Senin, 11 Oktober 2010

Sosiologi Komunikasi 1

Evolusi Konseptual






A. Pengantar

Dalam sebuah masyarakat yang bergerak menjadi modern, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terjadi dalam lingkungan laboratorium yang terbatas, melainkan meluas ke dalam kehidupan sosial. Secara mendasar, ilmu pengetahuan sebetulnya merekonstruksikan sebuah dunia yang sama sekali berbeda dari dunia yang direkonstruksikan pengalaman manusia sehari-hari.
Dunia ilmu pengetahuan adalah dunia yang serba teratur dan dapat dikuantifikasikan, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat diuji secara intersubyektif. Ilmu pengetahuan itu dingin, tenang, penuh abstraksi, penuh dengan klaim-klaim universal. Sementara itu dunia pengalaman sehari-hari, sebagaimana yang sering disebut sebagai dunia kehidupan sosial adalah dunia yang bergerak, konkret dan padat dengan pengalaman-pengalaman unik yang berasal dari pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir, hidup, mati, dunia tempat manusia mencintai, membenci, kalah dan menang, berharap dan putus asa.
Mengkaitkan dunia ilmu pengetahuan dengan dunia kehidupan sosial inilah yang kemudian menghadirkan problem keilmuan mendasar. Tentu berdasarkan sejumlah aspek yang dapat dipilih dari dunia ilmu pengetahuan akan terjawablah problem itu. Dunia kehidupan sosial dapat didekati dengan sosiologi. Ketika dihasratkan untuk membangun perkaitan antara kehidupan sosial dengan salah satu aspek komunikasi yang dipungut dari dunia ilmu pengetahuan maka jadilah pertanyaan bagaimana kemajuan-kemajuan teknis komunikasi itu merasuki dan menentukan dunia kehidupan sosial dalam suatu masyarakat. Jawaban atas pertanyaan besar tersebut merupakan klaim wilayah studi Sosiologi Komunikasi.
Kemajuan teknologi komunikasi tentu tidak serta merta menjadikan komunikasi tatap muka tidak penting. Peradaban manusia saat ini telah sampai pada fase yang memungkinkan komunikasi antar manusia bisa dijalani melalui ketersediaan fasilitas teknologi. Kita bisa berinteraksi dengan siapapun yang kita inginkan melalui telepon genggam, e-mail, teleconferencing. Sebegitu majunya teknologi komunikasi memudahkan manusia menjalani hidup, namun ternyata tetap saja kita memerlukan bentuk komunikasi yang paling sempurna yang memungkinkankan kita memupuk keakraban fisik dan kehangatan emosional, yakni komunikasi tatap muka.
Uraian dalam alenia terakhir di muka bermaksud untuk sekedar menjelaskan bahwa wilayah bahasan sosiologi pada saat ini telah mengalami perluasan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi. Interaksi tatap muka yang selama ini menjadi bagian dominan kajian sosiologi mendapatkan perluasan dengan munculnya jenis komunikasi yang disaranai oleh teknologi. Tentu dengan demikian, sosiologi dalam kepasitasnya sebagai disiplin ilmu akan keponthalan dan selalu mrucut mengejar dunia kehidupan sosialnya jika saja lalai mempertimbangkan efek sosiologis teknologi komunikasi sebagai bagian yang harus dimasukkan dalam bidang kajiannya.
Sosiologi Komunikasi memang belum menjadi kajian ilmiah sebagaimana sosiologi dan komunikasi. Namun bukan juga merupakan bidang 'remang-remang'. Sosiologi Komunikasi telah jelas wujudnya dari persemaian pohon besar Sosiologi dan Komunikasi. Jalan panjang pengilmiahan Sosiologi Komunikasi harus dimulai sejak kita menyadari pentingnya aspek teknologi memasuki ranah komunikasi. Sebagaimana prasyarat ilmiah dari sesuatu cabang ilmu yang meliputi adanya metode, bahasa, dan bidang kekhususan maka selama ini Sosiologi Komunikasi masih meminjam dari ilmu sosiologi dan ilmu komunikasi. Sejarah pemikirannyapun masih secara samar didapat dari literatur sosiologi.
Perlu terlebih dulu kita menyadari bahwa buku sederhana ini tidak bermaksud menguraikan secara detail tentang sejarah sosiologi sehingga harus berpanjang lebar menguraikan sejumlah nama dan temuan teori-teori para moyang intelektual ilmu tersebut. Buku ini tentu juga tidak bermaksud menjelaskan sejarah komunikasi yang pada ujung penjelasannya tinggal mempersentuhkan dengan sosiologi maka jadilah Sosiologi Komunikasi. Sekalipun demikian, dipandang penting untuk memahami sosiologi sekedar dari aspek sejarah serta pengertian dasarnya.

B. Pengertian dan Perkembangan Sosiologi

Sekalipun memang tidak dimaksudkan untuk secara mendalam mengupas tentang ilmu sosiologi dan ilmu komunikasi, tetapi mengingat pembahasan Sosiologi Komunikasi mau tidak mau akan bersinggungan dengan dua cabang ilmu tersebut, maka akan menjadi baik jika diuraikan serba selintas pengertian dasar tentang keduanya.
Sosiologi adalah ilmu yang relatif muda dalam sejarah ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang sudah kita kenal. Di Perancis, kata sociology pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte ketika pada tahun 1838 ia menerbitkan buku karangannya berjudul Positive Philoshophy. Comte percaya bahwa individu dan masyarakat dapat menjadi bidang kajian ilmiah berdasarkan observasi dan klasifikasi sistematis yang jauh dari sifat spekulatif. Di Inggris Herbert Spencer (1820-1903) menerbitkan bukunya berjudul Principle of Sociology pada tahun 1876. Spencer mempertajam telaah tentang masyarakat melalui teori besarnya yang berkaitan dengan evolusi sosial. Kelak, puluhan tahun setelah itu teori tersebut diterima secara luas oleh kalangan yang berminat melakukan penelitian tentang masyarakat manusia.
Seorang Amerika, Lester F Ward menyusul menerbitkan buku berjudul Dynamic Sociology di tahun 1883 untuk menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog. Ward mengumumkan bahwa para sosiolog harus mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data-data yang nyata dan dari sana dapatlah dikonstruksi teori-teori sosial yang baik. Sekalipun himbauan tersebut hanya menghasilkan kegiatan yang relatif kecil, tetapi mampu memprovokasi lahirnya sejumlah teori besar yang muncul dari sejumlah moyang intelektual sosiologi
Seorang Perancis, Emile Durkheim (1858-1917) pada tahun 1895 memberikan suatu demonstrasi awal yang sangat penting tentang metodologi ilmiah dalam sosiologi. Pada tahun itu Durkheim menerbitkan buku berjudul Rules of Sociological Method yang merupakan uraian dasar metodologi ilmiah yang kemudian didemonstrasikan dalam penelitiannya tentang tindakan bunuh diri. Hasil penelitian Durkheim terkait tindakan bunuh diri tersebut akhirnya diterbitkan di bawah judul Suicide pada tahun 1897.
Inilah sebenarnya perkembangan awal yang sangat penting dari proses pengilmiahan sosiologi yang hingga sekarang telah memiliki sejumlah cabang keilmuan berdasarkan titik tekan pengkajiannya.
Beberapa sosiolog besar muncul dengan berbagai teori yang kesemuanya itu dapat dikatakan sebagai peletak dasar keilmuan sosiologi yang tidak dapat diabaikan. Karl Marx, Talcott Parsons, C. Wright Mills, Max Weber, Erving Goffman, Clifford Geertz, Anthony Giddens, hingga Jurgen Habermas hanyalah sejumlah kecil nama-nama besar sosiolog dunia. Beberapa sosiolog tersebut memiliki andil yang besar dalam kemajuan sosiologi melalui temuan-temuan teorinya yang terkenal. Sekalipun berbeda dalam perspektif atau cara pandang dalam mempelajari masyarakat manusia, namun mereka sepakat bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia dalam masyarakat. Intinya sama tetapi berbeda dalam pemakaian kosakata, Paul B Horton dan Chester L Hunt, dua sosiolog dari Universitas Winconsin AS, pada tahun 1984 mendefinisikan sosiologi sebagai suatu studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia.
Sebagaimana yang telah disampaikan pada awal bahasan bahwa buku pengantar ini tidak dihasratkan untuk secara khusus mendalami sosiologi tetapi memang diperlukan pengertian sosiologi sebagaimana telah diuraikan dalam alenia sebelum ini sebagai pegangan bagi pembahasan selanjutnya. Penting disadari bahwa sosiologi memusatkan penelaahannya pada kehidupan kelompok manusia sekaligus berbagai produk kehidupan kelompok tersebut. Adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai hidup yang timbul dari kelompok tersebut serta pengaruhnya terhadap kehidupan kelompok, merupakan pusat perhatian ahli sosiologi. Juga interaksi antar individu dalam sesuatu kelompok dan proses terjadinya interaksi dan kelompok adalah merupakan perhatian bidang ilmu ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi memiliki sejumlah kekhususan telaah sesuai topik bahasannya. Ada Sosiologi Terapan, Sosiologi Kelompok, Sosiologi Budaya, Sosiologi Industri, Sosiologi Politik, Sosiologi Kesehatan, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi Agama dan seterusnya hingga sebagainya termasuk salah satunya adalah Sosiologi Komunikasi.
Sejumlah topik tersebut bukan milik eksklusif sosiologi, karena sebenarnya tidak ada satupun disiplin ilmu yang mampu mendominasi satu bidang sambil mengusir bidang yang lain untuk tidak mencampuri. Sosiologi hanyalah salah satu disiplin dalam ilmu sosial yang dalam banyak hal harus berbagi perhatian dengan disiplin ilmu yang lain untuk mendekati sesuatu topik. Misalnya dalam Sosiologi Komunikasi. Dalam topik komunikasi, sosiologi harus berbagi perhatian dengan ilmu politik, hukum, kriminologi, ppsikologi dan lain sebagainya. Sosiologi kecuali dengan komunikasi, sangat erat hubungannya dengan psikologi dan antropologi sehingga kadang sangat sukar menarik batas pembedanya. Pada prinsipnya, makin banyak kita mempelajari kehidupan manusia kita akan semakin sadar bahwa perilaku manusia tak dapat diterangkan hanya oleh satu disiplin saja, yakni sosiologi. Sosiologi Komunikasi menjadi bukti untuk itu. Akhirnya, memahami kehidupan sosial manusia dalam suatu masyarakat, mengharuskan kita memahami beberapa disiplin ilmu lain, yang satu di antaranya adalah komunikasi.

