Sistem Kepartaian
Memilah sistem
kepartaian melalui dasar pertimbangan pada jumlah partai yang terdapat di dalam
suatu negara dapat diuraikan utamanya dengan
mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Duverger berikut ini.
1. Partai tunggal.
Bentuk
partai tunggal dalam sistem kepartaian menunjukkan bahwa di suatu negara hanya
terdapat satu partai politik yang dominan. Artinya adalah bahwa partai politik
tersebut memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan politik di suatu
negara. Dominasi peran ini, menurut Surbakti dapat bersifat totaliter,
otoriter, dan sekedar dominan karena partai lain hanya merupakan partai kecil
yang keberadaannya dapat dinyatakan sebagai tidak memiliki peran penting sebab
walaupun terdapat kesempatan yang sama tetapi tetap tidak mampu menyaingi
partai dominan.
Dalam
negara yang menerapkan bentuk partai tunggal yang totaliter biasanya partai
tersebut merupakan partai yang doktriner yang tidak saja memegang kendali atas
militer dan pemerintahan, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Partai tunggal otoriter biasanya diterapkan di negara-negara berkembang yang menghadapi
masalah integrasi nasional dan mengalami keterbelakangan ekonomi. Bentuk
tunggal dalam sistem kepartaian ini dijelaskan oleh keadaan dimana hanya
terdapat satu partai besar yang digunakan oleh pemerintah atau penguasa untuk
memobilisasi massa dan melegitimasi kekuasaannya, disamping partai lain yang
tidak dapat menampilkan diri karena ruang geraknya dibatasi oleh penguasa.
Dalam
membicarakan bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian, berdasarkan
ideologi dan orientasinya, Gabriel A. Almond menyatakan bahwa partai tunggal
dalam bentuk ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu : (1) kelompok
komunis yang menekan oposisi dan melakukan penetrasi terhadap masyarakat luar
agar supaya berubah; (2) kelompok konservatif yang menekan gerakan-gerakan
liberal dan radikal tetapi memberikan ijin bagi berbagai kepentingan dunia
usaha, gereja, dan pemilik tanah untuk ikut berpengaruh; dan (3) kelompok
'bangsa baru' yang sedang berusaha menciptakan suatu bangsa atau mencegah agar
bangsanya tidak terpecah belah. (Haryanto, 1984)
Dengan
demikian sebenarnya, bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian di suatu
negara dapat diartikan bahwa mungkin memang hanya ada satu partai saja, tetapi
mungkin pula masih terdapat beberapa partai politik kecil yang tidak memiliki peranan penting dalam
kehidupan politik. Jadi, seandainya partai-partai kecil itu tidak adapun,
kehidupan politik di suatu negara tidak akan terpengaruh. Pengaruh yang mungkin
ada mungkin hanya dari kelompok kepentingan yang berkembang karena dinamika
masyarakatnya. Demikianlah, bentuk partai tunggal dalam sistem kepartaian
dengan pengawasan yang kelihatannya monolitik oleh partai dominanpun tidak akan
dapat melepaskan diri dari kemungkinan mengelola kelompok-kelompok yang saling
bersaing dalam suatu masyarakat yang amat berkembang, kalau ia ingin bertahan.
Kalau kekuatan politik dari beberapa kelompok itu benar-benar ada, maka harus
tunduk kepada partai dominan dan tidak diperkenankan untuk beroposisi. Partai
dominan yang merupakan satu-satunya partai yang memiliki kekuatan politik besar
juga akan memiliki kekuatan yang besar pula untuk menekan oposisi dan kritik
yang dapat saja akan membahayakan kekuasaannya.
2. Dwi Partai.
Sistem dua
partai dalam kepartaian suatu negara menunjukkan bahwa kehidupan politik di
negara bersangkutan hanya tergantung kepada dua partai saja. Disamping dua
partai dominan, memang mungkin masih terdapat partai-partai kecil yang kurang
atau bahkan tidak memiliki peran yang berarti. Dalam hal terdapat partai lain
selain dua yang dominan, maka menjadi tidak mudah untuk mengatakan bahwa di
negara tersebut berlaku sistem kepartaian dwi partai, karena bisa jadi dalam
suatu kurun waktu tertentu partai-partai kecil tersebut berhasil merubah
dirinya menjadi partai yang memainkan peran yang dominan.
Interaksi
dua partai dominan dalam sistem kepartaian suatu negara merupakan interaksi
yang kompetetif . Kedua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan
kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Pemenang pemilihan umum menjadi
partai yang memerintah, sedangkan yang kalah berperanan sebagai oposisi yang
loyal (Surbakti 1999)
Biasanya,
sistem ini dapat berlangsung dengan baik jika komposisi masyarakatnya adalah
homogen, tidak terdapat jarak sosial yang ekstrem. Bahkan Pulzer (1967)
mengungkapkan pendapatnya bahwa ada tiga prasyarat untuk suksesnya suatu sistem
dwi partai, yaitu adanya homogenitas sosial, konsensus nasional yang berkadar
tinggi, dan kontinuitas sejarah. (Budiardjo 1998)
3. Banyak Partai
Ini
merupakan suatu sistem kepartaian dalam suatu negara yang terdiri atas lebih
dari dua partai politik dominan. Sistem ini banyak penerapannya dalam
masyarakat yang berstruktur majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial
ekonomi. Dianggap bahwa sistem ini lebih mampu menyalurkan keanekaragaman
sosial, seperti ras, suku, atau agama dibanding dengan diterapkannya sistem dua
partai. Setiap golongan masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan
asal-usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik
tertentu.
Banyaknya
partai dalam sistem kepartaian seringkali harus berakibat pada bentuk
pemerintahan koalisi. Pemerintah bukan lagi didominasi oleh satu atau dua
partai tetapi oleh beberapa partai yang berkoalisi hingga mencapai jumlah
mayoritas dalam parlemen. Sekalipun demikian, kecenderungan yang tampak adalah
lemahnya kabinet karena sering terkesan ragu-ragu dalam tindakannya. Konsensus
antar partai yang berkoalisi setiap kali memungkinkan untuk diperbaharui kerena
pengunduran salah satu partai dalam koalisi itu saja dapat berpengaruh besar
pada kekompakkan. Ketidakpastian ini seringkali memperlemah kedudukan kabinet
terutama dalam hal menghadapi partai-partai lain yang tidak tergabung dalam
koalisi dan bersikap oposisi.
Sistem
banyak partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan proporsional, karena
semua partai dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang
diperoleh di suatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain
untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi.
Sistem yang dapat dikatakan sebagai wujud respon terhadap kemajemukan sosial
dan politik ini pada akhirnya memahamkan masyarakat bahwa terdapat kebebasan
untuk memdirikan partai politik, bahkan kebebasan itu tanpa batas diberikan
oleh pemerintah. Akibatnya, jumlah partai politik di negara yang menerapkan
sistem banyak partai selalu cepat bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar