Senin, 29 Februari 2016

Sistem Kepartaian


            Memilah sistem kepartaian melalui dasar pertimbangan pada jumlah partai yang terdapat di dalam suatu negara dapat diuraikan utamanya dengan  mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Duverger berikut ini.

            1.         Partai tunggal.
            Bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian menunjukkan bahwa di suatu negara hanya terdapat satu partai politik yang dominan. Artinya adalah bahwa partai politik tersebut memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan politik di suatu negara. Dominasi peran ini, menurut Surbakti dapat bersifat totaliter, otoriter, dan sekedar dominan karena partai lain hanya merupakan partai kecil yang keberadaannya dapat dinyatakan sebagai tidak memiliki peran penting sebab walaupun terdapat kesempatan yang sama tetapi tetap tidak mampu menyaingi partai dominan.
            Dalam negara yang menerapkan bentuk partai tunggal yang totaliter biasanya partai tersebut merupakan partai yang doktriner yang tidak saja memegang kendali atas militer dan pemerintahan, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal otoriter biasanya diterapkan  di negara-negara berkembang yang menghadapi masalah integrasi nasional dan mengalami keterbelakangan ekonomi. Bentuk tunggal dalam sistem kepartaian ini dijelaskan oleh keadaan dimana hanya terdapat satu partai besar yang digunakan oleh pemerintah atau penguasa untuk memobilisasi massa dan melegitimasi kekuasaannya, disamping partai lain yang tidak dapat menampilkan diri karena ruang geraknya dibatasi oleh penguasa.
            Dalam membicarakan bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian, berdasarkan ideologi dan orientasinya, Gabriel A. Almond menyatakan bahwa partai tunggal dalam bentuk ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu : (1) kelompok komunis yang menekan oposisi dan melakukan penetrasi terhadap masyarakat luar agar supaya berubah; (2) kelompok konservatif yang menekan gerakan-gerakan liberal dan radikal tetapi memberikan ijin bagi berbagai kepentingan dunia usaha, gereja, dan pemilik tanah untuk ikut berpengaruh; dan (3) kelompok 'bangsa baru' yang sedang berusaha menciptakan suatu bangsa atau mencegah agar bangsanya tidak terpecah belah. (Haryanto, 1984)
            Dengan demikian sebenarnya, bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian di suatu negara dapat diartikan bahwa mungkin memang hanya ada satu partai saja, tetapi mungkin pula masih terdapat beberapa partai politik kecil  yang tidak memiliki peranan penting dalam kehidupan politik. Jadi, seandainya partai-partai kecil itu tidak adapun, kehidupan politik di suatu negara tidak akan terpengaruh. Pengaruh yang mungkin ada mungkin hanya dari kelompok kepentingan yang berkembang karena dinamika masyarakatnya. Demikianlah, bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian dengan pengawasan yang kelihatannya monolitik oleh partai dominanpun tidak akan dapat melepaskan diri dari kemungkinan mengelola kelompok-kelompok yang saling bersaing dalam suatu masyarakat yang amat berkembang, kalau ia ingin bertahan. Kalau kekuatan politik dari beberapa kelompok itu benar-benar ada, maka harus tunduk kepada partai dominan dan tidak diperkenankan untuk beroposisi. Partai dominan yang merupakan satu-satunya partai yang memiliki kekuatan politik besar juga akan memiliki kekuatan yang besar pula untuk menekan oposisi dan kritik yang dapat saja akan membahayakan kekuasaannya.

            2.         Dwi Partai.  
            Sistem dua partai dalam kepartaian suatu negara menunjukkan bahwa kehidupan politik di negara bersangkutan hanya tergantung kepada dua partai saja. Disamping dua partai dominan, memang mungkin masih terdapat partai-partai kecil yang kurang atau bahkan tidak memiliki peran yang berarti. Dalam hal terdapat partai lain selain dua yang dominan, maka menjadi tidak mudah untuk mengatakan bahwa di negara tersebut berlaku sistem kepartaian dwi partai, karena bisa jadi dalam suatu kurun waktu tertentu partai-partai kecil tersebut berhasil merubah dirinya menjadi partai yang memainkan peran yang dominan.
            Interaksi dua partai dominan dalam sistem kepartaian suatu negara merupakan interaksi yang kompetetif . Kedua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Pemenang pemilihan umum menjadi partai yang memerintah, sedangkan yang kalah berperanan sebagai oposisi yang loyal (Surbakti 1999)
            Biasanya, sistem ini dapat berlangsung dengan baik jika komposisi masyarakatnya adalah homogen, tidak terdapat jarak sosial yang ekstrem. Bahkan Pulzer (1967) mengungkapkan pendapatnya bahwa ada tiga prasyarat untuk suksesnya suatu sistem dwi partai, yaitu adanya homogenitas sosial, konsensus nasional yang berkadar tinggi, dan kontinuitas sejarah. (Budiardjo 1998)

            3.         Banyak Partai
            Ini merupakan suatu sistem kepartaian dalam suatu negara yang terdiri atas lebih dari dua partai politik dominan. Sistem ini banyak penerapannya dalam masyarakat yang berstruktur majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Dianggap bahwa sistem ini lebih mampu menyalurkan keanekaragaman sosial, seperti ras, suku, atau agama dibanding dengan diterapkannya sistem dua partai. Setiap golongan masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal-usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tertentu.
            Banyaknya partai dalam sistem kepartaian seringkali harus berakibat pada bentuk pemerintahan koalisi. Pemerintah bukan lagi didominasi oleh satu atau dua partai tetapi oleh beberapa partai yang berkoalisi hingga mencapai jumlah mayoritas dalam parlemen. Sekalipun demikian, kecenderungan yang tampak adalah lemahnya kabinet karena sering terkesan ragu-ragu dalam tindakannya. Konsensus antar partai yang berkoalisi setiap kali memungkinkan untuk diperbaharui kerena pengunduran salah satu partai dalam koalisi itu saja dapat berpengaruh besar pada kekompakkan. Ketidakpastian ini seringkali memperlemah kedudukan kabinet terutama dalam hal menghadapi partai-partai lain yang tidak tergabung dalam koalisi dan bersikap oposisi.
            Sistem banyak partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan proporsional, karena semua partai dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperoleh di suatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi. Sistem yang dapat dikatakan sebagai wujud respon terhadap kemajemukan sosial dan politik ini pada akhirnya memahamkan masyarakat bahwa terdapat kebebasan untuk memdirikan partai politik, bahkan kebebasan itu tanpa batas diberikan oleh pemerintah. Akibatnya, jumlah partai politik di negara yang menerapkan sistem banyak partai selalu cepat bertambah.