C. Komunikasi

Komunikasi yang efektif penting bagi interaksi antar individu dalam masyarakat karena dua alasan. Pertama, komunikasi adalah proses dengan mana kegiatan dalam dunia sosial dilaksanakan. Kedua, dalam kapasitas manusia sebagai makhluk sosial, kegiatan hidup dilakukan dengan mencurahkan sebagian terbesar waktunya untuk berinteraksi dengan anggota kelompok yang tentu hal ini dilakukan hanya dengan cara berkomunikasi.
Proses komunikasi memungkinkan tiap orang menjalankan kegiatannya. Sangat jarang seseorang duduk sendirian memikirkan sejumlah persoalan untuk memunculkan gagasan-gagasan atau merenungkan alternatif-alternatif dalam pengambilan keputusan dalam menjalani hidup. Komunikasi menjadi penting dipahami sebagai dasar bagi setiap orang untuk dapat berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakatnya maupun dengan anggota masyarakat lain.
Shanon dan Weafer (1949) dengan agak politis menyampaikan pengertiannya mengenai komunikasi sebagai 'mencakup semua prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lain. Seperti itu pulalah Shachter (1951) menegaskan bahwa 'komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan'. Definisi semacam itu menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial dimana seseorang mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi perilaku, keyakinan, sikap orang lain dalam suasana sosial.
Suasana sosial terjadi ketika tindakan interaksi dua atau lebih individu yang memiliki makna (meaningfull) bagi masing-masing yang terlibat. Seseorang tidak dianggap sebagai sedang berkomunikasi dengan orang lain jika tindakannya tidak bermakna bagi orang lain tersebut. Tindakan seseorang menjadi bermakna komunikasi jika dimaknai oleh orang lain dan karena pemaknaan itu maka muncullah respon.
Dalam bingkai sosial, Dance (1967) mendefinisikan komunikasi sebagai 'pengungkapan respon melalui simbol-simbol verbal dimana simbol-simbol verbal itu bertindak sebagai perangsang (stimuli) bagi respon yang terungkapkan'. Dalam pengertian yang dipublikasikan oleh Dance terkandung pemahaman bahwa komunikasi memiliki mekanisme adanya stimuli dan kemudian memunculkan respon.
Tidak penting untuk mengungkapkan semua definisi yang dikemukakan oleh sejumlah peneliti komunikasi, yang lebih penting adalah mengkaji beberapa unsur yang ada dalam setiap definisi dan kemudian mengkritisinya untuk mendapatkan definisi yang komprehensif. sebagai pegangan dalam pembahasan kepemimpinan.
Penting dipahami bahwa setiap pembicaraan tentang komunikasi setidaknya menyangkut komunikator, pesan, saluran, tujuan, komunikan, dan respon. Unsur dasar dari komunikasi ini terbingkai dalam situasi sosial. Tidaklah menjadi komunikasi jika tidak ada komunikator, yakni orang atau sekelompok orang yang berinisiatif untuk menstransformasikan sejumlah gagasan atau ide yang seringkali disebut sebagai isi pesan. Bukan juga sebuah komunikasi jika tidak terdapat pesan yang akan disampaikan. Mempertimbangkan media atau saluran sebagai sarana penyampaian ide juga menjadi penting untuk ditempatkan sebagai unsur komunikasi. Begitu juga tidak akan ada komunikasi jika tidak terdapat komunikan atau orang yang menjadi sasaran transformasi pesan tersebut. Yang terakhir, tentu mudah dipahami jika hasil dari pemaknaan yang dilakukan oleh target komunikasi itu akan melahirkan respon, karena justru pada respon inilah komunikasi dibantu penganalisisannya terkait keberhasilan atau sebaliknya dari suatu kejadian komunikasi itu.
Sebagai pegangan dalam pembahasan buku ini, penulis mengetengahkan definisi standar tentang komunikasi yang dihasilkan dari pencermatan atas sejumlah fenomena komunikasi sekaligus mempertimbangkan beberapa definisi sebagaimana yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Komunikasi adalah aktivitas transformatif dalam suasana sosial.
Dalam definisi yang diajukan ini terdapat perluasan konsep tentang makna komunikasi. Bukan saja ide dan atau sejumlah gagasan yang datang dari dunia abstrak manusia saja yang terkandung dalam proses komunikasi, tetapi yang materialistik atau kebendaanpun dapat menandai adanya komunikasi. Singkatnya, transformasi dalam kaitan ini tidak hanya menyangkut ide-ide tetapi juga benda-benda sekalipun pada akhirnya benda-benda itulah yang menjadi pembawa makna.
Sebagaimana yang telah banyak ditulis dalam sejumlah atau bahkan semua buku komunikasi, transformasi dalam komunikasi ini selalu memerlukan alat sebagai medianya. Tanpa adanya sesuatu yang dapat mengantarkan pesan agar sampai kepada yang ditargetkan tentu segala macam yan`g hendak ditransformasikan ini berhenti hanya menjadi sekedar potensi. Ketika sejumlah gagasan dan ide itu tidak menemukan saluran ataupun media yang mensaranai perpindahannya kepada 'dunia' milik orang lain, maka gagasan itu tidak aktual tetapi hanya potensial yang tidak menghasilkan komunikasi. Ketika komunikasi itu melibatkan 'dunia' milik orang lain maka ketika itulah istilah situasi sosial dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Model paling sederhana dari proses komunikasi menunjukkan tiga elemen penting dari komunikasi, yakni (1) pengirim (sender/komunikator), (2) pesan (massage), dan terakhir adalah (3) penerima (receiver/komunikan). Jelaslah bahwa jika salah satu dari elemen itu hilang maka tidak akan terjadi komunikasi. Orang dapat saja mengirim pesan, tetapi jika tidak ada yang mendengar, maka tidak ada komunikasi yang terjadi.
Sebagaimana model sederhana, maka ia tidak memberitahu apapun tentang kerumitan proses komunikasi. Misalnya, kebanyakan orang mengenal dengan baik perangkat bernama telepon. Melalui sarana telepon orang bisa membisikkan pesan ke telinga orang lain. Orang lain ini kemudian membisikkan lagi pesan tersebut kepada orang yang lain lagi, dan begitu seterusnya. Penelepon pertama mungkin saja mengirimkan pesan tetapi penerima telepon mendengar pesan yang tidak sebagaimana dimaksudkan oleh peneleponnya.
Menyadari kerumitan dalam komunikasi maka model sederhana tersebut dalam perkembangan selanjutnya direvisi dengan menambahkan detail baru berupa saluran, pengkodean, dan umpan balik (feedback).
Mengenai komunikasi terkait dengan penetapan topik dalam buku ini, maka tentu bahasan tentang komunikasi massa akan menonjol dalam bab-bab selanjutnya. Namun, sebelum sampai pada bahasan komprehensif tentang komunikasi massa, ada baiknya selintas diperkenalkan tentang pengertian dasarnya.
Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Beberapa kamus memberikan definisi massa sebagai suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas.
Definisi ini menyerupai pengertian massa yang digunakan oleh para ahli sosiologi, khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media.
Herbert Blumer (1969) membuat definisi massa dengan membandingkan istilah tersebut dengan bentuk kolektivitas lainnya yang sering ditemukan dalam kehidupan sosial, khususnya kelompok, kerumunan, dan publik. Dalam sebuah kelompok kecil semua anggota saling mengenal satu sama lainnya. Para anggota menyadari keanggotaan mereka, memiliki nilai-nilai yang sama, dan memiliki struktur hubungan tertentu yang dari waktu ke waktu tetap bersifat stabil. Mereka berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu.
Kerumunan memang lebih besar, tetapi masih dapat diamati dalam suatu ruang tertentu. Terlepas dari itu, kerumunan bersifat sementara dan jarang sekali dapat dibentuk kembali seperti bentuk pertamanya. Kerumunan mungkin saja memiliki kadar identitas yang tinggi dan perasaan yang sama, tetapi biasanya tidak memiliki struktur dan aturan tertentu menyangkut segi moral dan sosialnya. Kerumunan bisa saja melakukan suatu tindakan, tetapi tindakan itu seringkali bersifat emosional dan irasional.
Massa seringkali sangat besar, bahkan lebih besar daripada kelompok, kerumunan atau publik. Para anggotanya tersebar luas dan biasanya tidak saling mengenal satu sama lain, termasuk orang yang menyebabkan khalayak massa itu lahir. Massa kurang memiliki kesadaran diri dan identitas diri, serta tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Massa ditandai oleh komposisi yang selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah pula. Massa tidak bertindak untuk dirinya sendiri tetapi dikendalikan untuk melakukan sesuatu tindakan. Anggotanya heterogen dan banyak sekali jumlahnya, serta berasal dari semua lapisan sosial yang ada. Sekalipun demikian, dalam menentukan suatu obyek perhatian tertentu mereka selalu bersikap sama dan berbuat sesuai dengan persepsi elitenya.
Sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi formal, dan pelakunya seringkali merupakan komunikator profesional. Pesannya tidak unik dan beraneka ragam. Di samping itu, pesan tersebut seringkali diproses lebih dulu, distandarisasi, dan selalu diperbanyak. Hubungan antara pengirim pesan (komunikator) dengan penerima berifat satu arah dan jarang sekali bersifat interaktif. Hubungan tersebut juga bersifat impersonal, bahkan mungkin sekali bersifat non-moral dan kalkulatif, dalam pengertian bahwa pengirim biasanya tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang terjadi pada para individu dan pesan yang dijualbelikan dengan uang atau dipertukarkan dengan perhatian-perhatian tertentu.

D. Melacak Akar Pemikiran Sosiologi Komunikasi

Melacak akar pemikiran yang menghasilkan studi sosiologi komunikasi, dapat diibaratkan sebagaimana seseorang yang sedang merayapi lorong gelap untuk mendapatkan secercah sinar yang dapat membimbing seseorang itu keluar sambil membawa sesuatu yang didapat. Banyak serpihan teori dalam sosiologi dan juga komunikasi yang dapat dijadikan anyaman pengetahuan yang menghasilkan pengetahuan baru berupa persinggungan dari kedua disiplin tersebut. Dari belantara filsafat ilmu sosial, kita terpaksa memilah dan kemudian menyeleksi sejumlah teori yang dapat dijadikan pijakan keyakinan untuk menjawab pertanyaan dari mana studi sosiologi komunikasi itu berawal.
Pertalian antara sosiologi dan komunikasi memang menjadi sesuatu yang tak terbantahkan, namun jaringan tali temali antar keduanya menjadi rumit jika kita menyepakati bahwa dunia ilmu pengetahuan tentang komunikasi dinamikanya lebih bertumpu pada teknologi sedangkan dunia sosial terpaksa menjadi bidang yang menerima pengaruh perkembangannya. Respon sosiologis terhadap perkembangan sejumlah aspek teknologi komunikasilah yang menjadi titik pusat kajian Sosiologi Komunikasi.
Dalam bahasan sebelum ini, sekalipun baru selintas, tetapi telah diungkap tentang proses komunikasi. Mencermati proses komunikasi yang merupakan proses perjalanan pesan dari seseorang individu kepada individu lain, atau dalam bahasa komunikasi dapat dikatakan bahwa pesan itu berjalan dari komunikator kepada komunikan ini sebenarnya kecuali merupakan proses psikologis, tetapi juga merupakan proses sosiologis. Terhadap proses sosiologis yang ditimbulkan oleh jalinan komunikasi ini, George Herbert Mead (1863-1931) mengkonstruksi teori dalam ilmu sosial yang amat terkenal dengan sebutan Interaksi Simbolik. Jadi, sekalipun sejarah pemikiran Sosiologi Komunikasi dapat dilacak dengan mengkait-kaitkan nama August Comte (1798-1857) sebagai nabinya sosiologi, tetapi Herbert Meadlah yang ditengarai menjadi orang yang mengawali mempersentuhkan sosiologi dengan komunikasi melalui interaksionisme simbolik. Pusat perhatian Mead ketika mengkaji tentang siklus hidup masyarakat ditumpukan pada praktek komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri.
Interaksi simbolik dapat dikatakan perpaduan dari perspektif sosiologis dan perspektif komunikologis oleh karena interaksi adalah istilah dan garapan sosiologis, sedangkan simbolik adalah istilah dan garapan komunikologi atau ilmu komunikasi (Effendy, 1993; 390). Interaksi berarti proses transformasi sesuatu kapasitas seseorang individu ke dalam posisi orang atau individu lain. Dengan demikian, bagi individu lain penerima akan dengan sendirinya terjadi upaya penerjemahan simbol yang mewadahi sesuatu gagasan yang ditransformasikan tersebut hingga dicapai makna yang dikehendaki. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui simbol kata-kata dan gerakan saja, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami.
Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan segala sesuatu yang hadir dalam kesadarannya yang sesuatu tersebut diperoleh dari luar dirinya untuk kemudian bertindak sesuai makna yang dikandung oleh sesuatu itu. Bagi penganut interasionisme simbolik, masyarakat itu tumbuh berkat pertukaran simbol-simbol komunikasi dalam interaksi sosial yang menghasilkan konsensus berupa tindakan bersama. Singkatnya, masyarakat itu lahir karena komunikasi. Segala perubahan dalam masyarakat dengan demikian penyebab paling rasionalnya adalah pertukaran simbol-simbol dalam praktek komunikasi. Praktek komunikasi akhirnya dapatlah dipahami sebagai tindakan sosial. Artinya, tindakan yang meaningfull atau tindakan penuh makna. Disinilah mulai tampak titik terang yang membimbing pikiran ke arah adanya jalinan pengertian bahwa komunikasi tidak sekedar transformasi gagasan atau pesan-pesan, tetapi juga menghasilkan efek sosiologis.
Adalah Jurgen Habermas (1929- ) yang kemudian mempertegas kajian Sosiologi Komunikasi. Dalam beberapa publikasi ilmiahnya, memang tidak eksplisit Habermas menjadikan persinggungan sosiologi dan komunikasi sebagai titik sentral. Namun, dari beberapa karya ilmiahnya dapatlah disimpulkan bahwa Habermas memberikan penjelasan yang menghubung-hubungkan komunikasi dengan sosiologi sehingga mendapatkan keyakinan yang dianutnya hingga sekarang bahwa komunikasi memberikan andil bagi lahir dan berkembangnya suatu masyarakat.
Tesis pokok Habermas dalam buku Communication and Evolution of Society (1979) adalah bahwa dalam situasi masyarakat dewasa ini, masalah-masalah tingkah laku kehidupan memerlukan diskusi rasional yang tidak melulu memusatkan diri pada sarana-sarana teknis atau pada penerapan norma-norma tingkah laku tradisional. Tetapi, penting untuk menyadari bahwa kemajuan teknis akan menghasilkan informasi-informasi teknis yang pada gilirannya harus diterjemahkan ke dalam kesadaran praktis masyarakat agar memiliki sumbangan bagi dunia kehidupan sosial. Tesis inilah yang oleh sejumlah besar ilmuwan komunikasi dan juga sosiologi ditempatkan sebagai dasar pemikiran Sosiologi Komunikasi.
Apa yang ditesiskan oleh Habermas bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul tanpa dasar sejarah. Banyak pemikiran sebelumnya yang direspon oleh Habermas. Ia mengkritisi banyak teori sebelum ia menemukan teori komunikasi yang dikaitkannya dengan dunia sosial. Teori Kritis yang masyhur itu dihasilkan oleh Jurgen Habermas setelah ia mengkritisi sejumlah kritik dari para pendahulunya terkait perkembangan masyarakat.
Sejak tahun 70-an, Habermas memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam teori yang kemudian sangat terkenal dengan sebutan Teori Kritis. Di tahun 80-an karya besarnya The Theory of Communicative Action, menandai sebuah usaha yang sangat brilian dalam mendialogkan Teori Kritisnya, yang juga ia sebut sebagai Teori Tindakan Komunikatif itu, dengan tradisi besar pemikiran ilmu sosial modern. Sejak awal Habermas tetap konsisten dalam minatnya, sehingga kita dengan jelas dapat menemukan sebuah arah ke teori komunikasi dari sejumlah karyanya. Pada taraf teori evolusi sosial, dia membedakan proses belajar dalam dimensi teknis yang menuju pada kontrol teknologis, serta dalam dimensi kehidupan sosial menuju pada perluasan komunikasi yang bebas dominasi, yang egalitarian. Habermas berpegang pada pendapat bahwa sebuah masyarakat yang komunikatif adalah yang menjadi tujuan universal masyarakat. Dasarnya adalah, bahwa konsensus yang universal dan bebas dari dominasi merupakan kehendak fundamental setiap hubungan sosial.
Bagi Habermas, komunikasilah yang menjadi titik sentral bangunan masyarakat yang universal. Pemilahan segala macam masyarakat yang secara klasik dikumandangkan oleh sosiologi baginya tidak lagi mampu mengatasi problem sosial jika mengesampingkan peran komunikasi. Tampaknya, inilah persemaian paradigma komunikasi dalam sosiologi. Membicarakan masyarakat tanpa mengkaitkannya dengan model berpikir yang pusat orientasinya pada komunikasi menjadikan pembicaraan tersebut kurang relevan.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik dengan kekerasan atau lewat revolusi, melainkan lewat argumentasi. Di sinilah pentingnya komunikasi dalam masyarakat, terlebih lagi pentingnya media dan teknik komunikasi ketika terjadi interaksi sosial. Komunikasi akan dapat mengatasi perbedaan budaya yang mungkin saja menjadi kendala saat berinteraksi. Persepsi, nilai, norma, bahasa verbal dan nonverbal, serta perilaku dimumgkinkan untuk saling ditransaksikan dalam interaksi sosial demi pencapaian konsensus rasional melalui perdebatan argumentatif.
Terdapat dua macam argumentasi, yakni perbincangan atau diskursus, dan kritik. Diskursus dilakukan jika dimungkinkan tercapainya konsensus rasional. Sementara itu, kritik dilakukan ketika terdapat persoalan terhadap norma sosial yang dianggap obyektif. Implementasi dari argumentasi-argumentasi tersebut masing-masing memiliki konsekuensi sosiologis. Keteraturan sosial yang pada awalnya telah terpola secara mapan akan sangat mungkin goyah karena konsekuensi sosiologis tersebut.
Dalam hal bahwa masyarakat ideal itu dapat dicapai dengan mengabaikan revolusi maka dengan demikian sebenarnya posisi Habermas berhadapan dengan Karl Marx. Marx menengarai bahwa revolusi proletariat sebagai jalan satu-satunya menuju masyarakat ideal, sementara itu Habermas hanya menginginkan efektivitas komunikasi dalam interaksi sosial untuk menuju masyarakat ideal yang disebutnya dengan istilah masyarakat komunikatif.

E. Fokus Kajian.

Menyimpulkan berbagai uraian sejarah pemikiran dan bangunan teori dua induknya, maka sebenarnya Sosiologi Komunikasi itu dapat dikatakan sebagai studi yang mengkaji praktek komunikasi sebagai proses sosial. Titik sentral perhatian Sosiologi Komunikasi dengan demikian adalah efek sosial yang ditimbulkan oleh adanya proses komunikasi. Tidak saja komunikasi antar individuu, tetapi juga antara individu dengan kelompok, dan bahkan antara kelompok dengan kelompok di dalam suatu masyarakat.
Fokus kajian ini sudah jelas mempertontonkan perluasan cakupan sosiologi, sekaligus komunikasi. Sosiologi tidak lagi sekedar dipakai melihat bagaimana kehidupan sosial yang meliputi norma, kebiasaan, tradisi, perkawinan, adat-istiadat, dan sejumlah lain nilai yang hidup di suatu masyarakat, namun melampaui semua itu sosiologi dipakai sebagai senjata intelektual menganalisis berbagai bentuk komunikasi dengan berbagai efeknya. Praktek komunikasi yang pada dasarnya adalah kegiatan transformasi ide atau gagasan untuk mengubah pemahaman komunikan dan akhirnya dicapai konsensus, dengan sendirinya memiliki efek sosiologis, memiliki akibat berupa jalinan makna yang berubah dari makna awalnya.
Memang, kebanyakan orang memandang bahwa jenis studi Sosiologi Komunikasi itu tak lebih dari persinggungan kedua disiplin ilmu tersebut. Sekalipun tidak dapat dipersalahkan namun yang sering terjadi adalah penyederhanaan pengertian. Sesekali terdapat anggapan bahwa sosiologi yang meneropong komunikasi itulah yang disebut Sosiologi Komunikasi. Sementara yang lain mengatakan bahwa bagaimana praktek komunikasi dalam kehidupan sosial itulah obyek materiil Sosiologi Komunikasi. Memang kedua klaim anggapan tersebut tidaklah salah, tetapi belumlah memadai.
Komunikasi itu pada prinsipnya adalah proses pertukaran makna. Jika demikian maka komunikasi itu adalah tindakan sosial mengingat dalam prakteknya komunikasi memiliki modal utama berupa makna-makna. Maka yang paling rasional mendefinisikan Sosiologi Komunikasi adalah bidang studi yang obyek formalnya adalah manusia, sedangkan obyek materialnya tindakan sosial berupa praktek komunikasi dengan segala akibat sosialnya.
Sosiologi Komunikasi menjadi studi yang penting karena dunia ilmu pengetahuan terkait praktek komunikasi telah sedemikian maju teknologinya. Kemajuan teknologi komunikasi dengan sendirinya akan berakibat pada kemungkinan berubahnya pola-pola sosial yang sudah ada. Perkembangan teknologi tentu menjadi penyumbang bagi perubahan perilaku manusia dalam masyarakat. Pola kehidupan agraris dan industri sudah sulit dibedakan secara tegas karena teknologi televisi sudah mampu membombardir informasi melalui berbagai tayangannya yang memahampaksakan bahkan menyeragamkan bentuk perilaku serta berbagai hal lain dalam sejumlah aspek kehidupan. Kalimat terakhir tersebut hanyalah satu contoh dari ketakterhitungan contoh yang bisa ditampilkan. Bahasa pergaulan anak muda sudah semakin sulit dibedakan mana yang datang dari pedesaan agraris dan anak muda mana yang dari metropolitan. Ini semua terjadi hanya karena pembelajaran sinetron di televisi yang dalam waktu bersamaan dapat ditonton oleh masyarakat kota sekaligus masyarakat desa. Menganalisis untuk mengumpulkan hasil yang kemudian dapat dijadikan peta sosial agar dapat dipakai memprediksi masa depan dari perspektif sosiologi, mungkin menjadi target utama pembelajaran Sosiologi Komunikasi.

Ekonomi Politik 1

EKONOMI POLITIK





A. Akar Sejarah

Sudah sejak jaman Yunani Kuno, dunia telah mengenal sejumlah pemikiran terkait dengan ekonomi politik. Tidak ada pemikiran pada masa itu yang secara mandiri dan terpisah mengkaji politik serta ekonomi. Ekonomi dan politik menjadi satu kesatuan bidang kajian yang berorientasi pada pengaturan ekonomi pada suatu kolektivitas individu yang mendiami suatu wilayah geografis tertentu. Pemikiran-pemikiran ekonomi diarahkan untuk mensaranai pengaturan distribusi barang dan jasa yang berkeadilan. Spirit keadilan dalam distribusi barang dan jasa inilah yang memasukkan aspek politik ke dalam pemikiran ekonomi. Ini merupakan pemikiran wajar karena pada masa itu masyarakat belumlah merupakan sistem sosial yang demikian kompleks sebagaimana pada saat ini.
Munculnya sejumlah tokoh di pertengahan abad ke-18 yang membawa sejumlah kanon ekonomi menjadikan ekonomi politik sebagai kesatuan kajian secara berangsur-angsur mulai menampakkan dirinya. Dalam pemilahan faset perkembangan ilmu ekonomi, pertengahan abad ke-18 ini menandai berawalnya periode Klasik.
Adalah Adam Smith (1723-1790), pemikir besar kelahiran Skotlandia yang membukakan mata dunia pada disiplin ekonomi politik melalui karya monumentalnya berjudul The Wealth of Nations (1776). Guru besar di Universitas Edinburgh adalah pakar utama dan pelopor dalam mazhab Klasik. Wawasannya yang sangat luas dalam pembahasan pada The Wealth of Nations itu mencakup banyak dan berbagai rupa permasalahan ekonomi masyarakat.
Adam Smith berpendapat bahwa masing-masing individu itu paling tepat mengetahui tentang apa saja yang menjadi kepentingan dirinya. Hanya individu yang bersangkutanlah yang secara persis mengetahui kepentingannya sendiri, bukannya orang lain apalagi pemerintah. Karenanya, Smith merekomendasikan pemberian peluang yang luas serta kebebasan untuk memelihara kepentingan individu itu dengan cara yang dipandang tepat oleh individu itu sendiri. Memang rekomendasi ini memunculkan kemungkinan benturan antar individu, tetapi Smith selalu percaya adanya invisible hand yang dapat menjadi pengarah agar benturan itu tidak berkekuatan merusak. Invisible hand sebagaimana Smith maksudkan adalah hukum alam yang akan secara sangat wajar menjadi pengarah interaksi ekonomi antar individu dalam pasar yang dispiriti oleh laissez faire. Pasar dengan persaingan bebas (laissez faire) inilah yang akhirnya akan membawa hasil bersama yang paling baik bagi masyarakat secara menyeluruh sehingga masyarakat dapat berkembang ke arah kemajuan dan kesejahteraan.
David Ricardo (1772-1823) adalah nama lain yang sangat terkenal sebagai pemikir ekonomi politik dalam periode Klasik ini. Ricardo bukanlah akademisi yang menghabiskan waktunya di perguruan tinggi, ia adalah pialang di Bursa Uang dan Modal di London. Di usia yang sangat muda ia sudah menjadi pialang saham yang sukses secara ekonomi. Kehidupan ekonomi yang sangat mapan tersebut akhirnya memberinya peluang yang cukup besar bagi aktivitas berpikir Ricardo sehingga terbit sejumlah tulisannya yang sangat mengagumkan.
Ricardo adalah pemikir besar ekonomi politik yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Adam Smith. Yang membedakan keduanya adalah pada penglihatannya atau prediksinya pada masa depan masyarakat. Smith lebih optimistis dibanding Ricardo yang memandang masyarakat masa depan yang dipenuhi oleh pertentangan antar golongan. Dalam bahasannya tentang tenaga kerja dan upah, Ricardo memprediksi adanya kecenderungan tingkat upah yang meningkat akan membawa perbaikan hidup kaum buruh. Perbaikan hidup ini membawa kecenderungan bertambahnya penduduk yang pesat dan akhirnya menambah pesat juga tenaga kerja. Jika tenaga kerja bertambah banyak maka muncul kecenderungan menurunnya upah hingga ke bawah tingkat yang seimbang (ekuilibrium). Ricardo menganjurkan, bahwa untuk penentuan tingkat upah sebaiknya diserahkan kepada pesaingan bebas dan tidak diperlukan campur tangan negara melalui pengaturan dalam berbagai kebijakan ekonomi. Buku yang sangat terkenal ditulis oleh Ricardo pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya berjudul The Principles of Political Economy and Taxation.
Pemikir Klasik selain Smith dan Ricardo terkait ekonomi politik adalah Thomas Robert Malthus (1766-1834). Malthus adalah alumnus University of Cambridge Inggris yang pada umur menjelang 40 tahun ia diangkat sebagai guru besar ekonomi politik di East India College. Kecuali sebagai guru besar, Malthus juga dikukuhkan sebagai pendeta hingga tutup usianya pada tahun 1834. Malthuslah yang pertama kali dalam sejarah akademik memperkenalkan istilah Ekonomi Politik sebagai suatu pengakuan atas bidang yang bersangkutan sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
Seperti halnya Ricardo, Malthuspun juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Smith sekalipun pada akhirnya ia memiliki pandangan berbeda terkait masa depan masyarakat. Tidak seperti Smith yang optimistis memandang masa depan, dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Economy yang ditulis pada tahun 1820, Malthus, sebagaimana Ricardo, mengajukan pandangannya yang suram dan pesimistis mengenai masa depan manusia sehubungan dengan pertambahan penduduk. Demikian suramnya pandangan Malthus atas masa depan, sampai-sampai ilmu Ekonomi Politik mendapat julukan sebagai dismal science atau suatu ilmu yang suram dan malang. Kelak, prediksi suram Malthus ini menemukan wujudnya ketika di abad ke-20 penduduk dunia sudah bertambah dua kali lipat. Ancaman bahaya sebagaimana diungkapkan Malthus memang sebagian dibenarkan oleh kenyataan, tetapi menjadi tidak benar ketika teknologi dan ilmu pengetahuan mampu mensaranai cara bagi usaha mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Masuknya komponen teknologi menjadi bahasan dalam ekonomi politik inilah yang mengawali 'perceraian' Ekonomi dan Politik dalam kesatuan disiplin Ekonomi Politik.
Ekonomi masyarakat tidak lagi memadai hanya didekati dengan pendekatan klasik yang hanya berputar-putar pada bahasan kecenderungan pertumbuhan penduduk dan prediksi masa depan masyarakat dalam perjuangan memenuhi kebutuhan hidupnya. Harus ada bahasan detail yang menelaah ekonomi sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa manusia yang meliputi penilaian subyektif mengenai kegunaan suatu barang. Nilai kegunaan inilah yang harus menjadi faktor penentu harga. Pasar bukanlah penyedia invisible hand yang akan menciptakan harmoni, tetapi harus ada alat ukur obyektif yang dapat dipakai untuk menentukan nilai dan harga sesuatu barang atau jasa. Pemikiran yang berspektrum nilai dan harga inilah yang menandai periode Neo-klasik, yakni periode setelah periode klasik.
Problem pokok yang digeluti oleh para pemikir neo-klasik berkisar soal supply, demand, dan price. Para pemikir neo-klasik mengembangkan teori-teori ekonomi secara terpisah dari bahasan politik. Hampir semua dari mereka menyetujui bahwa kegunaan suatu barang ditentukan oleh penilaian subyektif dari pemakai atau pengguna. Sehingga, faktor subyektif inilah yang harus dianggap penting dalam pembentukan harga dibanding faktor beaya produksi.
Terdapat sejumlah tokoh penting dalam perkembangan akar sejarah ekonomi politik memasuki era neo-klasik ini. Herman Heinrich Gossen (1810-1858) bisa disebut sebagai tokoh pemikir awal periode ini. Gossen terkenal dengan Hukum Gossen yang memuat teori marginal utilitynya pada tahun 1854 yang termuat dalam bukunya berjudul Enwicklung der Gesetze des menschlichen Verkehrs und die darausfliessenden Regeln fuer menschliches Handeln.
Pemikir neo-klasik lain yang juga mengupas nilai dan harga adalah Menteri Keuangan Kerajaan Austria-Hongaria, Eugen von Bohm Bawerk (1851-1914) dalam bukunya berjudul Die Positive Theorie des Kapitals yang diterbitkan pada tahun 1889. Menyambung pemikiran neo-klasik, teori tentang perilaku konsumen, upah dan suku bunga diajukan oleh Alfred Marshall (1842-1924). Marshall adalah pakar ekonomi sekaligus guru besar dari Cambridge University Inggris yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam periode neo-klasik ini. Dalam teori tentang perilaku konsumen tersebut, Marshall secara brilian mengembangkan suatu sintesis berupa perpaduan antara pengertian nilai subyektif pada kegunaan marginal dengan unsur obyektif yang melekat pada pengertian beaya marginal (Djojohadikusumo 1991; 69)
Masih ada beberapa pemikir ekonomi neo-klasik selain yang telah disebut di muka, misalnya saja J.R. Hicks dari Oxford University Inggris dan Irving Fisher dari Yale University Amerika Serikat serta Vilfredo Pareto dari Italia. Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa para pemikir neo-klasik ini memisahkan kajian ekonomi dari kestuannya dengan politik seperti yang telah dikerjakan oleh para pendahulunya yang klasik. Mereka semua memberi sumbangan besar pada ilmu ekonomi dan sekaligus membuat fondasi pada perkembangan selanjutnya terkait dengan kemunculan kembali ekonomi politik sebagai disiplin ilmu.
Perkembangan selanjutnya adalah ditandai oleh sejumlah peristiwa yang memberikan indikasi ketidakberdayaan ilmu ekonomi 'murni' menghadapi situasi masyarakat. Situasi termaksud adalah kecenderungan dunia ekonomi yang tak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan politik. Beberapa pemikir neo-klasik mulai tidak saja mempelajari perilaku konsumen tetapi juga perilaku organisasi, birokrasi serta melakukan kajian tentang kebijakan publik yang mengkait dengan problem ekonomi suatu negara. Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik kembali rujuk di tangan pemikir ekonomi politik modern untuk menjadi kajian mandiri dan semakin solid menjawab persoalan ekonomi dalam suatu masyarakat. Sejumlah karya dari sejumlah penulis semisal Kenneth Arrow, Mancur Olson, William Riker, dan Gordon Tullock membawa ekonomi politik pada wujudnya yang nyata. Ekonomi Politik sebagai suatu sains juga semakin mantap beroperasi ketika berbagai organisasi ekonomi transnasional seperti OPEC, IMF, WTO, Bank Dunia muncul sebagai kekuatan baru dalam pengaturan internasional. Di dalam negeri sendiri, ekonomi politik menampakkan wujudnya semakin nyata ketika negara tidak dapat cuci tangan terhadap problem distribusi kekayaan rakyatnya. Pengaturan-pengaturan demi melindungi rakyat dari ketidakadilan ekonomi juga akan memberi peluang pemerintah untuk mencampurtangani kegiatan ekonomi melalui segala macam kebijakan atau perundangan untuk itu.
Jadi sebenarnya, jika sekarang dunia mengenal Ekonomi Politik sebagai displin ilmu yang semakin hari semakin solid, hal itu semata-mata merupakan kebangkitan kembali yang diraih dari akar keilmuan ekonomi yang sudah berawal dari jaman Yunani Kuno. Ketika masyarakat sudah menjadi institusi sosial yang sangat kompleks, maka ekonomi tidak bisa lagi dipisahkan dari politik. Dalam Ekonomi Politik, Ilmu Ekonomi akhirnya menjadi senjata analisis bagi permasalahan-permasalahan politik.
Mengikuti perkembangan sejarahnya, sebenarnya dapat dikatakan bahwa terdapat dua versi Ekonomi Politik. Yang pertama adalah Ekonomi Politik Klasik yang tumpuannya pada buku The Wealth of Nations tulisan Adam Smith, dan yang kedua adalah Ekonomi Politik Modern. Yang pertama memberi penjelasan adanya pembahasan tentang Kebijakan Ekonomi yang meliputi analisis ekonomi pasar dan prinsip-prinsip keuangan negara. Sedangkan yang kedua yaitu Ekonomi Politik yang membahas bagaimana sistem ekonomi itu bekerja dan bersinergi dengan sistem politik yang berlaku di suatu negara. Dalam hal ini, Ekonomi Politik lebih berbicara tentang prisip-prinsip umum dalam bidang ekonomi yang bersifat politik. Dikatakan bersifat politik karena membahas segi otoritas negara dalam masyarakat..

B. Mendefinisikan Ekonomi Politik

Tentu kita mudah memahami istilah ekonomi politik sebagai mengandung pengertian yang mempersentuhkankan ekonomi dan pengertian politik. Sekalipun mengandung kebenaran, tetapi mendefinisikan ekonomi politik dengan sekedar mencari titik sentuh di antara keduanya adalah menyesatkan kecuali juga tidak memadai. Sebelum sampai kepada pengertian yang komprehensif tentang ekonomi Politik, yang penting untuk dimengerti dahulu adalah pengertian masing-masingnya, yakni pengertian tentang ekonomi dan politik.

1. Ekonomi

Dalam dunia kehidupan sosial, istilah ekonomi adalah merupakan istilah yang sangat gampang ditemukan disebut orang dalam keseharian. Istilah ini dipakai untuk pengertian yang mungkin tidak tunggal. Artinya, sebagai istilah, ekonomi memiliki beberapa pengertian. Ada pengertian yang memberi penjelasan adanya suatu 1) cara, misalnya dalam kalimat "Sangat tidak ekonomis jika saya pergi ke luar Jawa dengan mengendarai kendaraan sendiri". Kata ekonomis dalam kalimat tersebut mengedepankan arti adanya cara yang terlalu banyak memakan pengorbanan atau cara yang lebih hemat. Akan menjadi ekonomis jika ia mempertimbang- kan waktu serta tenaga, mungkin juga pengeluaran beaya, dan tidak memilih berkendaraan melalui jalan darat tetapi menggunakan pesawat terbang.
Istilah ekonomipun memiliki arti sebagai 2) sistem, artinya kata ekonomi itu dipakai untuk menandai adanya suatu sistem yang berlaku di masyarakat terkait dengan pengaturan distribusi barang dan jasa, semisal ekonomi kapitalis, ekonomi sosialis, ekonomi pasar, ekonomi liberal dan lain sebagainya. Sementara itu, kata ekonomipun mengandung pengertian adanya 3) aktivitas. Artinya, ekonomi dipandang sebagai bentuk kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya terkait dengan barang dan jasa. Kegiatan ekonomi bagi manusia merupakan kegiatan sebagai wujud hakekat manusia sebagai makhluk yang bekerja. Jika binatang segala kebutuhan hidupnya menyatu dengan alam dan tinggal merenggutnya untuk dimakan, maka tidak demikian dengan manusia. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu harus bekerja mengerjakan alam dulu sebelum dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan inilah yang sebagian terbesarnya diartikan sebagai kegiatan ekonomi.
Uraian yang lebih spesifik terkait dengan kegiatan ekonomi dapat juga dimulai dari pertanyaan bagaimana masalah ekonomi itu timbul. Masalah ekonomi itu timbul oleh adanya fakta : 1) jumlah dan macam kebutuhan manusia itu sangatlah banyak, dan 2) alat pemuas kebutuhan tersebut sangatlah terbatas. Dari masa pra-sejarah hingga jaman modern ini belum pernah kita jumpai suatu masyarakat atau suatu bangsa yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi seluruhnya. Masyarakat primitifpun yang memiliki kebutuhan relatif tidak banyak dibanding masyarakat modern tidak mampu memenuhi keseluruhan kebutuhannya karena memang memiliki kemampuan yang rendah untuk mencukupi kebutuhan itu. Dengan demikian maka selalu muncul masalah ekonomi pada bentuk masyarakat dengan tingkat kemajuan apapun.
Dari beberapa pengertian ekonomi, kita memerlukan pengertian sebagai dasar pegangan dalam bahasan ini. Memang sulit menemukan definisi ekonomi yang serba mencakup. Para ahlipun mendefinisikan ekonomi dengan kecenderungan sudut pandang yang dipakai masing-masing sehingga sulit bagi kita menemukan definisi yang seragam tentang ekonomi. Membiarkan istilah ekonomi dalam beberapa pengertiannya sebagaimana telah diurai di mukapun merupakan sesuatu yang tidak ada gunanya. Untuk itu, sebagai pegangan dalam buku ini ekonomi diartikan sebagai serangkaian kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya atas barang dan jasa yang ketersediaannya relatif sangat terbatas. Dengan demikian Ilmu Ekonomi dapat diartikan juga sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya mengadakan pemilihan di antara berbagai jenis alternatif pemakaian terhadap alat-alat pemuas kebutuhan yang terbatas adanya berupa barang dan jasa.
Memang pengertian tersebut sangatlah sederhana, tetapi kiranya sudah cukup membantu kita dalam analisis ekonomi politik. Jika berdasarkan pengertian harfiahnya, ekonomi berasal dari kata Yunani 'oikos' dan 'nomos' yang lazim diartikan sebagai seni mengelola rumah tangga, maka sebenarnya pengertian pegangan sebagaimana ditampilkan di muka itu sudah cukup mengandung perluasan arti. Dan lagi,. buku sederhana tentang ekonomi politik ini juga tidak bermaksud menguraikan secara detail tentang ekonomi sebagaimana uraian selintas tentang politik berikut ini.

2. Politik

Politik dalam arti yang paling luas adalah dimensi kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Politik mengandung pengertian adanya interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk suatu aktivitas publik demi kebaikan bersama dalam kehidupan sosial (Susilo dkk. 2003; 5). Artinya, jika ekonomi beroperasi di wilayah keluarga atau rumah tangga, maka politik memiliki ruang operasi suatu negara.
Persoalan yang terus muncul mengenai kehidupan bernegara ini adalah siapa yang berhak mengatur dan mengarahkannya, dan bagaimana pengaturan serta pengarahan itu dilaksanakan. Secara lebih mendasar persoalannya adalah manakah politik yang dapat diterima oleh semua pihak yang ada di dalam sebuah masyarakat atau negara. Ini adalah soal legitimasi. Sebuah kekuasaan harus dilegitimasikan agar efektif pada semua pihak. Kekuasaan itu sekurang-kurangnya harus tampak benar di hadapan berbagai pihak yang dikuasai.
Dalam kehidupan sosial, ada segi kehidupan rutin yang bisa diantisipasi, terjadi dalam pola-pola yang mapan, dan ada segi kehidupan yang menghadapkan manusia pada beberapa pilihan yang serba mungkin untuk mengubah atau mempertahankan kehidupan sosial itu. Segi yang berada pada proses be coming inilah politik. Politik memang mengandung ruang serba mungkin yang besar, tetapi hal ini tidak berarti bahwa politik hanya bisa dilegitimasikan, politik juga bisa dirasionalisasikan. Memang penting disadari, bahwa dunia politik sebagian besar belum berada pada kontrol sadar anggota masyarakat, dan kesadaran itu menuntut proses belajar yang mentradisi dan terbuka terhadap kritik.
Politik sebagai bentuk pengaturan hidup kolektif demi kebaikan bersama dengan demikian mengandung nilai moralitas yang tinggi. Sebagian terbesar dari masyarakat memang awam politik, tetapi tidak lantas menyediakan peluang bagi politisi untuk memakainya sebagai sarana dominasi atau sarana menguasai. Ini menjadi tanggungjawab elite politik untuk membawa keadaan kepada situasi masyarakat yang hidup dalam kebaikan bersama.

3. Ekonomi Politik

Mencermati pengertian ekonomi dan pengertian politik sebagaimana telah diuraikan serba selitas di muka, maka kemudian terbentuklah gambaran bahwa Ekonomi Politik memang sebuah kajian yang memiliki persentuhan di antara keduanya. Ekonomi Politik secara longgar dapat diartikan sebagai analisis ekonomi yang menyertakan aspek non-ekonomi, khususnya aspek politik. Dengan sudut pandang yang lebih luas, Ekonomi Politik akan membawa pemahaman bekerjanya suatu sistem ekonomi dan proses politik sebagai dua sisi dari satu mata uang yang sama (Deliarnov 2006; 9).
Pengertian Ekonomi Politik juga mengandung pengertian beroperasinya negara atau pemerintah sebagai sebuah rumah tangga. Jika Ekonomi meneropong pelaku ekonomi yang beroperasi di wilayah rumah tangga keluarga, maka Ekonomi Politik meneropong bekerjanya pemerintah sebagai pelaku ekonomi. Pemerintah dalam hal ini berada pada posisi sebagai pengatur perekonomian masyarakatnya yang tugasnya meliputi antara lain : mengusahakan distribusi pendapatan nasional yang adil, meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja, mengatur tingkat harga yang stabil, mengusahakan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memungut pajak untuk pengadaan barang dan jasa publik dan lain sebagainya.
Dengan demikian, sebenarnya Ekonomi Politik menjadi disiplin ilmu yang komprehensif, yang merupakan efek sinergis dari analisis ekonomi dan analisis politik di suatu negara. Sebagai disiplin ilmu, Ekonomi Politik memberi informasi penting tentang bagaimana kebijakan publik itu dibuat dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pusat orientasinya. Ia memberi saran pada penguasa negara tentang pengelolaan masalah ekonomi negaranya. Ekonomi politik memberi sumbangan yang penting bagi kebutuhan mensinergikan sistem ekonomi dan sistem politik.

C. Sistem Ekonomi dan Sistem Politik

Banyak orang secara serampangan menerapkan istilah-istilah seperti demokrasi, kediktatoran, kapitalisme, dan sosialisme kepada baik sistem ekonomi maupun sistem politik. Hal ini sangat mengganggu karena, kecenderungan ini akan mengaburkan pengertian kedua sistem itu sendiri. Kesalahan dalam penggunaan istilah-istilah tersebut juga sangat dimungkinkan oleh ketidaktahuan atau ketidakacuhan tentang asal usul sejumlah istilah tersebut. Kemungkinan yang lain adalah kurangnya perangkat definisi terkait istilah itu. Karenanya, mengingat bahwa istilah-istilah itu akan digunakan dalam buku ini maka dipandang layak untuk mengemukakan definisi-definisinya.
Sistem adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian dan sejumlah sub-bagian yang bekerjasama saling tergantung dan saling mempengaruhi untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan. Bekerjanya suatu sistem merupakan penjumlahan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh bagian dan sub-bagian di dalam sistem tersebut. Sistem beroperasi berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk kemudian diusahakan melalui kegiatan untuk dicapai. Dalam sistim mobil, terdapat sejumlah bagian berupa roda, rangka body, rem, pembakaran, suspensi dan lain sebagainya. Dalam beberapa bagian tersebut masih terbagi ke dalam sub-bagian lagi. Bagian pembakaran terdiri dari sub-bagian berupa busi, premium, karburator dan lain-lain yang dibutuhkan oleh bagian tersebut untuk berfungsi. Bagian roda terdapat sub-bagian angin, velg, dan juga ban. Pada saat tujuan berkendaraan mobil sudah ditetapkan yakni pergi ke Surabaya misalnya, maka beroperasilah mobil tersebut menuju tujuan yang telah ditetapkan tersebut yakni ke Surabaya. Bergeraknya mobil menuju Surabaya ini memerlukan beroperasinya sistem mobil. Semua bagian dan sub-bagian dalam mobil tersebut harus beroperasi dengan baik sehingga mobil bisa melaju secara memadai ke Surabaya. Jika terdapat salah satu bagian atau sub bagian yang tidak berfungsi semestinya, maka akan menimbulkan gangguan bahkan mungkin mobil tersebut tidak akan bisa bergerak. Hal ini menandakan bahwa dalam suatu sistem yang baik selalu ada ketergantungan di antara bagian-bagiannya. Semua bagian fungsional bagi bagian yang lain dan saling mempengaruhi serta saling tergantung.

1. Kapitalisme vs Sosialisme

Sebagaimana telah disinggung secara selintas tentang pengertian ekonomi dalam sub-bab sebelum ini, maka dengan demikian tiap manusia hidup mau tidak mau selalu terjangkau oleh ekonomi. Sejumlah besar tindakan kita menjadi memiliki fungsi ekonomi. Berkendaraan di jalan, di sekolah, di pasar, di stasiun kereta, di bandara dan lain sebagainya adalah peristiwa- peristiwa yang dapat dipahami sebagai peristiwa ekonomi. Bekerja di kantor atau kegiatan apapun yang kita lakukan menjadi tidak benar-benar lepas dari peristiwa ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hakekat manusia yang merupakan makhluk pekerja sebagaimana yang telah di singgung dan diuraikan di muka. Sebagai makhluk pekerja, manusia dengan demikian menjadi pelaku ekonomi.
Dalam ekonomi dikenal pelakunya adalah rumah tangga. Rumah tangga keluarga dan rumah tangga negara. Dalam pembahasan mengenai sistem ekonomi ini ekonomi lebih di arahkan untuk dimengerti sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga negara atas barang dan jasa. Sebagai rumah tangga, negara dengan demikian juga merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah bagian dan sub-bagian. Sistem dapam perekonomian negara, secara sangat sederhana memang dapat ditunjukkan dengan menempatkan kapitalisme dan sosialisme pada dua titik yang berlawanan dalam suatu garis lurus. Perlu penegasan di sini, bahwa sekalipun hanya terdapat dua sistem perekonomian yang memiliki karakter sangat kontras dan boleh dikata bahwa keduanya mewakili kutub yang berbeda, tetapi tidak lantas dalam realitas sosial kita tidak mendapatkan jenis sistem lain selain kapitalisme dan sosialisme. Sekalipun di antara dua kutub itu masih terdapat varian sistem perekonomian, tetapi yang penting mendapat penjelasan di sini adalah kapitalisme dan sosialisme.
Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi suatu negara yang sebagian besar kegiatan ekonominya dilaksanakan oleh kaum pemilik kapital. Distribusi pendapatan sangat tergantung kepada bagaimana interaksi kaum pemilik kapital dengan para buruhnya. Semua kegiatan ekonomi berlangsung dengan dominasi produksi pada perusahaan-perusahaan swasta. Peran negara hampir-hampir tidak ada yang dapat mengendalikan kekuasaan kaum pemilik modal. Nilai dan harga atas barang-barang produksi ditentukan oleh pasar dengan persaingan bebas. Dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat terbelah secara tegas ke dalam kelompok majikan, yakni kelompok yang menguasai faktor produksi, terutama modal, dan kelompok buruh yang hanya mampu menjual jasa tenaganya bagi kepentingan produksi di perusahaan-perusahaan yang dimiliki para majikan.
Sosialisme adalah sistem ekonomi yang sebagian terbesar kegiatan ekonominya dilaksanakan oleh badan-badan milik pemerintah atau masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah, mengatur semua distribusi barang dan jasa sesuai kebutuhan warga negaranya. Pengaturan ekonomi secara terpusat kepada pemerintah ini meniadakan peluang munculnya jarak sosial yang menganga antara yang kaya dan sebaliknya. Bahkan, soal hak milik pribadi dalam sistem ekonomi ini sangat dikesampingkan.

2. Demokrasi vs Otoriter

Senang atau tidak senang, dapat dikatakan bahwa tak seorang manusiapun di dunia ini yang benar-benar dapat berada di luar jangkauan suatu sistem politik. Seseorang warga negara akan menjumpai politik di dalam pemerinthan sebuah negara, kota, lembaga pendidikan, gereja, pondok pesantren, perhimpunan kemasyarakatan, dan sejumlah organisasi lainnya. Berdasarkan uraian singkat pada sub-bab sebelum ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya politik adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam kaitan dan keberadaan manusia. Semua orang boleh dikata terlibat dalam sesuatu bentuk dan di suatu waktu tertentu pada salah satu macam sistem politik.
Jika politik memang tidak dapat dielakkan, sejumlah akibatnyapun tak terhindarkan pula. Bisa saja pernyataan semacam itu dipandang semata-mata retorikal, namun dewasa ini politik merupakan kenyataan gamblang yang dapat dirasakan. Di Indonesia, sejak menggelindingnya reformasi di tahun 1998, politik menerjang hampir semua segi kehidupan manusia. Sejumlah tokoh agama yang sejak semula sudah cukup nyaman berada di luar panggung politik untuk menjadi pilar moralitas bangsa, kini telah banyak yang mewarnai 'interupsi' di Senayan. Politik adalah panglima. Politik menjadi sesuatu yang 'mau tidak mau' harus diterima sebagai realitas sosial yang menjadi pusat rujukan sejumlah besar tindakan manusia.
Mengabaikan politik, tentu tidak dapat berarti bahwa kita benar-benar berhasil terhindar dari politik. Bisa saja kita berusaha memahami untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu kita tentang politik, tetapi hal itu bukan pertanda bahwa kita akan bisa mengabaikannya. Siapa saja bisa memberi makna yang masuk akal atas politik, tetapi dalam kenyataannya politik adalah masalah yang luar biasa rumit dan bahkan merupakan salah satu dari masalah yang paling rumit yang pernaha dihadapi oleh umat manusia. Inilah sejatinya politik. Bisa saja kita masa bodoh terhadap politik, tetapi bahayanya ialah, tanpa pengetahuan dan ketrampilan dalam politik yang 'rumit'nya tak ketulungan tersebut, kita akan terjerumus untuk menyederhana- kan politik. Keadaan ini tentu akan merugikan kita sendiri. Itulah pentingnya memahami politik.
Saya merasa cukup adil untuk mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan. Uraian tentang politik di buku inipun terlalu sederhana karena memang buku ini tidak bermaksud sebagai buku politik. Buku ini juga menyederhanakan politik, tetapi bagi saya penyederhanaan itu tidaklah berlebihan karena yang kita butuhkan dalam uraian ini sekedar sistem politik.
Jika politik terkait dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan dalam kehidupan negara, maka memahami sistem politik akan menjadi baik jika diawali dengan pembagian kekuasaan dalam negara tersebut. Tentang bagaimana suatu negara memiliki ideologi dalam pembagian kekuasaan, tentu banyak informasi yang dapat dihadirkan. Kita dapat menyebutkan bahwa negara A menganut trias politicanya Montesquieu, sedangkan negara B menganut sistem monarki, dan negara yang lain lagi menganut pembagian kekuasaan model aristokrasi. Banyak model dalam pembagian kekuasaan yang dilakukan atau dianut oleh negara-negara di dunia ini. Tetapi, yang penting disadari adalah bahwa secara ekstrem pembagian kekuasaan dalam negara itu dapat dipisahkan menjadi dua model besar yang saling berlawanan. Dua sistem politik tersebut terletak di masing-masing ujung dalam satu garis, yakni demokrasi dan otoriter. Bahwa di antara dua titik ekstrem demokrasi dan otoriter tersebut bisa ditemukan sejumlah varian yang merupakan perpaduan berdasarkan bobot keduanya adalah hal yang tak bisa dibantah. Tetapi di sini, yang dianggap penting untuk dijelaskan adalah dua kutub sistem politik tersebut, yakni demokrasi dan otoriter.
Demokrasi ialah suatu sistem politik yang memberi kesempatan kepada warga negara yang sudah dewasa untuk berperanserta di dalam pengambilan keputusan. Dalam sistem politik demokrasi rakyat mendapat kesempatan yang sama dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama. Ada perluasan hak bicara dalam sistem ini, karena memang rakyat diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya. Dapat juga demokrasi diartikan sebagai transaksi bebas gagasan. Artinya, pada sistem ini setiap orang memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan segala gagasannya.
Otoriter adalah suatu sistem politik yang menyediakan peluang sangat terbatas dalam pengambilan keputusan yang bersifat publik. Hanya pada kalangan tertentu, terutama kalangan elite politik saja, peranserta dalam pembuatan keputusan publik itu diberikan. Massa yang dalam hal ini merupakan bagian terbesar dari warga negara merupakan kumpulan orang-orang yang hanya tertimpa keputusan politik yang dibuat oleh sekelompok kecil golongan penguasa. Otoritarian sebagai suatu sistem politik biasanya menyertakan informasi peran militer dalam pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam sistem ini, pemerintahan berlangsung dengan sangat coercive. Kepatuhan warga negara pada semua keputusan yang diambil pemerintah bersumber dari rasa takut mendapat akibat yang akan mendatangkan penderitaan baik fisik maupun non-fisik.
Jadi dengan demikian, maka sebenarnya demokrasi dan otoritarian merupakan dua kutub ekstrem dari sistem politik. Sementara itu sosialisme dan kapitalisme adalah dua peristilahan yang memberikan penjelasan pada sistem ekonomi. Pemilahan yang sangat dikotomis terkait dengan sistem ekonomi dan sistem politik tersebut seringkali tidak memuaskan jika kita melihat prakteknya. Dalam praktek sistem politik, hampir tidak bisa ditemukan sistem politik yang benar-benar demokratis dan begitu juga tidak ditemukan sistem politik yang benar-benar otoriter dan diktator. Demikian juga dalam praktek sistem ekonomi, kita akan kesulitan mendapatkan sistem ekonomi yang benar-benar kapitalis maupun yang benar-benar sosialis. Kebanyakan dari praktek sistem ekonomi dan sistem politik hanya merupakan kecenderungan-kecenderungan saja. Yang satu cenderung kapitalis sementara yang lain cenderung sosialis. Bahkan, jika lebih cermat mengamati akan ditemukan varian sistem ekonomi lain yang berada di antara dua kutub ekstrem tersebut. Antara sistem politik demokratis dan otoriterpun sebenarnya terdapat varian sistem yang perlu mendapatkan kajian lanjutan.
Dalam banyak negara, termasuk Indonesia, terdapat interaksi antara swasta dan pemerintah. Swasta dan pemerintah bekerja bersama, bercampur dalam berbagai kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi dan kegiatan politik. Para pengusaha mendanai sejumlah kegiatan politik pemerintah untuk sejumlah tujuan yang berbau ekonomi. Pemerintah merasa perlu juga untuk mencampurtangani kegiatan ekonomi swasta demi melindungi rakyat dari kemungkinan menjadi obyek keserakahan pengusaha. Berbagai peraturan dan undang-undang dibuat untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan dalam hal pembagian pendapatan. Maka dengan demikian, sebenarnya antara sistem politik dan sistem ekonomi terjadi interaksi simbiotik. Hubungan ekonomi dan politik akhirnya menemukan bentuknya yang khas sebagai hubungan sosial yang menandai perkawinan aspek ekonomi dan aspek politik.

D. Fokus Kajian

Pada dasarnya, istilah ekonomi politik mengandung pengertian analisis ekonomi yang mengikutkan variabel-variabel politik. Sebagaimana pengertiannya yang mencakup kegiatan publik, maka politik membuka peluang yang sangat luas untuk bersentuhan dengan berbagai bidang ilmu selain ekonomi dan juga politik sendiri. Hal ini menimbulkan keluasan cakupan ekonomi politik yang akan menghasilkan analisis yang komprehensif. Dalam keputusan-keputusan yang bersifat publik selain bersentuhan dengan ekonomi, politik dapat saja menyentuh bidang hukum, sosial, budaya, bahkan psikologi. Wajar, karena bidang politik adalah bidang yang mengarah pada sejumlah besar aspek hidup manusia yang diusahakan untuk sampai kepada keadaan sebagaimana rumusan 'kebaikan bersama'. Perekonomian tak bisa diserahkan begitu saja pada produsen dan konsumen melalui mekanisme pasar. Campur tangan pemerintah diperlukan melalui serangkaian kebijakan publik.
Suatu kebijakan disebut sebagai kebijakan publik bukan sekedar karena kebijakan itu telah diundangkan, atau karena kebijakan tersebut dilaksanakan oleh publik, namun karena isi kebijakan itu menyangkut kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum inilah yang eksplisit dimaksudkan sebagai kebaikan bersama dalam pengertian murni politik. Di sinilah kaitan yang tak terbantahkan antara ekonomi politik dengan kebijakan publik terjadi. Mungkin inilah alasan paling rasional mengapa studi kebijakan publik selalu saja mengkait ekonomi politik.
Menyadari bahwa demikian luasnya cakupan ilmu ekonomi politik, maka diperlukan penjelasan yang memberi informasi penting mnengenai kejelasan fokus kajiannya. Jika ekonomi mengandung pengertian yang luas tentang kegiatan pemenuhan kebutuhan atas barang dan jasa bagi manusia, dan dari dasar filsafat politik merupakan aktivitas pengaturan hidup kolektif demi kebaikan bersama, maka mudahnya mengartikan fokus kajian eonomi politik adalah segala bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam suatu negara. Tetapi penetapan fokus kajian yang demikian ini terasa terlalu luas. Sekalipun mengandung kebenaran, tetapi penetapan fokus ini masih perlu penjelasan lanjutan.
Penting disadari, bahwa analisis ekonomi politik beroperasi pada telaah tentang kebijakan publik. Tentu tidak setiap kebijakan publik menjadi obyek kajian ekonomi politik. Hanya kebijakan publik yang memiliki variabel ekonomi saja yang menjadi fokus kajian ekonomi politik. Mulai dari perumusan rencana, pengorganisasian hingga implementasinya sesuatu kebijakan publik terkait problem ekonomi masyarakat adalam merupakan bagian dari fokus kajian ekonomi politik.
Interaksi sistem ekonomi dengan sistem politik yang beroperasi di suatu negara adalah merupakan obyek kajian ekonomi politik. Studi ini menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara sistem ekonomi dan sistem politik. Sebagaimana sebuah sistem yang bekerjanya tergantung kepada kesalingtergantungan sub-sub sistem, maka sistem ekonomi dan sistem politikpun memiliki sub-sub sistem yang saling berhubungan. Sektor swasta, masyarakat, buruh dan organisasi buruh, partai politik, pemerintah, lembaga birokrasi, lembaga konsumen dan lain sebagainya dapatlah disebut sebagai sub-sub sistem dalam penjelajahan ekonomi politik.
Sub-sub sistem ini memiliki unit-unit terkecil berupa sejumlah aspek di antaranya adalah proses produksi, investasi, pembentukan harga, perdagangan, konsumsi, pelayanan publik dan lain sebagainya. Jadi dengan demikian, mengingat ekonomi politik merupakan bidang ilmu yang menelaah interaksi simbiotik sistem ekonomi dan sistem politik, maka dengan sendirinya sub-sub sistem dan unit-unit yang berada di dalamnya itulah yang menjadi fokus kajiannya. Myrdal (1968) bahkan menempatkan sejumlah variabel sosial seperti korupsi, disiplin, gizi buruk, dan perilaku sosial sebagai bagian dari fokus kajian ekonomi politik ini.
Memang terasa terlalu luas, tetapi kita perlu sadar bahwa ekonomi politik memang perpaduan dua ilmu yang masing-masing sejak awal memiliki fokus kajian yang luas. Jika Ilmu Ekonomi lebih bersifat teoritis, maka Ekonomi Politik lebih bersifat praktis yang menonjolkan aspek seninya (the art of economics)
Dari aspek kemajuan suatu bangsa, studi ekonomi politik ini memliki fokus yang lebih diperhatikan dalam telaahnya. Ekonomi politik menempatkan perhatiannya yang besar kepada bangsa-bangsa dari negara bukan industri atau negara terbelakang serta negara berkembang. Perhatian juga di arahkan pada kelompok-kelompok yang dimiskinkan oleh proses sistem serta upaya pengentasannya melalui perumusan kebijakan publik.

Psikologi Sosial 1

PSIKOLOGI SOSIAL







A. Akar Pemikiran

Sejarah perkembangannya dimulai ketika Plato (400 SM) mengatakan bahwa ada trikotomi jiwa manusia, yakni kecerdasan, kemauan dan perasaan. Aristoteles (generasi setelah Plato) berpendapat bahwa ilmu jiwa adalah terkait dengan semua gejala hidup. Semua makluk hidup memiliki jiwa. Semua hewan, tumbuhan dan manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa.
Informasi yang muncul dari alenia di atas bermaksud untuk memberikan penegasan bahwa psikologi atau umum menyebutnya sebagai ilmu jiwa telah sejak lama ada. Berasal dari perkataan Yunani psyche yang berarti jiwa, dan logos berarti ilmu pengetahuan maka kemudian istilah psikologi tersebut memuat arti sebagai ilmu yang mempelajari sisi kejiwaan manusia sebagai individu. Penting untuk disadari bahwa manusia sebagai individulah yang menjadi titik sentral kajian psikologi, bukannya individu dalam konteks sosial.
Ahli Ilmu Jiwa dari Austria, Sigmund Freud (1856-1939) menemukan teori sadar dan bawah sadar dalam kejiwaan manusia. Freud memberikan penjelasan bahwa pikiran-pikiran, hasrat-hasrat serta sejumlah perasaan termasuk pada sesuatu yang disadari atau 'yang sadar'. Sedangkan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu serta hasrat dan pikiran yang berpengaruh pada tindakan yang tidak disadari disebutnya sebagai 'bawah sadar. Ia katakan bahwa kehidupan manusia sadar itu ibarat gunung es. Yang tampak dan terasakan hanya 10%, sedang sisanya tenggelam dalam bawah sadar.
Perkembangan berikutnya adalah, ketika Gustave Le Bon (1841-1932) mengkaitkannya dengan massa sebagai sekumpulan orang yang cenderung memiliki jiwa, maka bersemailah perluasan kajian psikologi dari yang bersifat individual ke arah yang lebih luas yakni massa.
George Herbert Mead (1863-1931) adalah intelektual besar Amerika akhir abad ke-19 yang memberi sumbangan besar pada perkembangan pemikiran psikologi sosial melalu usahanya dalam mengkaitkan sosiologi dengan psikologi. Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Darwin. Ia menerima prinsip Darwinis bahwa organisme individu manusia selalu terus menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahwa hanya melalui proses inilah bentuk atau karakteristik organisme manusia mengalami perubahan yang berkesinambungan. Pikiran dan kesadaran manusia yang diyakini oleh Mead sebagai organisme yang keberlangsungannya memerlukan interaksi dengan lingkungannya inilah yang sejalan dengan asumsi Darwin yang memandang pertumbuhan manusia sebagai hal yang dituntun oleh proses evolusi alamiah.
Mengikuti asumsi Mead bahwa kegiatan hidup manusia dipenuhi oleh usahanya menyesuaikan diri dengan alam, maka mulailah psikologi sosial menampakkan dirinya secara agak jelas. Manusia sering dapat melewati prosedur dialektika trial and error yang biasanya terjadi dalam perjalanan beberapa generasi. Prosedur ini menempatkan lingkungan sebagai unsur penting. Lingkungan dengan pemahaman sebagai medan atau lapangan tempat terjadinya interaksi antar individu yang dari interaksi ini memungkinkan langkah perubahan yang menghasilkan mekanisme trial and error tersebut. Interaksi antar individu inilah yang bagi Mead menempatkan komunikasi sebagai kajian yang tidak terlepas dari psikologi sosial.
Sebagaimana komunikasi manusia yang meliputi penggunaan simbol, maka begitu pulalah proses berpikir manusia. Dalam pandangan Mead, hubungan antara komunikasi dengan kesadaran dan pikiran manusia adalah sedemikian dekatnya. Proses berpikir subyektif atau refleksi dapat dilihat sebagai sisi yang tidak kelihatan dari praktek komunikasi karena proses ini memberi penjelasan adanya tindakan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Percakapan ini, sekalipun hanya dengan dirinya sendiri dan hanya di dalam dirinya sendiri sehingga tidak diketahui orang lain, tidaklah dapat terpisah dari keterlibatan-keterlibatan orang lain dalam hubungan sosialnya. Misalnya, dalam menggunakan percakapan orang akan mempersiapkan apa yang hendak dikatakannya dan bagaimana mengatakannya sebelum membayangkan reaksi yang dimunculkan oleh orang lain yang akan terlibat percakapan tersebut. Ini artinya adalah, sekalipun percakapan dengan diri sendiri, tetapi tetap saja peristiwa ini membuka keterlibatan orang lain dalam dunia gagasan manusia, dalam jiwa manusia.
Berpikir menurut Mead adalah suatu proses ketika individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melaui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang kemudian ditanggapinya. Individu dengan demikian tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan. Stimulus tersebut datang dari luar diri individu yang memungkinkan mendapatkan tanggapan di dalam ruang jiwa individu untuk kemudian mempengaruhinya. Stimulus yang selalu datang dari luar diri individu itu sebenarnya datang dari dunia sosial manusia. Inilah yang kemudian secara terang benderang memunculkan pentingnya studi psikologi sosial.
Aspek psikologi dan aspek sosiologi pemikiran Mead bukanlah merupakan satu-satunya sumbangan intelektual Mead dalam perkembangan studi psikologi sosial. Mungkin Mead lebih seksama dari pada para pendahulunya dalam menegakkan suatu dasar filosofis yang kuat untuk memposisikan benih studi psikologi sosialnya sekaligus teori interaksi simboliknya. Suatu teori besar tentang pertukaran makna melalui simbol-simbol komunikasi yang dapat menghasilkan bangunan masyarakat.
Selain Mead, Charles Horton Cooley juga merupakan perintis psikologi sosial yang substansial. Judul karya terkenal Cooley adalah Human Nature and the Social Order, yang berisikan pendekatan teoritisnya yang mendasar. Kesimpulan utama, yang didapat Cooley yang dapat mengkaitkannya dengan studi psikologi sosial adalah bahwa kehidupan masyarakat itu terbentuk melalui interaksi dan komunikasi antar individu, atau individu dengan kelompok, bahkan kelompok dengan kelompok. Sementara itu, kesadaran bahwa individu manusia memiliki struktur kejiwaan dan begitu juga masyarakat memiliki hal yang sama, menimbulkan interaksi sosial yang saling mengkait yang menimbulkan suatu sistem di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian melahirkan asumsi bahwa situasi atau dunia kehidupan sosial manusia itu dapat mempengaruhi kehidupan jiwa individu manusia. Jika demikian maka perkembangan individu itu berhubungan erat dengan lingkungan sosialnya, dengan masyarakatnya.
Titik inti dari sumbangan Cooley pada kajian psikologi sosial ini terletak pada adanya kesadaran subyektif dalam setiap individu. Setiap individu memiliki pengalaman personal yang menuntun individu yang bersangkutan pada sifat aktif dan kreatif. Sifat ini diiringi perasaan-perasaan individual, sentimen serta ide-ide akan menjadi faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif pada tindakan sosialnya. Tindakan sosial merupakan proses ketika individu terlibat dalam pengambilan keputusan subyektif terkait sarana dan cara untuk mencapai tujuannya melalui interaksinya dengan pihak lain. Dengan demikian maka tindakan sosial itu juga merupakan tindakan yang kecuali melibatkan pihak lain sekaligus harus bermakna baginya dan bagi pihak lain tersebut (meaningfull).

B. Pengertian

Dengan agak cermat melacak pemikiran sebagaimana diurai dalam sub-bab sebelum ini, maka secara sederhana dapat ditemukan pengertian psikologi sosial. Hal tak terbantahkan adalah bahwa studi ini merupakan hasil persentuhan psikologi dan sosiologi. Namun demikian, tidak lantas menjadikan ia dapat dipahami secara longgar dengan menempatkan sosiologi yang lebih mengedepan atau psikologi yang justru dikedepankan.
Dalam tradisi awalnya, memang dari tinjauan sosiologis, psikologi sosial ini berada di wilayah paradigma fakta sosial. Paradigma ini meyakini bahwa tingkah laku individu manusia itu ditentukan oleh fakta sosialnya. Bagian terbesar dari dunia kehidupan sosial, terutama terkait nilai, norma, sistem sosial, keluarga, hukum, dan kebiasaan dalam pemikirian Durkheimian digolongkan sebagai fakta sosial. Emile Durkheim (1858-1917) adalah sosiolog besar pelopor paradigma fakta sosial dalam sosiologi.
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa tindakan manusia itu selalu ditentukan oleh fakta sosial yang hidup di masyarakatnya. Fakta sosial ini memiliki kekuatan untuk membentuk individu manusia. Manusia di posisi pasif dan hanya menerima fakta sosialnya dalam proses pembentukan dirinya. Dengan demikian maka, pengakuan kepada psikologi komunikasi diikuti oleh pengertian bahwa cabang ilmu baru ini merupakan telaah tentang efek psikologis individu manusia atas situasi sosialnya. Dalam pengertian ini, penganut paradigma fakta sosial sangat yakin bahwa individu merupakan produk masyarakat. Karenanya, Psikologi Sosial memiliki bidang kajian yang lebih ditekankan pada bagaimana masyarakat mempengaruhi jiwa individu manusia.
Mengedepankan masyarakat sebagai pemroduk individu, sebenarnya sama halnya dengan keyakinan bahwa masyarakat sebagai gejala sosial itu tidaklah bisa dibahas oleh psikologi melainkan merupakan bahasan sosiologi. Masyarakat itu bentukan kesadaran kolektif dan bukannya individual. Masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok, terdiri dari kolektifitas manusia dan bukannya terdiri dari individu-individu yang kemudian penjumlahannya menghasilkan masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian psikologi sosial menjadi lebih lunak dalam arti lebih membuka diri untuk berkompromi dengan kenyataan bahwa sekalipun masyarakat memiliki kekuatan dalam 'membentuk' individu, tetapi harus diakui bahwa jiwa individulah yang membawa manusia menjadi sebagai makhluk berpikir. Sebagai makhluk berpikir tentu individu manusia memiliki kekuatan gagasan yang diarahkan kepada keadaan sebagaimana tujuan hidupnya.
Manusia memiliki jiwa individu (individual mind), begitu juga kelompok (group mind). Keduanya berinteraksi saling tergantung dan saling mempengaruhi yang gerakan interaksi itu secara terus menerus menghasilkan konstruksi masyarakat. Secara bergantian dengan demikian masyarakat dan individu dapat saling membentuk. Atau, secara lebih singkat dapat dijelaskan bahwa masyarakat dan individu merupakan satu kesatuan yang saling mengkonstruksi.
Dalam keyakinan ini, psikologi sosial mengarah pada pengertian sebagai bagian dari ilmu sosial terutama psikologi yang memiliki fokus kajian berupa psikologi individu dalam situasi atau konteks sosial. Artinya, dalam psikologi sosial, tekanan kajiannya terletak kepada psikologi individu manusia dalam kaitan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, ada keyakinan bahwa psikologi sosial memiliki wilayah kajian tentang bagaimana individu manusia berproses mempengaruhi masyarakatnya. Sekedar mengingatkan, manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu melakukan kontak dengan manusia lainnya. Interaksi antar manusia ini menjadi prasyarat hidup manusia.
Masih ada sejumlah pengertian atau definisi tentang psikologi sosial yang dapat ditampilkan di sini, semisal sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia; sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman dan tingkah laku individu manusia dalam hubungannya dengan situasi perangsang sosial; sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu dalam masyarakat dan lain sebagainya. Sejumlah pengertian tersebut dikemukakan para peneliti terdahulu yang kurang penting disebutkan di sini. Menyimpulkan dari pengertian-pengertian di atas kita akan mendapatkan titik persamaannya yakni pada tingkah laku individu dan masyarakat. Hanya sedikit pengertian yang menyertakan psikologi dalam kaitan tingkah laku individu. Padahal, sangat eksplisit cabang ilmu ini menempatkan psikologi sebagai ilmu tentang jiwa manusia di depan kata sosial. Jadi dengan demikian maka sebenarnyalah Psikologi Sosial itu sebagai cabang ilmu psikologi yang melakukan kajian sosial. Sebagai pegangan dalam bahasan-bahasan selanjutnya maka dalam buku ini Psikologi Sosial diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa individu manusia di dalam konteks sosial. Konteks sosial dalam kaitan ini adalah situasi sosial masyarakat. Sedangkan titik tekannya adalah telaah tentang kejiwaan individu ketika ia hidup bermasyarakat.
Psikologi sosial memberikan informasi penting tentang bagaimana faktor-faktor sosial mempengaruhi pemikiran, perasaan dan tindakan individual. Ia akan tumbuh tanpa kehilangan identitas khasnya sebagai bidang yang memberikan perhatian pada detail dari pengaruh interpersonal. Kajian tentang masyarakat tidak mungkin dilakukan tanpa meletakkan perhatian pada proses-proses kognitif dan motivasional dari individu-individu anggota kelompok.

C. Obyek Studi

Jika mengacu pada pengertian Psikologi Sosial sebagaimana yang menjadi pegangan dalam buku ini, maka kajian cabang ilmu ini berfokus pada (1) sisi kejiwaan dari individu manusia, dan (2) konteks sosial di mana manusia itu hidup. Fokus yang kedua dapat diartikan sebagai masyarakat dalam bentuk kolektivistiknya. Sedangkan yang pertama merupakan sisi individualistiknya.
Pengamatan atau kajian terhadap sisi kejiwaan manusia sebagai individu menyertakan sisi-sisi unik dari narasi dibalik tindakan. Manusia dilihat sebagai makhluk yang memiliki dunia gagasan, dunia abstrak yang sulit terlacak oleh penginderaan sesuai panca indera manusia kecuali dengan memahami dunia pemahamannya sendiri. Ini berarti bahwa individu manusia memiliki 'bagian dalam' yang harus dilihat dari aspek fenomena psikis yang tidak muncul bahkan adakalanya tidak tergambarkan dalam tindakan dan perilakunya. Hal ini terkait dengan keunikan individu manusia sebagai makhluk yang berpikir.
Manusia sebagai makhluk berpikir tentu memiliki kebebasan dalam bertindak bahkan seakan-akan tidak terbatas dan tanpa kendali. Ia merupakan makhluk aktif, kreatif sekaligus evaluatif dalam memilih tindakannya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Hanya 'bagian dalam' itulah yang dapat menuntun sekaligus menjadi sumber dari tindakan manusia. Orang hanya akan mampu berkarya, memulai sesuatu untuk kemudian menciptakan sesuatu karena 'bagian dalam'nya itu. 'Bagian dalam' adalah bagian tak teraba namun dapat dirasakan sebagai suatu realitas fenomena psikis.
Fenomena psikis menghasilkan tindakan sosial yang di antaranya adalah agresi dan kemarahan, altruisme, sikap persuasif, ketertarikan dalam hubungan sosial, atribusi, negosiasi, kerjasama dan persaingan, kepemimpinan dan kinerja kelompok, kepatuhan, prasangka, dan motiv-motiv. Dalam Psikologi Sosial, hal-hal tersebutlah yang meng-antara-i kita dapat melihat 'bagian dalam' individu manusia. Sejumlah tindakan sosial tersebut tentu perwujudannya dapat ditangkap indera setelah 'bagian dalam' itu bersentuhan dengan bagian luar yang berupa dunia kehidupan sosial manusia.
Obyek kajian tentang dunia kehidupan sosial ini menempatkan manusia sebagai individu yang tidak terlepas dari lingkungan sosialnya. Interaksi sosial individu yang demikian kompleks akan memunculkan bentuk-bentuk perilaku. Jika manusia memiliki individual mind, sebagaimana telah disinggung di depan, dunia sosialpun memiliki group mind mengingat dunia sosial itu merupakan kolektivitas atau kelompok yang terdiri dari individu-individu. Masing-masing mind di balik tindakan dan perilaku individu maupun kelompok sangatlah kompleks dipahami. .
Kompleksitas manusia inilah yang sejak dulu sudah menjadi bahasan psikologi karena salah satu tugas ilmu ini adalah memahami individu dalam kelompok sosialnya, memahami motiv-motiv tindakan dan perilaku serta mencoba meramalkan respons manusia agar dapat memperlakukan manusia sebaik-baiknya. Jangkauan paling luas dari Psikologi Sosial adalah memahami kapasitas individu manusia dalam perilaku kelompok atau masyarakat sampai pada kemungkinannya dapat memanipulasi perilaku tersebut. Itulah sebabnya, sebelum memasuki pembahasan tentang dunia sosial manusia, dipandang memadai jika dibahas dulu sisi kejiwaan individu manusia.
Bahasan dalam Bab 2 difokuskan pada sisi kejiwaan atau 'bagian dalam' dari manusia. Sisi ini dibahas karena memiliki perkaitan dengan dunia kehidupan sosial melalui tindakan-tindakan individu. Barulah setelah pembahasan tentang sisi kejiwaan individu kemudian dilanjutkan dengan pembahasan terkait dunia kehidupan sosial yang meliputi interaksi sosial, kelompok, masyarakat, dan kebudayaan.