
Integrasi sosial. Berbagai kelompok dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk berafiliasi, bersosialisasi dengan menjadi bagian dari suatu kelompok menunjukkan intensitas kebutuhan sosial dari seseorang. Di dalam kelompok, masing-masing anggota menikmati interaksi yang teratur, yang bagi banyak orang interaksi ini merupakan modal awal mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam mengintegrasikan diri ke dalam lingkungan sosialnya.
Kemudahan. Apa yang tidak dapat atau terlalu sulit dicapai secara individual seringkali menjadi lebih ringan jika diusahakan untuk dicapai melalui kerjasama dengan orang lain. Hal ini menjelaskan bahwa dengan berkelompok seseorang itu akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang bersedia menjadi anggota suatu kelompok hanya apabila dalam pandangannya kelompok tersebut dapat memenuhi berbagai harapan serta mampu menolong mencapai atau memenuhi kebutuhannya.
Prestasi. Ketika diperlukan adanya sekelompok orang untuk mencapai suatu tugas pekerjaan tertentu, dari orang-orang tersebut muncul kebutuhan untuk menunjukkan bakat yang dimilikinya, pengetahuannya dan mungkin saja kekuatannya agar pekerjaan dapat terselesaikan. Setelah pekerjaan terselesaikan, maka hasilnya dapat menjadi ukuran prestasinya.
2. Kelompok Formal dan Informal
Ketika terdapat dua orang yang mengangkat meja untuk dipindahkan tempatnya, tentu berdasarkan pengertian di muka, dua orang tersebut telah membangun kelompok. Begitu pula adanya beberapa orang dalam sebuah tim pemasaran dari perusahaan pengalengan buah nanas, tim inipun merupakan sebuah kelompok. Mencermati dua contoh tersebut, tentu akan segera tertangkap pengertian bahwa sebenarnya berdasarkan formalitasnya, kelompok itu dapat dipilah menjadi formal dan informal.
Kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan oleh adanya struktur organisasi, dengan pembagian kerja dan pembatasan sejumlah wewenang secara tegas untuk melakukan berbagai tugas dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dalam kelompok formal, berbagai tindakan ditentukan oleh dan diarahkan kepada tujuan tertentu.
Di dalam kelompok formal masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi kelompok tugas dan kelompok komando. Kelompok tugas ditetapkan secara organisasional, mewakili beberapa unit kerja untuk bersama-sama menyelesaikan suatu tugas tertentu. Kelompok yang melintasi garis komando ini dapat dimisalkan jika di suatu Fakultas terdapat kasus plagiasi atas salah satu skripsi. Dekan fakultas yang bersangkutan menentukan agar Ketua Jurusan, Bagian Perpustakaan dan Pembantu Dekan serta Pembimbing Utama penulisan skripsi yang diduga sebagai hasil plagiasi itu membentuk kelompok untuk melakukan penyelidikan sebelum sanksi akademik diberlakukan kepada sarjana plagiat yang bersangkutan.
Kelompok komando adalah kelompok yang terdiri dari atas dan bawahan yang mengikuti garis komando dan sangat hierarkis. Kelompok ini dispesifikasikan oleh bagan organisasi yang memetakan secara tegas batas tugas, wewenang, dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok.
Kelompok informal diartikan sebagai persekutuan dua orang atau lebih yang tidak terstruktur secara formal. Kelompok jenis ini biasanya muncul merupakan tanggapan atau respon terhadap kebutuhan orang akan kontak sosial. Dengan kata lain, kelompok informal ini tidak berkembang sebagai akibat dari perancangan tetapi tumbuh secara alamiah. Di dalam suasana kerja, secara wajar seringkali kelompok informal ini terbentuk. Empat orang karyawan dari unit kerja berlainan secara teratur selalu melakukan pulang bersama-sama, merupakan contoh nyata dari kelompok informal. Ivanchevic dkk (1996) membagi kelompok informal ini menjadi (1) kelompok minat yakni elompok yang terbentuk oleh beberapa individu yang tidak menjadi anggota kelompok tugas dan komando tetapi memiliki sasaran yang sama hanya saja sasaran tersebut berbeda dengan sasaran kelompok utamanya. Sedangkan (2) kelompok persahabatan adalah kelompok yang interaksi anggotanya terjadi di luar aktivitas kerja.
3. Kelompok Primer dan Sekunder
Kelompok primer merupakan kelompok yang tiap anggotanya saling kenal sebagai suatu pribadi secara akrab. Interaksi sosial antar individu di dalamnya bersifat tidak formal (tidak rersmi), akrab, personal dan total yang mencakup banyak aspek dari pengalaman hidup. Di dalam kelompok primer, sebagaimana keluarga, klik, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial cenderung bersifat santai. Masing-masing individu saling tertarik satu sama lain sebagai suatu pribadi. Mereka menyatakan harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan, berbagai pengalaman dalam kesalingtergantungan dan saling memenuhi kebutuhan akan keakraban persahabatan. Biasanya, kelompok primer beranggotakan individu-individu yang jumlahnya tidak besar, atau tidak sebesar dalam kelompok sekunder.
Di dalam kelompok sekunder, hubungan sosial bersifat formal, impersonal, segmental, dan didasarkan atas azas manfaat (utilitarian). Seseorang tidak berurusan dengan orang lain sebagai suatu pribadi, tetapi sebagai orang yang berfungsi dalam menjalankan sesuatu peran. Kualitas pribadi tidak sepenting cara kerja. Hanya sedikit aspek atau bagian dari keseluruhan kepribadian yang terlibat dalam pelaksanaan peran saja yang dianggap penting.
Kelompok sekunder dapat berupa serikat kerja, mitra dagang, klub pendaki gunung, persatuan wali murid atau himpunan orang tua mahasiswa. Kelompok-kelompok ini muncul untuk memenuhi tujuan khusus yang terbatas, yang hanya melibatkan sebagian dari kepribadian anggotanya.
Istilah primer dan sekunder menggambarkan model hubungan atau type interaksi dan tidak mengahdirkan klaim bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Kelompok primer dapat saja terlibat dalam penyelesaian suatu pekerjaan, tetapi penilaian terhadap kelompok jenis ini tetap berdasarkan pada kualitas hubungan manusiawi, bukannya pada efisiensi dalam penyelesaian suatu kegiatan. Kelompok sekunder mungkin juga bersifat menyenangkan, tetapi pusat orientasinya adalah penyelesaian pekerjaan.
Kelompok primer dan sekunder dipandang penting karena perasaan dan perilaku atau tindakan merupakan hal yang berbeda. Dalam kelompok primerlah kepribadian dibentuk. Dalam kelompok primerlah seseorang menemukan keakraban, rasa simpati, dan rasa kebersamaan yang menyenangkan terkait dengan banyak minat serta kegiatan. Dalam kelompok sekunder seseorang menemukan cara yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu walaupun cara tersebut seringkali mengorbankan hati kecil seseorang. Konsep primer dan sekunder dalam pemahaman kelompok sangat bermanfaat karena memberi gambaran perbedaan penting dari perspektif perilaku.
4. Paguyuban dan Petembayan.
Konsep paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesselschaft) merupakan konsep yang tidak jauh berbeda dengan primer dan sekunder sebagaimana yang dikembangkan oleh Ferdinand Tonnies (1887). Secara umum istilah paguyuban dapat mengajukan pemahaman sebagai komunitas (community) sedangkan petembayan diterjemahkan sebagai masyarakat (society).
Paguyuban adalah sebuah sistem sosial yang kebanyakan interaksinya bersifat personal serta sering tradisional atau berdasarkan tradisi dan kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Biasanya, interaksi dalam paguyuban bersifat informal. Penggunaan dokumen tertulis jarang ditemukan, kontrak formal belum dikenal, dan segenap kegiatan dilakukan menurut cara-cara tradisi yang dikenal dan dapat diterima oleh seluruh anggota komunitas. Ritme kehidupan berlangsung datar (monoton), namun perasaan kesepian jarang dialami oleh anggota karena mereka sudah saling bertetangga sejak lama sehingga relatif tidak memiliki problem jarak fisik maupun sosial.
Dalam konsep sistem patembayan, masyarakat tradisional digantikan oleh masyarakat yang kontraktual. Dalam patembayan, ikatan pribadi, hak-hak tradisional, maupun tugas-tugas tidaklah sepenting sifat utilitarianisme. Interaksi antar individu ditentukan proses transaksional yang kemudian dituangkan dalam perjanjian-perjanjian tertulis. Sanak keluarga seringkali hidup terpisah, karena orang-orang cenderung selalu berpindah untuk tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Etika perilaku yang diterima secara umum didasarkan pada rasionalitas pragmatis dengan perhitungan untung-rugi. Kelompok jenis ini tersebar luas di kota-kota metropolitan modern.
Masyarakat
Setelah selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai sejumlah hal terkait dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting untuk memahami terlebih dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal ini diperlukan karena kecuali dunia kehidupan sosial itu beroperasi di masyarakat, juga pengertian masyarakat akan selalu terbawa hingga akhir buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi di depan komunikasi itulah yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa hingga jauh.
Kata masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun keduanya sangat berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu yang tidak asali, baik berupa sesuatu yang materiil maupun sebaliknya adalah konstruksi budaya atau hasil kebudayaan, atau hasil suatu budi daya manusia. Sedangkan masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Mungkin pemakaian istilah organisasi dapat dicairkan dengan pemakaian istilah sekumpulan karena organisasi mengandung pengertian adanya pengaturan struktural yang kaku dengan pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat tidaklah setegas dan seteratur sebuah organisasi.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton & Hunt 1996; 59). Pendefinisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh dua sosiolog dari Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk pegangan studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas milik mereka sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu wilayah tertentu.
Adanya sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai adanya sistem sosial. Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik sentral pengertian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah, bahwa setiap bagian struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Setiap bagian dari sebuah sistem sangat berfungsi terhadap bagian yang lain. Kesalingtergantungan antar bagian atau struktur dalam sistem sosial inilah yang membentuk masyarakat. Keyakinan ini menjadi asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang pentolannya adalah Robert King Merton.
Keseimbangan menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat. Sehingga, tesis atau anggapan ini mengabaikan adanya struktur yang beroperasi menentang atau bertentangan dengan struktur yang lain dalam sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki fungsi dalam artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan, oleh penganut teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya adalah, fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional, tetapi setidaknya kemiskinan itu berfungsi : 1) menyediakan tenaga kerja kasar, 2) pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya terhadap si miskin, 4) penyedia tenaga bagi pemanfaatan barang bekas pakai orang kaya dan lain sebagainya.
Yang baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggapan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya memiliki kesalingtergantungan sekaligus saling memiliki fungsi bagi masing-masingnya. Kecuali teori Fungsionalisme Struktural, masih terdapat sejumlah teori lain yang semuanya berbicara tentang bagaimana masyarakat bisa dilahirkan, dipelihara serta dikembangkan. Mengingat tekanan studi Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada sosiologi tetapi juga pada teknologi komunikasi, maka akan menjadi baik kalau kita batasi uraian tentang masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa mainstream golongan besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja sebagaimana, masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini memiliki kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah hal spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya.
1. Masyarakat Desa.
Sudah lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua golongan besar, yakni desa dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan perbedaan untuk sejumlah hal, terutama fisik dan sosialnya. Karenanya, selalu terdapat perbedaan perilaku antara oirang desa dan orang kota. Perbedaan tersebut merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi sastrawan untuk mengarang novel atau skenario drama dan film.
Terdapat ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat ditunjukkan dalam uraian ini yakni, 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4) ekonomi subsistensi.
Isolasi. Mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol pada masa silam adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang desa mengelompkkan diri ke dalam desa-desa kecil yang ladang pertaniannya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Rumah yang terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman desa, suatu pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun dari segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah dari yang lain, tetapi bahkan keluarga yang satupun terpisah denganb keluarga yang lain. Bukan sesuatu yang kebetulan jika budaya ramah tamah terdapat dalam kehidupan masyarakat desa di samping sifat yang menonjol lainnya yakni budaya gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti nyata betapa adat dan kebiasaan muncul karena kebutuhan sosial dan karenanya ketika kebutuhan sosial itu berubah maka akan cenderung mengubah adat dan kebiasaannya.
Homogen. Secara keseluruhan diseluruh pemukiman di suatu negara, Indonesia umpamanya, sangatlah heterogen. Namun demikian, di tempat pemukiman pedesaan pemukim cenderung sangat homogen dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya mereka mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya disertai oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional, dan etnosentrisme masyarakat yang menonjol.
Pertanian. Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau buruh lepas di sektor tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan Tokopun ikut terlibat dalam kehidupan pertanian. Semua menghadapi masalah dan tugas yang sama, serta sama-sama merasakan betapa tidak berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan alam yang berada di luar kemampuan manusia.
Ekonomi Subsistensi. Keluarga tradisional di masyarakat pedesaan berusaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi sendiri. Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem tukar (barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat hemat merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang menyolok dipandang sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah keluarga pedesaan ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak, hasil panen serta harta warisan yang diterima dan yang kelak mampu diwariskan kepada anak keturunannya.
Dalam kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya sistem ekonomi pasar, masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini muncul sebagai ketidakpercayaan dan kebencian terhadap anggota masyarakat kota.Dari sudut pandang anggota, masyarakat desa berjumlah relatif kecil terdiri dari individu-individu yang cenderung disatukan oleh garis keturunan dengan teknologi pertanian sederhana serta interaksi sosialnya dilakukan dengan model komunikasi tatap muka.
Saat ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana membanjirnya informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami perubahan. Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah membedakan masyarakat desa dengan kota melalui sejumlah penanda sebagaimana telah diuraikan di depan, tetapi perbedaan yang dapat ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman dahulu.
Dewasa ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya. Meskipun memang masih terdapat sejumlah perbedaan dalam segi kepribadian, gaya hidup, dan sistem nilai antara masyarakat desa dengan kota, namun perbedaan itu semakin mencair. Baik orang kota maupun desa telah dijangkau oleh media massa yang sama dan mereka memberikan respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa tersebut. Mobil dan jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan menjadi tidak begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak lagi dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan. Pertanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komersialisasi dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai bertumbuhan usaha agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang berkurangnya petani dan tenaga kerja agraris. Akibatnya
2. Masyarakat Kota
Pertumbuhan kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa diorganisasi berdasarkan sistem kekearabatn dan diarahkan oleh adat kebiasaan, maka tidak demikian dengan kota. Kota memiliki pembagian kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus. Bukan sistem kekerabatan sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota merupakan organisasi sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial.
Perkembangan kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan kota kecil (town) menjadi kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai dengan aktivitas khas yang terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu teritori. Misalnya, kota peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristirahatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan kota kecil ini biasanya memberikan rangsangan kuat bagi penemuan-penemuan yang tidak ditemukan di pedesaan, misalnya saja adanya kereta, selokan dan terowongan air, sistem tulisan, sistem angka, birokrasi pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifikasi sosial, serta masih banyak lagi yang lainnya. Karenanya, maka wajar kalau di dalam pertumbuhannya sejumlah kota menjadi pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta sejumlah daya tari kemujuan lain.
Namun demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan kejahatan, hedonisme, pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepura-puraan. Singkatnya, kota merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda dengan cirii budaya dominan. Kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras) tidak sebagaimana desa yang cenderung homogen. Terdapat sejumlah ciri yang dapat membantu kita mengenali masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak sosial, 3) keteraturan, 4) keramaian, 5) kepribadian urban.
Anominitas. Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan cenderung menciptakan anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota masyarakat kota habis ditengah kumpulan manusia yang anonim. Keadaan ini dihasilkan oleh hebatnya heterogenitas kehidupan kota yang ditandai oleh keanekaragaman ras, kelas sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau agama, dan lain sebagainya. Anominitas paling heboh di masyarakat kota biasanya terdapat di kampung kumuh, yakni kampung tempat manusia, lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus terlupakan. Mereka hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki masa lalu yang jelas, dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan kumpulan orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa dengan peran sosialnya yang tida penting.
Jarak Sosial. Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas, dan impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini mungkin dapat dilakukan dengan contoh berikut.
Jika kita sedang berada di sesebuah mall atau di peron stasiun kereta kita tentu berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja kita harus bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita temui tersebut bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan yang panjang dengan kita atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya dapat mengenali orang-orang yang lalu lalang itu melalui apa yang dapat kita lihat semisal pakaian, perhiasan, sikap dan mungkin barang bawaannya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan bahwa yang terjadi adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan setiap oarang bisa saja bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di dua tempat tersebut, namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta tidak memiliki kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak sosial yang nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam lagu seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian.
Keteraturan. Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau ketidakformalan, namun tidak demikian dengan masyarakat kota. Keteraturan masyarakat kota sebagai sesuatu yang wajar muncul akibat kepadatan penduduk dan spesialisasi pekerjaan. Jadwal pekerjaan yang ketat yang harus dilakukan penyesuaian dengan 'jam biologis' (waktu tidur, bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran untuk mengatur sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum.
Lampu pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, transportasi dan sejumlah hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas perkotaan. Perkembangannya bahkan, membangun rumah tinggal keluarga saja kini harus mengikuti Peraturan Daerah. Di beberapa kota besar, ada sesuatu kawasan yang tidak boleh dibangun sesuatu bangunan tanpa rekomendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga dengan perlakuan warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan mengingat pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus dilindungi melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya.
Dengan demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu kota, kecenderungannya adalah semakin banyak pengaturan hidup yang pusat orientasinya adalah pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat desa yang cenderung mengikuti harmoni alamiah. Tidak banyak pengaturan hidup yang membatasi kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa. Kehidupan cenderung berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan cuaca.
Keramaian (crowding). Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif yang dapat diukur, sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif. Seseorang merasa berada dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia kekurangan tempat atau kebebasan pribadinya. Seseorang kawan mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kota kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup karena suasana kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal.
Kecenderungan kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai oleh kepadatan penduduk yang secara fisik tentu menghasilkan keramaian. Problem sosial yang muncul dari keramaian biasanya terkait dengan penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial. Dengan mengambil contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia, memang tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam problem. Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduknya paling tinggi di dunia, namun tingkat kematian, penyakit, dan gangguan mental lebih rendah dari pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton & Hunt 1996; 154). Keramaian dan kepadatan penduduk tidak harus mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi tampaknya kita harus mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas lingkungan yang dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup manusia. Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan demi menjaga kualitas hidupnya.
Kepribadian urban. Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis Wirth, 1938) menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan menciptakan kepribadian yang sangat berbeda dengan masyarakat desa. Orang kota cenderung memiliki kepribadian anomis, materialistis, mandiri (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, manipulatif, dan cenderung dalam perasaan tidak aman.
Seiring dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotong-royong, ketetanggaan serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun menurun. Hal ini menjadi penyumbang utama munculnya kepribadian yang menempatkan 'diri' sebagai pusat pertimbangan tindakan. Sikap tolong menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan masyarakat desa tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat semacam kekosongan sosial yang alienatif yang menjadikan penduduk kota menjauh dari ciri kepribadian desa.
Kebudayaan
Sejumlah orang memberikan arti kebudayaan dengan pengertian yang sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai pikiran, karya dan apapun hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan. Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai kesenian. Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh dari pendefinisian yang memadai.
Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan dengan sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun yang merupakan hasil pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang asali dari manusia hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia dalam kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedangkan yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait dengann sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan lain-lain yang sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan merupakan konstruksi budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari dengan alat berupa sendok, piring dan garpu, serta cara mengunyah makanan yang tidak bersuara, semua itu merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian maka hal penting yang harus disadari adalah bahwa konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki perbedaan di damping sejumlah persamaan.
Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi penyumbang bagi usaha membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Apa yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin akan tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat itu berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik di kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim benar-salah, baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak ada ukuran yang dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya.
Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan konsep yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar kehidupannya dan memberi arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002). Dalam pandangan dasar ini kebudayaan digambarkan sebagai sebuah teks, kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para anggotanya dan menjadikannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan menginternalisasikan suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk perasaan maka seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah kebudayaan mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga mereka memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga mereka memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan orang lain.
Fakta penting lain mengenai kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan itu bersifat terbuka. Ia merupakan entitas ideasional. Karena sifatnya yang terbuka, maka kebudayaan itu mudah ditembus, dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai kebudayaan lain. Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin terjadi pengaruh satu kebudayaan oleh kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak tersusun atas beraneka ragam kebudayaan yang mandiri, tertutup dan bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi dan traksaksional atau pertukaran yang konstan.
Pertukaran dan penyesuaian terjadi setiap saat dan disetiap waktu. Makanan yang kita makan, buku yang kita baca, musik yang kita dengar, konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan, pengetahuan, semuanya itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk disadari agar pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan sebagaimana orang membuat kategori sederhana semisal : budaya kulit hitam, budaya kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain sebagainya.
Sebagaimana pengertian kebudayaan yang demikian luas, maka sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian material dan non-material. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat berupa barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak lagi benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif manusia. Semua benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang, manusiapun memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup. Tetapi, jika binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam dan tinggal memakainya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan mengolahnya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya.
Kebudayaan non-material terdiri dari kata-kata atau bahasa yang dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi atau berinteraksi sosial. Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta sejumlah kebiasaan juga merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang memfasilitasi umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkinkan oleh kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta norma-norma sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di sesuatu masyarakat, itu semua merupakan wujud dari kebudayaan non-material. Berjabat tangan, berjalan di sebelah kiri, berciuman ketika bertemu dengan teman lama serta masih banyak lagi contoh yang dapat disebut
Minggu, 03 April 2011
Langganan:
Postingan (Atom)