ETIKA BIROKRASI
Sekedar Catatan
Dari
sekedar wacana hingga gerakan perbaikan moral dan etika yang bukan saja
digaungkan oleh para pejabat tetapi bahkan oleh para pemuka agama selalu
disambut dan didukung dengan sangat antusias oleh semua pihak, bahkan oleh para
koruptor, penipu hingga tukang selingkuh sekalipun. Segala macam aturan formal
juga kode etik dibuat untuk mendukung gerakan tersebut. Aturan yang telah ada
didiskusikan kembali untuk maksud penyempurnaan agar tidak sedikitpun lubang
tersedia untuk praktek tindakan menyimpangi etika.
Undang-undang
bermuatan batas-batas moral dan etika diberlakukan dengan asumsi dasar bahwa
perbaikan moral dan etika akan menyelamatkan semua pihak. Bahkan, untuk spirit
perbaikan tersebut, kita sering tidak perduli ada letupan-letupan pro dan
kontra yang berlangsung yang pemicunya adalah perbedaan budaya. Padahal,
seberapapun kecil letupan ini, jika saja
tidak dikelola secara memadai bukannya tidak mungkin akan tumbuh menjadi potensi
konflik yang mengkhawatirkan frame kebangsaan kita. Layak dikhawatirkan,
bingkai kebangsaan ini akan retak bahkan pecah berkeping-keping sebagai jawaban
bagi pengelolaan etika kebangsaan yang salah. Tentu bukan kekhawatiran ini yang
ingin kita bicarakan di sini, tetapi komitmen lapanganlah yang lebih layak
dibicarakan mengingat bahwa dalam praktek sekalipun segala aturan telah dibuat
tetapi ketika kita tidak memiliki komitmen yang kuat bagi pelaksanaannya maka
tetap saja moral dan etika menjadi problem besar kemanusiaan. Mereka yang ternyata
lemah komitmennya pada perbaikan mutu kemanusiaan, segera terlihat mencari-cari
pembenar untuk melanggarnya atau dengan mudah mengatakan betapa sulitnya
mengimplementasikan aturan moral dan etika secara all out disertai berbagai
alasan.
Kecenderungan
ini terjadi hampir di semua organisasi, baik organisasi sektor swasta maupun
sektor publik. Bahkan, di lembaga birokrasi yang dipercayai oleh stake
holdernya untuk doing the right thing pun yang isinya adalah para profesional
yang terikat pada prinsip-prinsip birokrasi modern, kecenderungan tersebut
selalu ada. Dari kebanyakan kasus, hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan
manusia memerangi spirit keserakahan sehingga mereka menanggalkan etika untuk
berbuat curang.
Sekalipun
organisasinya telah begitu ketat menyusun rambu-rambu untuk memastikan tegaknya
moral dan etika, namun tetap saja ada anggota organisasi yang serakah dan
berhasrat meraup keuntungan atau kemenangan melalui tindakan-tindakan yang
menghalalkan segala cara. Manusia menjadi seolah semakin sah-sah saja
merendahkan martabat dirinya sendiri dengan berbuat curang dan mengabaikan
etika.
Para
calon legislatif mempertontonkan betapa pemanfaatan segala cara diupayakan
sekedar untuk memenangkan persaingan. Apakah etika dan moralitas benar-benar
sudah tidak memiliki daya jual lagi, sehingga persaingan kalah-menang harus
meninggalkannya ? Sulitkah para menejer berbuat dengan spirit moralitas dan
etika untuk menaikkan gaji karyawannya yang paling rendah ketika situasi
mengalami krisis dan harga-harga melambung ? Atau cukup etiskah jika pejabat
publik berdagang kekuasaan untuk memuasi hasrat serakahnya ketika publik
membutuhkan pelayanan bagi kemiskinannya ?
Sejumlah
pertanyaan ilustratif di atas terasa sangat provokatif untuk memicu gerakan
ketidakpuasan. Ada gugatan visi luhur dan kredibilitas diri dalam ilustrasi
tersebut. Terdapat semacam hipotesis yang mengatakan bahwa jika kita menjunjung
tinggi etika dan berorientasi pada peningkatan kualitas kehidupan maka kita
baru boleh menepuk dada sebagai manusia yang memiliki kredibilitas diri dari
waktu ke waktu. Keinginan kita untuk selalu maju, bahkan menjadi nomor satu,
memang sangat penting, namun hal itu tidak usahlah kita lakukan dengan
mengurangi harga kita sebagai manusia, terutama bila kita adalah pejabat
publik, artinya adalah pejabat yang berposisi sebagai pelayan publik.
MORAL DAN ETIKA
Dalam
keseharian, kita sangat sering mendengar kata 'moral' disebut orang dalam
berbagai kesempatan. Mungkin karena demikian seringnya, maka orang tidak hirau
lagi terhadap pemakaian kata dalam kesesuaian makna harfiahnya. Bahkan, menjadi
sangat lumrah kita mendengar orang memakai kata moral untuk pengertian etika,
atau sebaliknya, etika untuk maksud pengertian sebagai moral. Moral dan etika
sebenarnyalah merupakan dua kata yang berbeda makna. Moral memuat ide tentang
sisi kemanusiaan manusia, sedangkan etika lebih memberi penjelasan bahwa
manusia sebagai makhluk sosial. Tentu sangat tidak penting untuk berpanjang
lebar kita mengurai kesalahkaprahan tersebut. Jauh lebih penting bagi kita
adalah mengurai arti sesungguhnya dari masing-masing kata tersebut.
Sebagian
terbesar dari penyebutan kata moral selalu diawali oleh sejumlah kata lain
semisal 'kewajiban', 'norma', dan atau 'pertimbangan', sehingga jadilah istilah
'kewajiban moral', 'norma moral' dan 'pertimbangan moral'. Kata moral selalu
menunjuk pada manusia sebagai manusia. Kewajiban moral bermaksud memberi
penjelasan adanya kewajiban manusia sebagai manusia. Norma moral bermaksud
mengukur penilaian terkait benar dan salah suatu tindakan manusia sebagai
manusia. Pertanyaan besar yang segera menghadang kita adalah, lalu apa
sebenarnya yang dimaksud dengan manusia terkait dengan atribusi kemanusiaan
dalam perkaitan dengan atau moral tersebut ?
Kalau
kita mengatakan bahwa seseorang dosen itu bermoral baik, tentu yang ingin kita
sampaikan adalah penilaian bahwa sebagai manusia ia adalah sosok yang memenuhi
kriteria kemanusiaan sebagaimana lumrahnya manusia yang suka menolong, tidak
menyakiti hati manusia lain, menghormati, tidak berprasangka dan memiliki
kesalehan (baik ritual maupun sosial) yang baik. Tidak peduli bahwa ia
merupakan dosen yang kacau jalan pikirannya, omongannya tidak jelas, dan tidak
mengusai bidang ilmu yang diajarkannya, tetapi jika ia memenuhi kriteria
sebagai manusia yang berkemanusiaan maka ia berhak menyandang sebagai dosen
bermoral baik.
Kecuali
moral, sering juga kita mendengar orang menyebut atau kita membaca istilah
moralitas. Memang tidak jauh pengertiannya dengan istilah moral, bahkan
moralitas dibenarkan untuk memiliki makna sebagai derajat bagaimana aspek moral
itu termuat dalam suatu tindakan manusia. Moralitas lebih merupakan nilai moral
atau kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita,
yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita sebagai manusia. Moralitas
akan tercapai apabila kita menaati hukum batiniah bukan lantaran hal itu
membawa akibat yang menguntungkan kita atau lantaran kita takut kepada yang
akan memberikan hukuman, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu
merupakan kewajiban kita. Moralitas yang demikian ini lazim juga (setidaknya
berdasarkan pendapat Immanuel Kant) disebut sebagai otonom.
Moralitas
otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ia taati sebagai sesuatu yang
dikehendakinya sendiri karena keyakinan bahwa sesuatu tindakan yang akan atau
telah dilakukan itu sebagai hal yang baik bagi kemanusiaan. Moralitas semacam
ini merupakan prinsip tertinggi terkait dengan kebebasan sebagai hal yang
sangat hakiki dari tindakan manusia sebagai makhluk rasional. Jadi moralitas
ini yang menentukan adalah pandangan subyektif seseorang yang didorong oleh
budi. Hanya makhluk bernama manusia sajalah yang memiliki budi karenanya ia
mampu melakukan tindakan moral. Budi adalah alat batin untuk memberi
pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan sebaliknya.
Selain
moralitas otonom, terdapat juga moralitas heterenom, yakni sikap dimana
kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri melainkan
karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku. Misalnya saja, karena
mau mencapai tujuan yang diinginkan untuk dicapainya, atau karena perasaan
takut pada penguasa yang memberi kewajiban itu. Sikap semacam ini cenderung
menghancurkan nilai moral atau moralitas. Bahkan, lagi-lagi mengutip Kant,
bahwa tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang yang harus
takluk kepada kehendak pihak lain.
Tentang
moral dan moralitas memang sulit dinilai dengan pasti karena menyangkut tekad
batin. Ia baru dapat dinilai jika penilaian itu disaranai oleh fenomena, yakni
segala sesuatu yang muncul dalam kesadaran kita. Dari tindakan atau perbuatan
yang lahiriah, orang baru dapat menilai moral orang lain. Fenomena berupa
tindakan menjadi sarana untuk membongkar narasi di baliknya. Cerita di balik
suatu tindakan itulah yang kelak akan membantu menilai moralitas seseorang.
Itulah moral dan sekaligus moralitas. dan kini mari kita beranjak
mendiskusikannya dengan etika.
Jika
moral merupakan tekad batin yang tentu karenanya berada pada sisi abstrak
manusia atau aspek tak terlihat dan teraba dari manusia, maka etika sedikit
lebih gampang dilacak. Bukan karena etika merupakan barang fisik yang mudah
dipegang dan dibawa kemana-mana, tetapi setidaknya kita difasilitasi oleh 'sesuatu'
jika kita ingin mengenalinya.
Kata
'etika' dipakai untuk sejumlah maksud bagi penyebutannya. Ketika kita mendengar
ada orang mengatakan 'etika Jawa', 'etika Islam', atau seperti Max Weber
menyebut 'etika Protestan', maka tentu yang dimaksud adalah sejumlah nilai dan
prinsip moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam
mengatur tingkah lakunya. Perlu dicatat bahwa sistem nilai atau prinsip moral
tersebut berfungsi bagi perorangan dalam kehidupan sosial. Artinya, kecuali berfungsi
bagi kehidupan individual juga sekaligus berfungsi dalam kehidupan sosial
ketika manusia berinteraksi di dalam suatu kolektivitas semisal masyarakat.
Kecuali
pengertian sebagaimana terurai sepintas di atas, kata 'etika' juga sering
muncul dipakai dalam istilah semisal 'etika profesi' dan 'riset etika', bahkan
'filsafat etika'. Dalam istilah 'etika profesi', tentu dikandung pengertian
adanya sekumpulan norma moral dari nilai yang hidup di masyarakat terkait
dengan penilaian kebajikan atas tindakan oleh orang-orang dalam suatu profesi
tertentu. Penilaian atas baik dan sebaliknya atau pantas dan sebaliknya,
kecuali dilandasi moralitas juga dilandasi pertimbangan nilai. Jika kita bicara
nilai, maka kita sebenarnya sedang bicara mengenai budaya di suatu masyarakat.
Tata nilai adalah sesuatu yang dianggap baik untuk dilakukan seseorang dalam
masyarakatnya. Nilai dengan demikian merupakan ukuran dari kesepakan yang
menetapkan batasan tindakan manusia dalam suatu masyarakat.
Sedangkan
jika sesekali kita mendengar seseorang menyebut 'riset ataupun filsafat etika'
hal itu mengandung pengertian bahwa sebenarnya 'etika' juga dapat dianggap
sebagai ilmu pengetahuan. Sebagaimana ilmu pengetahuan maka 'etika' memiliki
bahasa khasnya sendiri serta metodologi dan bidang kajian yang unik atau
berbeda dari bidang kajian ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu, etika
memiliki fokus kajian tentang baik dan buruk tidak saja dilihat dari sudut
moral tetapi juga dari sudut pandang sosial. Sering juga, etika yang dimengerti
sebagai ilmu pengetahuan disebut sebagai filsafat moral. Agak membingungkan,
tetapi tentu bukan yang membingungkan yang kita inginkan karena buku sederhana
ini hanya bermaksud mengenalkan pengertian sederhana atau dapat disederhanakan
untuk mudah dimengerti dari istilah etika saja.
Tanpa
sepenuhnya mengesampingkan pengertian etika sebagai kumpulan prinsip moral dan
bidang ilmu pengetahuan, maka etika secara umum dapat diartikan sebagai prinsip
dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia sebagai makhluk sosial.
Secara
khusus etika dapat dimengerti sebagai bahasan tentang prinsip dasar terkait
dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkungan sosialnya. Pembedaan terkait
dengan etika dapat juga menyebut etika individual dan etika sosial. Etika
individual mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap
dirinya sendiri, dan melalui suara hatinya terhadap Tuhan YME. Sedangkan etika
sosial jauh lebih luas, karena hampir semua kewajiban manusia terkait ia
sebagai makhluk sosial yang harus berinteraksi dalam suatu entitas masyarakat
yang memiliki batas-batas tindakan.
Berasal
dari kata dalam bahasa Yunani ethos, memiliki arti adat, cara bertindak, dan
tempat tinggal. Secara sederhana etika dapat dimengerti sebagai batasan manusia
dalam bertindak. Batasan itu adalah perangkat aturan yang sudah tersedia dalam
adat istiadat, kebiasaan, sejumlah norma serta sejumlah nilai yang hidup dalam
masyarakatnya. Dengan demikian berarti bahwa etika di suatu masyarakat sangat
mungkin berbeda dengan etika yang hidup di masyarakat lainnya. Etika menuntun
manusia dalam bertindak sesuai yang tindakan dikehendaki oleh masyarakatnya.
Etika juga menolong manusia untuk mengambil sikap agar terlindung dari
ketercelaan perbuatan berdasar pada sejumlah nilai yang hidup di masyarakatnya.
BERPIKIR TENTANG BIROKRASI
Konsep Birokrasi
Birokrasi
memiliki sejumlah arti. Secara klasik istilah ini mengacu kepada konsep ilmu
politik tentang pemerintahan oleh biro tetapi tanpa partisipasi dari mereka
yang diperintah. Dalam istilah awam, birokrasi mengacu pada konsekuensi negatif
yang timbul dari organisasi besar, seperti adanya prosedur berbelit-belit dan
adanya kekecewaan publik. Tetapi yang hendak diuraikan dalam tulisan berikut
bukanlah konsep-konsep yang mengandung sisi negatif dari kegiatan organisasi
sebagaimana yang sering muncul dalam keluh-kesah publik yang menghendaki
pelayanan, melainkan sisi idealnya sebagai organisasi pelayanan publik.
Sebagai
sekedar istilah, dunia sebenarnya telah mengenal istilah birokrasi sejak
diperkenalkan oleh kaum fisiokrat Perancis pada abad ke-17, tetapi Weberlah yang paling dikenal sebagai
pemikir utama konsep ini di abad ke-19 di samping tentu saja John Stuart Mill,
Robert Michel, Gaetano Mosca. Mereka semua adalah para pemikir milik abad ke 19
yang berasal dari sejumlah negara Eropa.
Birokrasi
adalah suatu bentuk organisasi sosial di mana rasionalisasi, atau kalkulasi
dilakukan secara sengaja untuk mencari cara paling efisien mencapai tujuan.
Inilah sebenarnya yang merupakan karakteristik utamanya. Birokrasi pada umumnya
memiliki pola organisasi yang sangat formal, hierarki jabatannya rumit tetapi
sangat jelas, dan sangat mengandalkan bentuk-bentuk komunikasi tertulis. Dalam
pengertian sebagaimana tersebut di muka, maka sebenarnya birokrasi kecuali
dapat dipahami sebagai bentuk organisasi juga merupakan cara bagaimana
pencapaian tujuan organisasi itu harus dilakukan.
Sebagai
cara, birokrasi memperkenalkan sejumlah prinsip tindakan bagi aparatur atau
pelaksana tugas organisasinya. Rasionalisasi dalam semua tindakan sepanjang
terkait dengan pencapaian tujuan bertumpu pada hitung-hitungan dengan basis
evaluasi efektif dan keefisienan. Hal ini karena, memang pada dasarnya
birokrasi sebagai cara pencapaian tujuan ini lahir sebagai konsep yang
memperlihatkan keberatannya pada inefisiensi organisasi. Konsep birokrasi lahir
sebagai antitesis rasionalitas tradisional dalam praktek organisasi. Organisasi
beroperasi tanpa pedoman model kegiatan yang efisien, yang tidak menghiraukan
bahwa kerja tanpa pedoman itu adalah pemborosan, adalah merupakan keadaan yang
ingin direspons oleh kemunculan konsep birokrasi. Singkatnya, birokrasi menjadi
suatu alat yang efisien untuk mencapai tujuan organisasi.
Kecuali
birokrasi dapat dipahami sebagai cara berkegiatan untuk mencapai tujuan, iapun
juga dipahami sebagai personel administratif yang dispesialisasikan, yang
diangkat berdasarkan prestasi atau masa dinas, impersonal dan diarahkan oleh
suatu unit komando. Birokrasi dalam hal ini muncul karena kebutuhan akan
orang-orang yang kompeten di suatu bidang tugas untuk tujuan efisiensi,
keseragaman dan pencegahan penyimpangan (Horton dan Hunt 1996, 262)
Pengertian
lain lagi menyatakan bahwa birokrasi adalah suatu piramida personel yang
mengarahkan dan mengkoordinasikan tugas-tugas organisasi besar secara rasional.
Basis argumen ini sengaja saya ambilkan dari sajian karakteristik birokrasi
dari Max Weber yang secara garis besar adalah : 1) adanya spsialisasi untuk
menyerahkan suatu tugas kepada orang yang memiliki kompetensi, 2) pengangkatan
berdasarkan prestasi dan masa dinas untuk menjamin personel kompeten, 3)
impersonalitas untuk menjamin semua aturan resmi dilaksanakan, dan 4) rantai
komando untuk menentukan wewenang dan tanggung jawab setiap personel organisasi.
Berkat
konsep ini birokrasi berkembang secara tidak terelakkan di semua organisasi
besar. Semua departemen pemerintah dan organisasi swasta tak terelakkan memakai
sejumlah prinsip birokrasi. Karyawan di suatu perusahaan yang hanya berjumlah
tiga orang dapatlah membagi tugas sambil lalu dan bahkan setiap orang dapat
menyelesaikan setiap tugas kegiatan yang ada. Tetapi ketika organisasi telah
berkembang dan memiliki anggota atau karyawan sebanyak seribu personel
umpamanya, maka tentu diperlukan pembagian tugas dan wewenang yang jelas agar
pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Begitu juga dalam organisasi yang
besar itu diperlukan sistem pengendalian yang memadai dan dapat menjamin
tugas-tugas dilakukan dengan pengorganisasian yang baik.
Di
samping pengertiannya sebagai bentuk organisasi dan cara berkegiatan, maka
dikenal pula pengertian birokrasi sebagai sistem administrasi. Sebagai sistem,
birokrasi merupakan rangkaian dari sejumlah sub-sistem yang berupa bagian dan
tugas-tugas khusus yang pengadaannya untuk kepentingan memudahkan pengendalian
dalam organisasi. Sistem administrasi dalam pengertian birokrasi memberi
penjelasan bahwa ada pembagian wewenang resmi ke dalam unit-unit tugas yang
melekat pada jabatan-jabatan. Wewenang dan jabatan resmi diatur sedemikian rupa
dengan basis keahlian teknis untuk menghubungkan sejumlah fungsi organisasi
agar secara serentak bergerak menuju pencapaian tujuan secara efisien.
Efisiensi
adalah kata yang selalu terbawa dalam diskusi mengenai birokrasi. Sebagai
apapun pengertian birokrasi itu dipakai untuk menganalisis pengelolaan
organisasi, (sebagai sistem, sebagai cara
kerja, atau sebagai bentuk organisasi), tetapi pada dasarnya
efisiensilah yang merupakan target akhir dari organisasi yang menetapkan
birokrasi sebagai modelnya. Tetapi, berbeda dari kecenderungan analisis
organisasi yang pada tradisi awalnya selalu memandang birokrasi sebagai
organisasi yang efisien, analisis organisasi belakangan ini justru cenderung
melihat birokrasi sebagai organisasi yang inefisien. Sejumlah besar, kalau
tidak berlebihan dibilang selalu, riset organisasi selalu berujung pada temuan
bahwa praktek birokrasi, terutama di sektor publik, yang penuh pemborosan,
berbelit-belit, tidak efisien. Praktek birokrasi yang demikian ini mungkin saja
benar, tetapi ada baiknya kita justru memandang dari posisi yang berlawanan
terhadap praktek birokrasi.
Sebagaimana
telah selintas disinggung, bahwa konsep dan praktek birokrasi dalam tradisi
awalnya adalah efisiensi organisasi yang tak terbantahkan. Weber menjadi sangat
masyhur dengan teori birokrasinya karena ia membandingkannya dengan sejumlah
bentuk administrasi tradisional yang di dasarkan pada extended family (keluarga
besar) dan hubungan pribadi. Birokrasi bagi Weber adalah bentuk organisasi sosial
yang beroperasi berdasarkan otoritas legal-rasional.
Birokrasi Weberian
Weber
memulai analisisnya terhadap organisasi ketika ia berbicara mengenai tiga macam
otoritas, yakni 1) otoritas tradisional, 2) otoritas kharisma, 3) otoritas
legal-rasional. Otoritas dapatlah diartikan secara sederhana sebagai kewenangan
atau hak untuk mempengaruhi orang lain. Otoritas didukung oleh peraturan dan
sejumlah norma yang mendasari suatu keteraturan sosial. Efektivitas otoritas
sangat tergantung kepada kerelaan orang lain untuk patuh pada perintah orang
yang memiliki otoritas.
1)
Otoritas tradisional adalah tipe otoritas berdasarkan tradisi yang telah hidup
lama di masyarakat. Tradisi dalam pengertian Weberian ini adalah suatu
kepercayaan yang telah lama mapan terhadap sejumlah kebiasaan yang dilakukan
secara turun temurun. Jadi, alasan penting orang taat pada struktur otoritas
itu ialah karena kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah sesuai dengan tradisi
yang ada.
2)
Otoritas kharisma adalah kepatuhan yang didasarkan pada kualitas luar biasa
seseorang sebagai kekuatan personal. Istilah kharisma digunakan untuk
pengertian yang luas pada daya tarik pribadi yang ada pada seseorang. Ia
menunjukkan adanya kualitas tertentu yang terdapat pada pribadi seseorang yang
karenanya dia berbeda dengan orang lain. Seseorang yang memiliki otoritas
kharisma cenderung dipahami sebagai orang yang dianugerahi keluarbiasaan
adikodrati.
3)
Otoritas legal formal, menurut Weber adalah otoritas yang didasarkan pada
komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan
diatur secara impersonal. Singkatnya, orang yang sedang melaksanakan otoritas
legal-rasional adalah karena ia memiliki suatu posisi sosial yang menurut
peraturan yang sah, maka didefinisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Wujud
nyata dari otoritas legal-rasional inilah yang oleh Weber di katakan sebagai
organisasi birokratis.
Teori
Weber tentang birokrasi berfokus terutama pada pengorganisasian. Teorinya itu
dianggap sebagai pernyataan terpenting tentang organisasi formal, namun mungkin
juga benar bahwa semua teori organisasi pada dasarnya adalah teori pengelolaan.
Sebelum berlanjut menguraikan konsep Weberian tentang birokrasi, dipandang
perlu untuk terlebih dahulu menguraikan pengertian organisasi formal.
Berbeda
dengan organisasi sosial yang muncul ketika sejumlah orang terasosiasi antara
satu dengan yang lain tetapi tidak memiliki kesamaan tujuan, organisasi formal
adalah organisasi yang sengaja didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Misalnya saja Serikat Pekerja yakni organisasi formal yang bertujuan untuk
memperkuat posisi tawar para pekerja dehadapan para majikan. Badan-badan
pemerintah dibentuk untuk mengorganisasikan pelayanan kepada masyarakat.
Weber
mempublikasikan teorinya tentang birokrasi ketika ia bicara organisasi formal
dan tiga tipe otoritas dalam bukunya berjudul The Theory of Social and Economic Organization (1910). Sebenarnya,
Weber tidaklah sendirian menganalisis organisasi pada jamannya. Frederick
Winslow Taylor (1856-1917) adalah pemikir seangkatan Weber yang juga menulis
tentang organisasi dalam buku yang juga penting bagi perkembangan konsep
organisasi efisien yakni berjudul Principles
on Scientific Management (1911).
Kedua
buku tersebut membahas sejumlah masalah perusahaan dan bisnis melalui dasar
filsafat yang sama. Secara bersama-sama Taylor dan Weber menyajikan teori-teori
organisasi dan menejemen yang hampir secara khusus membahas anatomi organisasi
formal melalui pendekatan pembagian kerja, struktur, dan rentang kekuasaan.
Memang pada akhirnya, teori Weberlah yang banyak menyita perhatian dibandingkan
teori menejemen dari Taylor. Weber memakai istilah organisasi ideal bagi bentuk
birokrasi. Bagi Weber, birokrasi adalah organisasi ideal dengan sepuluh ciri
sebagai berikut.
1. Suatu organisasi
terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan berdasarkan jabatan-jabatan.
Bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatan-jabatan. Sejumlah jabatan
dapat ditunjukkan dengan sebutan-sebutan seperti penyelia, masinis, peneliti, dosen,
komandan, pelatih dan lain sebagainya.
2. Tujuan atau rencana
organisasi terbagi ke dalam satuan tugas yang disalurkan di antara berbagai
jabatan sebagai kewajiban resmi. Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab melekat
pada jabatan. Deskripsi kerja (job discription) tentu merupakan salah satu
metode untuk memenuhi karakteristik ini. Suatu pembagian kerja yang jelas di
antara serjumlah jabatan merupakan implikasi ciri ini yang memungkinkan
terciptanya derajat spesialisasi dan keahlian yang tinggi di antara para
aparaturnya.
3. Kewenangan untuk
melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan secara legal. Satu-satunya
alasan paling rasional bahwa seseorang diberi kewenangan untuk melakukan
tugas-tugas jabatan adalah ketika ia secara sah menduduki jabatannya. Weber
menyebutnya sebagai kewenangan legal, yakni kewenangan yang disahkan oleh
kepercayaan akan supremasi hukum.
4. Garis-garis kewenangan
dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkis. Hierarkinya mengambil
bentuk umum suatu piramida, yang menunjukkan setiap pegawai bertanggung jawab
kepada atasannya atas keputusannya sendiri dan keputusan bawahannya. Ruang
lingkup kewenangan atasan atas bawahan secara tegas dibatasi. Konsep komunikasi
ke atas dan ke bawah mencerminkan konsep kewenangan ini dengan informasi yang
mengalir ke bawah dari jabatan yang memiliki kewenangan lebih luas ke jabatan
yang memiliki kewenangan lebih sempit.
5. Adanya aturan atau
regulasi yang tegas yang ditetapkan secara formal, mengatur berbagai tindakan
dan berbagai fungsi jabatan dalam organisasi. Peraturan akan membantu
terciptanya keseragaman operasional dan menjamin kelangsungannya terlepas dari
perubahan pegawai.
6. Prosedur dalam
organisasi bersifat formal dan impersonal, yaitu semua peraturan organisasi
berlaku bagi setiap orang. Pejabat diharapkan memiliki orientasi yang
impersonal dalam hubungan mereka dengan pejabat lain maupun dengan publik yang
memerlukan pelayanan. Semua aparatur bisrokrasi harus mengabaikan pertimbangan
pribadi dan tidak mudah terpengaruh. Prosedur impersonal ini dirancang untuk
menjaga perasaan ejabat agar penilaian rasionalnya tidak menyimpang dalam
menjalankan kewajibannya.
7. Sikap positif terhadap
disiplin harus merupakan merupakan bagian dari organisasi. Agar individu dapat
bekerja dengan efisien, mereka harus memiliki ketrampilan yang diperlukan dan
menerapkannya secara rasional dan energik. Individu yang tidak menerima
kewenangan atasan mereka, yang gagal melaksanakan kewajiban, dan yang
menerapkan peraturan dengan sembarangan, bukanlah orang yang sedang mengejar
tujuan organisasi yang konsisten dengan filsafat efisiensi. Organisasi
birokrasi hanya membutuhkan program disiplin untuk menjamin kerja sama dan
efisiensi.
8. Aparatur birokrasi
harus mampu memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi. Tidak ada
ruang bagi kegemaran mengurus urusan pribadi pada saat-saat jam kerja.
Perhatian para pegawai harus terpusat pada kewajiban jabatannya ketika berada
di kantor dan pada saat jam tugasnya. Inilah sebabnya, banyak organisasi
(terutama organisasi bisnis) yang menyediakan perumahan bagi pegawainya,
memperhatikan keluarga mereka dalam lingkungan country club atau kekeluargaan,
agar pikiran para pegawai tidak terganggu oleh segala urusan yang bersifat
pribadi.
9. Pegawai direkrut dan
dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan kualifikasi teknis, bukan
karena koneksi politis, koneksi keluarga atau berbagai koneksi lainnya. Pejabat
birokrasi ditunjuk untuk menduduki jabatan mereka bukan oleh kelompok pemilih
yang menyebabkan mereka tergantung
kepada pemilih tersebut, tetapi ia ditunjuk untuk mengemban tugas atau
kewajiban jabatan oleh atasannya. Kepada atasannyalah aparatur birokrasi
tersebut seharusnya bertanggungjawab.
10. Sekalipun semua jabatan
yang ada dalam birokrasi semata-mata didasarkan pada kecakapan teknis, namun
kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja. Setelah
melalui masa percobaan, pejabat memperoleh kedudukan tetap dan terlindung dari
pemecatan sewenang-wenang. Pekerjaan dalam organisasi merupakan karier seumur
hidup, memberikan keamanan dalam jabatan.
Prinsip-prinsip
birokrasi Weberian ini menjamin pembuatan keputusan yang rasional dan efisiensi
administratif di dalam organisasi. Ahli-ahli yang berpengalaman adalah
orang-orang yang paling cakap untuk membuat keputusan teknis. Kinerja
berdisiplin yang diatur secara tegas dan jelas melalui segala bentuk regulasi
dan kebijakan dan dikoordinasikan oleh kewenangan hierarkis merupakan usaha
yang rasional dan konsisten untuk mencapai tujuan organisasi.
Sebagian besar
analisa Weber mengenai birokrasi mencakup beberapa karakteristik yang istimewa
yang dilihatnya sebagai penyumbang dominan bagi tipe ideal organisasi. Misalnya
saja karateristik birokrasi yang memberi tekanan pada sifat hubungan sosial yang
impersonal sebagaimana karakteristik ke 6. Secara empirik sulit ditemukan
impersonalitas yang ideal dalam birokrasi. Beberapa kasus percintaan pimpinan
dan sekretaris, dan adanya seorang menejer yang mengangkat keponakannya yang
bodoh untuk jabatan penting di organisasi adalah bukti sulitnya karakter ideal
birokrasi tersebut terwujud.
Satu alasan pokok
mengapa organisasi birokratis itu memiliki efisiensi adalah karena organisasi
itu memiliki cara yang secara sistematis menghubungkan kepentingan individu
dengan pelaksanaan sejumlah fungsi organisasi. Hal ini dijamin oleh kenyataan
bahwa pelaksanaan fungsi organisasi yang sudah diatur secara khusus menjadi
kegiatan yang utama bagi pekerjaan aparatur birokrasi. Birokrasipun memberi
jaminan kenaikan pangkat dalam jabatan karirnya sebagai imbalan pelaksanaan
fungsi yang dipercayakan itu.
Alasan lain mengapa
birokrasi itu sangat efisien adalah karena adanya pemisahan yang tegas dan
sistematis antara apa yang bersifat pribadi dan apa yang birokratis. Dikeluarkannya
elemen pribadi dari birokrasi ini berarti bahwa
orang-orang dapat menjamin hubungan sebagai orang yang menduduki posisi
organisasi, meskipun dalam tingkatan pribadi mereka tidak saling mengenal.
Berbagai keputusan serta tindakan pegawai birokrasi harus diatur berdasarkan
tujuan-tujuan atau kebutuhan organisasi itu saja, dan bukannya berdasarkan
kebutuhan atau keinginan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar