Evolusi Konseptual
A. Pengantar
Dalam sebuah masyarakat yang bergerak menjadi modern, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terjadi dalam lingkungan laboratorium yang terbatas, melainkan meluas ke dalam kehidupan sosial. Secara mendasar, ilmu pengetahuan sebetulnya merekonstruksikan sebuah dunia yang sama sekali berbeda dari dunia yang direkonstruksikan pengalaman manusia sehari-hari.
Dunia ilmu pengetahuan adalah dunia yang serba teratur dan dapat dikuantifikasikan, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat diuji secara intersubyektif. Ilmu pengetahuan itu dingin, tenang, penuh abstraksi, penuh dengan klaim-klaim universal. Sementara itu dunia pengalaman sehari-hari, sebagaimana yang sering disebut sebagai dunia kehidupan sosial adalah dunia yang bergerak, konkret dan padat dengan pengalaman-pengalaman unik yang berasal dari pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir, hidup, mati, dunia tempat manusia mencintai, membenci, kalah dan menang, berharap dan putus asa.
Mengkaitkan dunia ilmu pengetahuan dengan dunia kehidupan sosial inilah yang kemudian menghadirkan problem keilmuan mendasar. Tentu berdasarkan sejumlah aspek yang dapat dipilih dari dunia ilmu pengetahuan akan terjawablah problem itu. Dunia kehidupan sosial dapat didekati dengan sosiologi. Ketika dihasratkan untuk membangun perkaitan antara kehidupan sosial dengan salah satu aspek komunikasi yang dipungut dari dunia ilmu pengetahuan maka jadilah pertanyaan bagaimana kemajuan-kemajuan teknis komunikasi itu merasuki dan menentukan dunia kehidupan sosial dalam suatu masyarakat. Jawaban atas pertanyaan besar tersebut merupakan klaim wilayah studi Sosiologi Komunikasi.
Kemajuan teknologi komunikasi tentu tidak serta merta menjadikan komunikasi tatap muka tidak penting. Peradaban manusia saat ini telah sampai pada fase yang memungkinkan komunikasi antar manusia bisa dijalani melalui ketersediaan fasilitas teknologi. Kita bisa berinteraksi dengan siapapun yang kita inginkan melalui telepon genggam, e-mail, teleconferencing. Sebegitu majunya teknologi komunikasi memudahkan manusia menjalani hidup, namun ternyata tetap saja kita memerlukan bentuk komunikasi yang paling sempurna yang memungkinkankan kita memupuk keakraban fisik dan kehangatan emosional, yakni komunikasi tatap muka.
Uraian dalam alenia terakhir di muka bermaksud untuk sekedar menjelaskan bahwa wilayah bahasan sosiologi pada saat ini telah mengalami perluasan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi. Interaksi tatap muka yang selama ini menjadi bagian dominan kajian sosiologi mendapatkan perluasan dengan munculnya jenis komunikasi yang disaranai oleh teknologi. Tentu dengan demikian, sosiologi dalam kepasitasnya sebagai disiplin ilmu akan keponthalan dan selalu mrucut mengejar dunia kehidupan sosialnya jika saja lalai mempertimbangkan efek sosiologis teknologi komunikasi sebagai bagian yang harus dimasukkan dalam bidang kajiannya.
Sosiologi Komunikasi memang belum menjadi kajian ilmiah sebagaimana sosiologi dan komunikasi. Namun bukan juga merupakan bidang 'remang-remang'. Sosiologi Komunikasi telah jelas wujudnya dari persemaian pohon besar Sosiologi dan Komunikasi. Jalan panjang pengilmiahan Sosiologi Komunikasi harus dimulai sejak kita menyadari pentingnya aspek teknologi memasuki ranah komunikasi. Sebagaimana prasyarat ilmiah dari sesuatu cabang ilmu yang meliputi adanya metode, bahasa, dan bidang kekhususan maka selama ini Sosiologi Komunikasi masih meminjam dari ilmu sosiologi dan ilmu komunikasi. Sejarah pemikirannyapun masih secara samar didapat dari literatur sosiologi.
Perlu terlebih dulu kita menyadari bahwa buku sederhana ini tidak bermaksud menguraikan secara detail tentang sejarah sosiologi sehingga harus berpanjang lebar menguraikan sejumlah nama dan temuan teori-teori para moyang intelektual ilmu tersebut. Buku ini tentu juga tidak bermaksud menjelaskan sejarah komunikasi yang pada ujung penjelasannya tinggal mempersentuhkan dengan sosiologi maka jadilah Sosiologi Komunikasi. Sekalipun demikian, dipandang penting untuk memahami sosiologi sekedar dari aspek sejarah serta pengertian dasarnya.
B. Pengertian dan Perkembangan Sosiologi
Sekalipun memang tidak dimaksudkan untuk secara mendalam mengupas tentang ilmu sosiologi dan ilmu komunikasi, tetapi mengingat pembahasan Sosiologi Komunikasi mau tidak mau akan bersinggungan dengan dua cabang ilmu tersebut, maka akan menjadi baik jika diuraikan serba selintas pengertian dasar tentang keduanya.
Sosiologi adalah ilmu yang relatif muda dalam sejarah ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang sudah kita kenal. Di Perancis, kata sociology pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte ketika pada tahun 1838 ia menerbitkan buku karangannya berjudul Positive Philoshophy. Comte percaya bahwa individu dan masyarakat dapat menjadi bidang kajian ilmiah berdasarkan observasi dan klasifikasi sistematis yang jauh dari sifat spekulatif. Di Inggris Herbert Spencer (1820-1903) menerbitkan bukunya berjudul Principle of Sociology pada tahun 1876. Spencer mempertajam telaah tentang masyarakat melalui teori besarnya yang berkaitan dengan evolusi sosial. Kelak, puluhan tahun setelah itu teori tersebut diterima secara luas oleh kalangan yang berminat melakukan penelitian tentang masyarakat manusia.
Seorang Amerika, Lester F Ward menyusul menerbitkan buku berjudul Dynamic Sociology di tahun 1883 untuk menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog. Ward mengumumkan bahwa para sosiolog harus mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data-data yang nyata dan dari sana dapatlah dikonstruksi teori-teori sosial yang baik. Sekalipun himbauan tersebut hanya menghasilkan kegiatan yang relatif kecil, tetapi mampu memprovokasi lahirnya sejumlah teori besar yang muncul dari sejumlah moyang intelektual sosiologi
Seorang Perancis, Emile Durkheim (1858-1917) pada tahun 1895 memberikan suatu demonstrasi awal yang sangat penting tentang metodologi ilmiah dalam sosiologi. Pada tahun itu Durkheim menerbitkan buku berjudul Rules of Sociological Method yang merupakan uraian dasar metodologi ilmiah yang kemudian didemonstrasikan dalam penelitiannya tentang tindakan bunuh diri. Hasil penelitian Durkheim terkait tindakan bunuh diri tersebut akhirnya diterbitkan di bawah judul Suicide pada tahun 1897.
Inilah sebenarnya perkembangan awal yang sangat penting dari proses pengilmiahan sosiologi yang hingga sekarang telah memiliki sejumlah cabang keilmuan berdasarkan titik tekan pengkajiannya.
Beberapa sosiolog besar muncul dengan berbagai teori yang kesemuanya itu dapat dikatakan sebagai peletak dasar keilmuan sosiologi yang tidak dapat diabaikan. Karl Marx, Talcott Parsons, C. Wright Mills, Max Weber, Erving Goffman, Clifford Geertz, Anthony Giddens, hingga Jurgen Habermas hanyalah sejumlah kecil nama-nama besar sosiolog dunia. Beberapa sosiolog tersebut memiliki andil yang besar dalam kemajuan sosiologi melalui temuan-temuan teorinya yang terkenal. Sekalipun berbeda dalam perspektif atau cara pandang dalam mempelajari masyarakat manusia, namun mereka sepakat bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia dalam masyarakat. Intinya sama tetapi berbeda dalam pemakaian kosakata, Paul B Horton dan Chester L Hunt, dua sosiolog dari Universitas Winconsin AS, pada tahun 1984 mendefinisikan sosiologi sebagai suatu studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia.
Sebagaimana yang telah disampaikan pada awal bahasan bahwa buku pengantar ini tidak dihasratkan untuk secara khusus mendalami sosiologi tetapi memang diperlukan pengertian sosiologi sebagaimana telah diuraikan dalam alenia sebelum ini sebagai pegangan bagi pembahasan selanjutnya. Penting disadari bahwa sosiologi memusatkan penelaahannya pada kehidupan kelompok manusia sekaligus berbagai produk kehidupan kelompok tersebut. Adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai hidup yang timbul dari kelompok tersebut serta pengaruhnya terhadap kehidupan kelompok, merupakan pusat perhatian ahli sosiologi. Juga interaksi antar individu dalam sesuatu kelompok dan proses terjadinya interaksi dan kelompok adalah merupakan perhatian bidang ilmu ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi memiliki sejumlah kekhususan telaah sesuai topik bahasannya. Ada Sosiologi Terapan, Sosiologi Kelompok, Sosiologi Budaya, Sosiologi Industri, Sosiologi Politik, Sosiologi Kesehatan, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi Agama dan seterusnya hingga sebagainya termasuk salah satunya adalah Sosiologi Komunikasi.
Sejumlah topik tersebut bukan milik eksklusif sosiologi, karena sebenarnya tidak ada satupun disiplin ilmu yang mampu mendominasi satu bidang sambil mengusir bidang yang lain untuk tidak mencampuri. Sosiologi hanyalah salah satu disiplin dalam ilmu sosial yang dalam banyak hal harus berbagi perhatian dengan disiplin ilmu yang lain untuk mendekati sesuatu topik. Misalnya dalam Sosiologi Komunikasi. Dalam topik komunikasi, sosiologi harus berbagi perhatian dengan ilmu politik, hukum, kriminologi, ppsikologi dan lain sebagainya. Sosiologi kecuali dengan komunikasi, sangat erat hubungannya dengan psikologi dan antropologi sehingga kadang sangat sukar menarik batas pembedanya. Pada prinsipnya, makin banyak kita mempelajari kehidupan manusia kita akan semakin sadar bahwa perilaku manusia tak dapat diterangkan hanya oleh satu disiplin saja, yakni sosiologi. Sosiologi Komunikasi menjadi bukti untuk itu. Akhirnya, memahami kehidupan sosial manusia dalam suatu masyarakat, mengharuskan kita memahami beberapa disiplin ilmu lain, yang satu di antaranya adalah komunikasi.
C. Komunikasi
Komunikasi yang efektif penting bagi interaksi antar individu dalam masyarakat karena dua alasan. Pertama, komunikasi adalah proses dengan mana kegiatan dalam dunia sosial dilaksanakan. Kedua, dalam kapasitas manusia sebagai makhluk sosial, kegiatan hidup dilakukan dengan mencurahkan sebagian terbesar waktunya untuk berinteraksi dengan anggota kelompok yang tentu hal ini dilakukan hanya dengan cara berkomunikasi.
Proses komunikasi memungkinkan tiap orang menjalankan kegiatannya. Sangat jarang seseorang duduk sendirian memikirkan sejumlah persoalan untuk memunculkan gagasan-gagasan atau merenungkan alternatif-alternatif dalam pengambilan keputusan dalam menjalani hidup. Komunikasi menjadi penting dipahami sebagai dasar bagi setiap orang untuk dapat berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakatnya maupun dengan anggota masyarakat lain.
Shanon dan Weafer (1949) dengan agak politis menyampaikan pengertiannya mengenai komunikasi sebagai 'mencakup semua prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lain. Seperti itu pulalah Shachter (1951) menegaskan bahwa 'komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan'. Definisi semacam itu menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial dimana seseorang mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi perilaku, keyakinan, sikap orang lain dalam suasana sosial.
Suasana sosial terjadi ketika tindakan interaksi dua atau lebih individu yang memiliki makna (meaningfull) bagi masing-masing yang terlibat. Seseorang tidak dianggap sebagai sedang berkomunikasi dengan orang lain jika tindakannya tidak bermakna bagi orang lain tersebut. Tindakan seseorang menjadi bermakna komunikasi jika dimaknai oleh orang lain dan karena pemaknaan itu maka muncullah respon.
Dalam bingkai sosial, Dance (1967) mendefinisikan komunikasi sebagai 'pengungkapan respon melalui simbol-simbol verbal dimana simbol-simbol verbal itu bertindak sebagai perangsang (stimuli) bagi respon yang terungkapkan'. Dalam pengertian yang dipublikasikan oleh Dance terkandung pemahaman bahwa komunikasi memiliki mekanisme adanya stimuli dan kemudian memunculkan respon.
Tidak penting untuk mengungkapkan semua definisi yang dikemukakan oleh sejumlah peneliti komunikasi, yang lebih penting adalah mengkaji beberapa unsur yang ada dalam setiap definisi dan kemudian mengkritisinya untuk mendapatkan definisi yang komprehensif. sebagai pegangan dalam pembahasan kepemimpinan.
Penting dipahami bahwa setiap pembicaraan tentang komunikasi setidaknya menyangkut komunikator, pesan, saluran, tujuan, komunikan, dan respon. Unsur dasar dari komunikasi ini terbingkai dalam situasi sosial. Tidaklah menjadi komunikasi jika tidak ada komunikator, yakni orang atau sekelompok orang yang berinisiatif untuk menstransformasikan sejumlah gagasan atau ide yang seringkali disebut sebagai isi pesan. Bukan juga sebuah komunikasi jika tidak terdapat pesan yang akan disampaikan. Mempertimbangkan media atau saluran sebagai sarana penyampaian ide juga menjadi penting untuk ditempatkan sebagai unsur komunikasi. Begitu juga tidak akan ada komunikasi jika tidak terdapat komunikan atau orang yang menjadi sasaran transformasi pesan tersebut. Yang terakhir, tentu mudah dipahami jika hasil dari pemaknaan yang dilakukan oleh target komunikasi itu akan melahirkan respon, karena justru pada respon inilah komunikasi dibantu penganalisisannya terkait keberhasilan atau sebaliknya dari suatu kejadian komunikasi itu.
Sebagai pegangan dalam pembahasan buku ini, penulis mengetengahkan definisi standar tentang komunikasi yang dihasilkan dari pencermatan atas sejumlah fenomena komunikasi sekaligus mempertimbangkan beberapa definisi sebagaimana yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Komunikasi adalah aktivitas transformatif dalam suasana sosial.
Dalam definisi yang diajukan ini terdapat perluasan konsep tentang makna komunikasi. Bukan saja ide dan atau sejumlah gagasan yang datang dari dunia abstrak manusia saja yang terkandung dalam proses komunikasi, tetapi yang materialistik atau kebendaanpun dapat menandai adanya komunikasi. Singkatnya, transformasi dalam kaitan ini tidak hanya menyangkut ide-ide tetapi juga benda-benda sekalipun pada akhirnya benda-benda itulah yang menjadi pembawa makna.
Sebagaimana yang telah banyak ditulis dalam sejumlah atau bahkan semua buku komunikasi, transformasi dalam komunikasi ini selalu memerlukan alat sebagai medianya. Tanpa adanya sesuatu yang dapat mengantarkan pesan agar sampai kepada yang ditargetkan tentu segala macam yan`g hendak ditransformasikan ini berhenti hanya menjadi sekedar potensi. Ketika sejumlah gagasan dan ide itu tidak menemukan saluran ataupun media yang mensaranai perpindahannya kepada 'dunia' milik orang lain, maka gagasan itu tidak aktual tetapi hanya potensial yang tidak menghasilkan komunikasi. Ketika komunikasi itu melibatkan 'dunia' milik orang lain maka ketika itulah istilah situasi sosial dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Model paling sederhana dari proses komunikasi menunjukkan tiga elemen penting dari komunikasi, yakni (1) pengirim (sender/komunikator), (2) pesan (massage), dan terakhir adalah (3) penerima (receiver/komunikan). Jelaslah bahwa jika salah satu dari elemen itu hilang maka tidak akan terjadi komunikasi. Orang dapat saja mengirim pesan, tetapi jika tidak ada yang mendengar, maka tidak ada komunikasi yang terjadi.
Sebagaimana model sederhana, maka ia tidak memberitahu apapun tentang kerumitan proses komunikasi. Misalnya, kebanyakan orang mengenal dengan baik perangkat bernama telepon. Melalui sarana telepon orang bisa membisikkan pesan ke telinga orang lain. Orang lain ini kemudian membisikkan lagi pesan tersebut kepada orang yang lain lagi, dan begitu seterusnya. Penelepon pertama mungkin saja mengirimkan pesan tetapi penerima telepon mendengar pesan yang tidak sebagaimana dimaksudkan oleh peneleponnya.
Menyadari kerumitan dalam komunikasi maka model sederhana tersebut dalam perkembangan selanjutnya direvisi dengan menambahkan detail baru berupa saluran, pengkodean, dan umpan balik (feedback).
Mengenai komunikasi terkait dengan penetapan topik dalam buku ini, maka tentu bahasan tentang komunikasi massa akan menonjol dalam bab-bab selanjutnya. Namun, sebelum sampai pada bahasan komprehensif tentang komunikasi massa, ada baiknya selintas diperkenalkan tentang pengertian dasarnya.
Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Beberapa kamus memberikan definisi massa sebagai suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas.
Definisi ini menyerupai pengertian massa yang digunakan oleh para ahli sosiologi, khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media.
Herbert Blumer (1969) membuat definisi massa dengan membandingkan istilah tersebut dengan bentuk kolektivitas lainnya yang sering ditemukan dalam kehidupan sosial, khususnya kelompok, kerumunan, dan publik. Dalam sebuah kelompok kecil semua anggota saling mengenal satu sama lainnya. Para anggota menyadari keanggotaan mereka, memiliki nilai-nilai yang sama, dan memiliki struktur hubungan tertentu yang dari waktu ke waktu tetap bersifat stabil. Mereka berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu.
Kerumunan memang lebih besar, tetapi masih dapat diamati dalam suatu ruang tertentu. Terlepas dari itu, kerumunan bersifat sementara dan jarang sekali dapat dibentuk kembali seperti bentuk pertamanya. Kerumunan mungkin saja memiliki kadar identitas yang tinggi dan perasaan yang sama, tetapi biasanya tidak memiliki struktur dan aturan tertentu menyangkut segi moral dan sosialnya. Kerumunan bisa saja melakukan suatu tindakan, tetapi tindakan itu seringkali bersifat emosional dan irasional.
Massa seringkali sangat besar, bahkan lebih besar daripada kelompok, kerumunan atau publik. Para anggotanya tersebar luas dan biasanya tidak saling mengenal satu sama lain, termasuk orang yang menyebabkan khalayak massa itu lahir. Massa kurang memiliki kesadaran diri dan identitas diri, serta tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Massa ditandai oleh komposisi yang selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah pula. Massa tidak bertindak untuk dirinya sendiri tetapi dikendalikan untuk melakukan sesuatu tindakan. Anggotanya heterogen dan banyak sekali jumlahnya, serta berasal dari semua lapisan sosial yang ada. Sekalipun demikian, dalam menentukan suatu obyek perhatian tertentu mereka selalu bersikap sama dan berbuat sesuai dengan persepsi elitenya.
Sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi formal, dan pelakunya seringkali merupakan komunikator profesional. Pesannya tidak unik dan beraneka ragam. Di samping itu, pesan tersebut seringkali diproses lebih dulu, distandarisasi, dan selalu diperbanyak. Hubungan antara pengirim pesan (komunikator) dengan penerima berifat satu arah dan jarang sekali bersifat interaktif. Hubungan tersebut juga bersifat impersonal, bahkan mungkin sekali bersifat non-moral dan kalkulatif, dalam pengertian bahwa pengirim biasanya tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang terjadi pada para individu dan pesan yang dijualbelikan dengan uang atau dipertukarkan dengan perhatian-perhatian tertentu.
D. Melacak Akar Pemikiran Sosiologi Komunikasi
Melacak akar pemikiran yang menghasilkan studi sosiologi komunikasi, dapat diibaratkan sebagaimana seseorang yang sedang merayapi lorong gelap untuk mendapatkan secercah sinar yang dapat membimbing seseorang itu keluar sambil membawa sesuatu yang didapat. Banyak serpihan teori dalam sosiologi dan juga komunikasi yang dapat dijadikan anyaman pengetahuan yang menghasilkan pengetahuan baru berupa persinggungan dari kedua disiplin tersebut. Dari belantara filsafat ilmu sosial, kita terpaksa memilah dan kemudian menyeleksi sejumlah teori yang dapat dijadikan pijakan keyakinan untuk menjawab pertanyaan dari mana studi sosiologi komunikasi itu berawal.
Pertalian antara sosiologi dan komunikasi memang menjadi sesuatu yang tak terbantahkan, namun jaringan tali temali antar keduanya menjadi rumit jika kita menyepakati bahwa dunia ilmu pengetahuan tentang komunikasi dinamikanya lebih bertumpu pada teknologi sedangkan dunia sosial terpaksa menjadi bidang yang menerima pengaruh perkembangannya. Respon sosiologis terhadap perkembangan sejumlah aspek teknologi komunikasilah yang menjadi titik pusat kajian Sosiologi Komunikasi.
Dalam bahasan sebelum ini, sekalipun baru selintas, tetapi telah diungkap tentang proses komunikasi. Mencermati proses komunikasi yang merupakan proses perjalanan pesan dari seseorang individu kepada individu lain, atau dalam bahasa komunikasi dapat dikatakan bahwa pesan itu berjalan dari komunikator kepada komunikan ini sebenarnya kecuali merupakan proses psikologis, tetapi juga merupakan proses sosiologis. Terhadap proses sosiologis yang ditimbulkan oleh jalinan komunikasi ini, George Herbert Mead (1863-1931) mengkonstruksi teori dalam ilmu sosial yang amat terkenal dengan sebutan Interaksi Simbolik. Jadi, sekalipun sejarah pemikiran Sosiologi Komunikasi dapat dilacak dengan mengkait-kaitkan nama August Comte (1798-1857) sebagai nabinya sosiologi, tetapi Herbert Meadlah yang ditengarai menjadi orang yang mengawali mempersentuhkan sosiologi dengan komunikasi melalui interaksionisme simbolik. Pusat perhatian Mead ketika mengkaji tentang siklus hidup masyarakat ditumpukan pada praktek komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri.
Interaksi simbolik dapat dikatakan perpaduan dari perspektif sosiologis dan perspektif komunikologis oleh karena interaksi adalah istilah dan garapan sosiologis, sedangkan simbolik adalah istilah dan garapan komunikologi atau ilmu komunikasi (Effendy, 1993; 390). Interaksi berarti proses transformasi sesuatu kapasitas seseorang individu ke dalam posisi orang atau individu lain. Dengan demikian, bagi individu lain penerima akan dengan sendirinya terjadi upaya penerjemahan simbol yang mewadahi sesuatu gagasan yang ditransformasikan tersebut hingga dicapai makna yang dikehendaki. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui simbol kata-kata dan gerakan saja, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami.
Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan segala sesuatu yang hadir dalam kesadarannya yang sesuatu tersebut diperoleh dari luar dirinya untuk kemudian bertindak sesuai makna yang dikandung oleh sesuatu itu. Bagi penganut interasionisme simbolik, masyarakat itu tumbuh berkat pertukaran simbol-simbol komunikasi dalam interaksi sosial yang menghasilkan konsensus berupa tindakan bersama. Singkatnya, masyarakat itu lahir karena komunikasi. Segala perubahan dalam masyarakat dengan demikian penyebab paling rasionalnya adalah pertukaran simbol-simbol dalam praktek komunikasi. Praktek komunikasi akhirnya dapatlah dipahami sebagai tindakan sosial. Artinya, tindakan yang meaningfull atau tindakan penuh makna. Disinilah mulai tampak titik terang yang membimbing pikiran ke arah adanya jalinan pengertian bahwa komunikasi tidak sekedar transformasi gagasan atau pesan-pesan, tetapi juga menghasilkan efek sosiologis.
Adalah Jurgen Habermas (1929- ) yang kemudian mempertegas kajian Sosiologi Komunikasi. Dalam beberapa publikasi ilmiahnya, memang tidak eksplisit Habermas menjadikan persinggungan sosiologi dan komunikasi sebagai titik sentral. Namun, dari beberapa karya ilmiahnya dapatlah disimpulkan bahwa Habermas memberikan penjelasan yang menghubung-hubungkan komunikasi dengan sosiologi sehingga mendapatkan keyakinan yang dianutnya hingga sekarang bahwa komunikasi memberikan andil bagi lahir dan berkembangnya suatu masyarakat.
Tesis pokok Habermas dalam buku Communication and Evolution of Society (1979) adalah bahwa dalam situasi masyarakat dewasa ini, masalah-masalah tingkah laku kehidupan memerlukan diskusi rasional yang tidak melulu memusatkan diri pada sarana-sarana teknis atau pada penerapan norma-norma tingkah laku tradisional. Tetapi, penting untuk menyadari bahwa kemajuan teknis akan menghasilkan informasi-informasi teknis yang pada gilirannya harus diterjemahkan ke dalam kesadaran praktis masyarakat agar memiliki sumbangan bagi dunia kehidupan sosial. Tesis inilah yang oleh sejumlah besar ilmuwan komunikasi dan juga sosiologi ditempatkan sebagai dasar pemikiran Sosiologi Komunikasi.
Apa yang ditesiskan oleh Habermas bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul tanpa dasar sejarah. Banyak pemikiran sebelumnya yang direspon oleh Habermas. Ia mengkritisi banyak teori sebelum ia menemukan teori komunikasi yang dikaitkannya dengan dunia sosial. Teori Kritis yang masyhur itu dihasilkan oleh Jurgen Habermas setelah ia mengkritisi sejumlah kritik dari para pendahulunya terkait perkembangan masyarakat.
Sejak tahun 70-an, Habermas memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam teori yang kemudian sangat terkenal dengan sebutan Teori Kritis. Di tahun 80-an karya besarnya The Theory of Communicative Action, menandai sebuah usaha yang sangat brilian dalam mendialogkan Teori Kritisnya, yang juga ia sebut sebagai Teori Tindakan Komunikatif itu, dengan tradisi besar pemikiran ilmu sosial modern. Sejak awal Habermas tetap konsisten dalam minatnya, sehingga kita dengan jelas dapat menemukan sebuah arah ke teori komunikasi dari sejumlah karyanya. Pada taraf teori evolusi sosial, dia membedakan proses belajar dalam dimensi teknis yang menuju pada kontrol teknologis, serta dalam dimensi kehidupan sosial menuju pada perluasan komunikasi yang bebas dominasi, yang egalitarian. Habermas berpegang pada pendapat bahwa sebuah masyarakat yang komunikatif adalah yang menjadi tujuan universal masyarakat. Dasarnya adalah, bahwa konsensus yang universal dan bebas dari dominasi merupakan kehendak fundamental setiap hubungan sosial.
Bagi Habermas, komunikasilah yang menjadi titik sentral bangunan masyarakat yang universal. Pemilahan segala macam masyarakat yang secara klasik dikumandangkan oleh sosiologi baginya tidak lagi mampu mengatasi problem sosial jika mengesampingkan peran komunikasi. Tampaknya, inilah persemaian paradigma komunikasi dalam sosiologi. Membicarakan masyarakat tanpa mengkaitkannya dengan model berpikir yang pusat orientasinya pada komunikasi menjadikan pembicaraan tersebut kurang relevan.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik dengan kekerasan atau lewat revolusi, melainkan lewat argumentasi. Di sinilah pentingnya komunikasi dalam masyarakat, terlebih lagi pentingnya media dan teknik komunikasi ketika terjadi interaksi sosial. Komunikasi akan dapat mengatasi perbedaan budaya yang mungkin saja menjadi kendala saat berinteraksi. Persepsi, nilai, norma, bahasa verbal dan nonverbal, serta perilaku dimumgkinkan untuk saling ditransaksikan dalam interaksi sosial demi pencapaian konsensus rasional melalui perdebatan argumentatif.
Terdapat dua macam argumentasi, yakni perbincangan atau diskursus, dan kritik. Diskursus dilakukan jika dimungkinkan tercapainya konsensus rasional. Sementara itu, kritik dilakukan ketika terdapat persoalan terhadap norma sosial yang dianggap obyektif. Implementasi dari argumentasi-argumentasi tersebut masing-masing memiliki konsekuensi sosiologis. Keteraturan sosial yang pada awalnya telah terpola secara mapan akan sangat mungkin goyah karena konsekuensi sosiologis tersebut.
Dalam hal bahwa masyarakat ideal itu dapat dicapai dengan mengabaikan revolusi maka dengan demikian sebenarnya posisi Habermas berhadapan dengan Karl Marx. Marx menengarai bahwa revolusi proletariat sebagai jalan satu-satunya menuju masyarakat ideal, sementara itu Habermas hanya menginginkan efektivitas komunikasi dalam interaksi sosial untuk menuju masyarakat ideal yang disebutnya dengan istilah masyarakat komunikatif.
E. Fokus Kajian.
Menyimpulkan berbagai uraian sejarah pemikiran dan bangunan teori dua induknya, maka sebenarnya Sosiologi Komunikasi itu dapat dikatakan sebagai studi yang mengkaji praktek komunikasi sebagai proses sosial. Titik sentral perhatian Sosiologi Komunikasi dengan demikian adalah efek sosial yang ditimbulkan oleh adanya proses komunikasi. Tidak saja komunikasi antar individuu, tetapi juga antara individu dengan kelompok, dan bahkan antara kelompok dengan kelompok di dalam suatu masyarakat.
Fokus kajian ini sudah jelas mempertontonkan perluasan cakupan sosiologi, sekaligus komunikasi. Sosiologi tidak lagi sekedar dipakai melihat bagaimana kehidupan sosial yang meliputi norma, kebiasaan, tradisi, perkawinan, adat-istiadat, dan sejumlah lain nilai yang hidup di suatu masyarakat, namun melampaui semua itu sosiologi dipakai sebagai senjata intelektual menganalisis berbagai bentuk komunikasi dengan berbagai efeknya. Praktek komunikasi yang pada dasarnya adalah kegiatan transformasi ide atau gagasan untuk mengubah pemahaman komunikan dan akhirnya dicapai konsensus, dengan sendirinya memiliki efek sosiologis, memiliki akibat berupa jalinan makna yang berubah dari makna awalnya.
Memang, kebanyakan orang memandang bahwa jenis studi Sosiologi Komunikasi itu tak lebih dari persinggungan kedua disiplin ilmu tersebut. Sekalipun tidak dapat dipersalahkan namun yang sering terjadi adalah penyederhanaan pengertian. Sesekali terdapat anggapan bahwa sosiologi yang meneropong komunikasi itulah yang disebut Sosiologi Komunikasi. Sementara yang lain mengatakan bahwa bagaimana praktek komunikasi dalam kehidupan sosial itulah obyek materiil Sosiologi Komunikasi. Memang kedua klaim anggapan tersebut tidaklah salah, tetapi belumlah memadai.
Komunikasi itu pada prinsipnya adalah proses pertukaran makna. Jika demikian maka komunikasi itu adalah tindakan sosial mengingat dalam prakteknya komunikasi memiliki modal utama berupa makna-makna. Maka yang paling rasional mendefinisikan Sosiologi Komunikasi adalah bidang studi yang obyek formalnya adalah manusia, sedangkan obyek materialnya tindakan sosial berupa praktek komunikasi dengan segala akibat sosialnya.
Sosiologi Komunikasi menjadi studi yang penting karena dunia ilmu pengetahuan terkait praktek komunikasi telah sedemikian maju teknologinya. Kemajuan teknologi komunikasi dengan sendirinya akan berakibat pada kemungkinan berubahnya pola-pola sosial yang sudah ada. Perkembangan teknologi tentu menjadi penyumbang bagi perubahan perilaku manusia dalam masyarakat. Pola kehidupan agraris dan industri sudah sulit dibedakan secara tegas karena teknologi televisi sudah mampu membombardir informasi melalui berbagai tayangannya yang memahampaksakan bahkan menyeragamkan bentuk perilaku serta berbagai hal lain dalam sejumlah aspek kehidupan. Kalimat terakhir tersebut hanyalah satu contoh dari ketakterhitungan contoh yang bisa ditampilkan. Bahasa pergaulan anak muda sudah semakin sulit dibedakan mana yang datang dari pedesaan agraris dan anak muda mana yang dari metropolitan. Ini semua terjadi hanya karena pembelajaran sinetron di televisi yang dalam waktu bersamaan dapat ditonton oleh masyarakat kota sekaligus masyarakat desa. Menganalisis untuk mengumpulkan hasil yang kemudian dapat dijadikan peta sosial agar dapat dipakai memprediksi masa depan dari perspektif sosiologi, mungkin menjadi target utama pembelajaran Sosiologi Komunikasi.
Senin, 11 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar