Minggu, 06 Januari 2013
Kekuasaan, Sumber Kekuasaan, Kepemimpinan vs Menejemen
KEKUASAAN
Evolusi Konseptual
Menurut Weber, yang disebut kekuasaan adalah kemungkinan seorang aktor dalam suatu hubungan sosial dapat melaksanakan kemauannya sendiri, sekalipun terdapat perlawanan, tanpa mempermasalahkan tentang basis yang menjadi dasar dari kemampuan yang dimaksud. Kekuasaan ini meliputi diperintahnya orang lain untuk melakukan sesuatu atau untuk menahan diri dari suatu pekerjaan yang ingin mereka kerjakan, yang tidak akan terjadi seandainya perintah itu tidak ada
Sejalan dengan Weber, Robert Dahl mengatakan bahwa "A memiliki kekuasaan terhadap B sejauh ia bisa mendapatkan B melakukan sesuatu yang B sebenarnya tidak akan mau melakukannya" (Kweit dan Kweit 1981).
Dalam definisi Weber maupun Dahl, persoalan segera muncul ketika dipertanyakan tentang bagaimana mengetahui situasi yang direncanakan B untuk dilakukan sebelum hadirnya A, atau bagaimana meyakini bahwa sebenarnya B tidak mau melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh A ? Pertanyaan yang sama juga dapat dihadapkan pada konseptualisasi Bachrach and Baratz (1970) tentang kekuasaan yang dikatakannya sebagai kesanggupan untuk mencegah situasi tertentu tidak timbul, atau juga terhadap definisi kekuasaan oleh Yukl (2001) yang menyebutnya sebagai pengaruh potensial dari seorang agen terhadap sikap dan perilaku seseorang yang ditargetkan. Tetapi pada Dahl terdapat satu hal yang membedakannya dengan konsep lain, yakni dia membuat suatu pembedaan antara sumber-sumber kekuasaan dengan pelaksanaan nyata dari kekuasaan itu. Dengan kata lain, kekuasaan di sini tidak diartikan sebagai pemilikan sumber-sumber kekuasaan, tetapi pelaksanaan dari itu. Seseorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan, sementara jika dia telah menggunakannya ke dalam kegiatan politik secara efektif (mencapai tujuannya) maka seseorang tersebut dipandang sebagai memiliki kekuasaan aktual (Surbakti 1992). Dengan begitu sebenarnya kekuasaan dapat dipandang dari dimensi potensial dan aktual.
Anthony Giddens (1979) secara luas mendefinisikan kekuasaan sebagai transformative capacity, yaitu sebagai kemampuan mengadakan intervensi dalam peristiwa tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk tindakan atau sikap sesuai yang dihendaki. Penjabaran konsep Giddens tentang kekuasaan ini mungkin dapat ditemui pada argumen Waters (1994) mengenai hal yang sama.
Waters (1994) mengetengahkan argumen yang subtantif tentang kekuasaan yang dijabarkan sebagai berikut : 1) bahwa kekuasaan berimplikasi pada keberadaan sosial tertentu (aktor individu, aktor kolektif atau struktur) yang memiliki konsekuensi pada yang lainnya. Suatu entitas tertentu dapat mengontrol yang lainnya. 2) Kekuasaan selalu berdasarkan hubungan spesifik tentang distribusi sumber dalam masyarakat. 3) Kekuasaan menunjukkan derajat konsentrasi. 4) Kekuasaan melibatkan hampir semua hubungan manusia. 5) Kekuasaan melahirkan relasi spesifik pada maksud manusia atau teleologi, serta 6) penggunaan kekuasaan menunjukkan spesialisasi dalam institusi sosial yang disebut negara atau politik.
Dari beberapa konsep di atas, sementara dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan adalah sumberdaya yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang memungkinkannya mendapatkan perilaku menyesuaikan dari pihak lain. Simpulan sementara tersebut memang sangat sederhana mengingat untuk studi kepemimpinan ini penulis masihmemibutuhkan konsep yang lebih operasional dengan mempertimbangkan aspek sosio-budaya Jawa tanpa meninggalkan dimensi lain yang secara langsung atau tidak terlibat di dalamnya.
Pertimbangan sosio-budaya Jawa tentu diperlukan mengingat studi kekuasaan ini penulis maksudkan untuk lebih melengkapi kajian perilaku kepemimpinan di wilayah sosiologis sekaligus kebudayaan Jawa yang berhubungan dengan interaksi sosial di dalam kelompok masyarakatnya.
Sumber Kekuasaan
Berbagai usaha untuk memahami kekuasaan selalu mengkaitkannya dengan pertanyaan dari mana sebenarnya kekuasaan itu berasal. Sebagai sarana pengaruh maka jelas bahwa kekuasaan merupakan fenomena yang dapat dilacak asal-usulnya atau sumber dari mana ia muncul, karena akan sulit meyakini bahwa kekuasaan itu hanya sekedar potensi yang adanya tanpa melalui proses 'menjadi' pada diri seseorang.
Dalam interaksi seseorang pemimpin dengan orang lain dalam kelompok yang dipimpinnya, terdapat beberapa hal yang mempengaruhi. Dalam banyak hal, jabatan, keahlian, kepribadian, dan kekayaan merupakan pemilahan penting tentang dari mana sumber kekuasaan yang dimiliki oleh sesorang pemimpin. Seseorang yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang lain karena kedudukan seseorang itu dalam organisasi, maka dikatakan bahwa sumber kekuasaanya adalah jabatannya. Keahlian seseorang terhadap sesuatu hal yang kebetulan dibutuhkan oleh kelompoknya akan memudahkan seseorang tersebut mempengaruhi orang lain dalam kelompoknya karena keahlian itu merupakan sumber kekuasan baginya, dan begitu pula tentang kepribadian serta kekayaan.
Konseptualisasi mengenai sumber kekuasaan yang telah diterima secara luas adalah dikotomi antara position power dan personal power yang dikemukakan oleh Amitai Etziomi (1992). Menurut konseptualisasi Etziomi, sumber kekuasaan sebagian berada pada peluang-peluang yang melekat pada posisi diri seseorang dalam organisasi, dan sebagian lain berada pada atribut-atribut pribadi seseorang sebagai hasil hubungan sosialnya. Kedua sumber kekuasaan tersebut relatif tidak saling tergantung, dan masing-masing mempunyai komponen yang berbeda tetapi sebagian saling tumpang tindih. Determinan-determinan posisi dan pribadi saling berinteraksi dengan cara yang kompleks, bahkan kadangkala sukar untuk membedakannya. Dari penjelasan dikotomi sumber kekuasaan ini akhirnya muncul pertanyaan yang memerlukan diskusi lebih lanjut, yakni apakah position power dan personel power itu memang demikian terpisah secara jelas sebagai dua sumber kekuasaan yang masing-masing memiliki area yang tak dapat diintegrasikan atau bahkan juga masih terdapat peluang untuk mendeferensiasikan keduanya.
French & Raven pada 1959 mengembangkan taksonomi untuk mengklasifikasikan berbagai jenis kekuasaan berdasarkan sumber-sumbernya, yakni coercive power, expert power, legitimate power, referent power, dan reward power. Hasil selanjutnya setelah Raven bekerja sama dengan Kruglanski, menambahkan sumber kekuasaan keenam berupa information power.
Di dalam perkembangan selanjutnya, dengan tetap memakai hasil pemikiran French & Raven, Paul Hersey serta Goldsmith mengusulkan ditambahkannya sumber kekuasaan lain dari enam sumber kekuasaan yang telah teridentifikasikan, yakni connection power atau kekuasaan hubungan.
Apa yang telah dihasilkan oleh Frech & Raven yang kemudian dilengkapi oleh hasil penelitian bersama Kruglanski serta menjadi semakin berkembang setelah muncul hasil penelitian Hersey & Goldsmith, menjadikan identifikasi tujuh sumber kekuasaan ini paling populer dikalangan teoritisi kekuasaan. Memperjelas ketujuh sumber kekuasaan tersebut, maka berikut ini secara lebih terinci akan dideskripsikan masing-masing sumber kekuasaan termaksud.
Coercive Power (kekuasaan paksaan). Sumber kekuasaan paksaan ini berada pada perasaan takut. Kepatuhan yang diperoleh seseorang dari orang lain akan muncul pada saat orang lain tersebut menangkap kemungkinan bahwa dirinya berada pada posisi yang dapat saja terkena tindakan yang tidak diingininya. Ketidakpatuhan akan mengarahkan bawahan pada hukuman seperti penugasan yang tak diinginkan, teguran atau bahkan pemberhentian. Jelasnya, seseorang pemimpin yang memiliki sumber kekuasaan paksaan ini memiliki kemampuan untuk memaksakan tindakan bersifat hukuman yang mengancam.
Pada umumnya, kekuasaan ini selalu dihubungkan dengan penggunaan kekerasan fisik dalam mengendalikan seseorang. Seorang elite dengan kewenangan formal dari organisasi yang memiliki tradisi berhubungan dengan penggunaan hukuman biasanya tampak menonjol pada kehidupan militer dan politik daripada organisasi bisnis. Pemimpin dalam hal ini mempunyai hak untuk menghentikan massanya dengan alasan apa saja yang mereka rasa dapat dibenarkan. Para perwira militer dapat saja mengeksekusi anak buahnya karena disersi atau gagal mematuhi sebuah perintah dalam pertempuran.
Dalam perkembangannya sekarang, meskipun kekuasaan paksaan telah menjadi salah satu bentuk sarana pengaruh yang paling umum, terutama dalam sejarah, penggunaannya sering lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan atau karena kebutuhan psikologis beberapa pemimpin tertentu daripada untuk memperlihatkan efektifitas kepemimpinannya. Bahkan dalam kondisi yang sangat ekstrem sekalipun pemaksaan seringkali tidak efektif menghasilkan kepatuhan. Berkaitan dengan uraian di atas, menarik untuk mengetahui contoh yang dipaparkan Weber sebagai berikut,
"......of the disastrous consequences resulting from reliance on coercion in a Nazi bomb factory using slave labor during World War II. The workers hindered production by persistently requesting detailed instructions and doing nothing constructive on their own initiative. They sabotaged production by improperly fitting the bomb fuses, and it was impossible for the guards to detect the sabotage and ensure minimal performance unless they watched each worker closely, which required nearly as many guards as slaves."
Dalam kehidupan politik, kekerasan selalu menyertai penjelasan tentang kekuasaan paksaan ini. Misalnya saja, selama perang saudara di Cina, ketua Partai Komunis Mao Ze Dong suatu ketika menjelaskan pada para pengikutnya bahwa setiap orang komunis harus memegang kebenaran bahwa kekuasaan politik timbul dari laras senapan. (Andrain 1992). Ketegasan pernyataan Mao ini merupakan penampakan paling nyata dari sumber kekuasaan paksaan.
Sebenarnya penggunaan sumber kekuasaan ini secara berlebihan dan tidak situasional mengandung kecenderungan munculnya counterpower dari anggota kelompok karena mereka juga mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi secara tidak langsung kinerja pemimpinnya. Bilamana pemimpin secara berlebihan menggunakan sumber kekuasaan paksaan ini, terbuka kemungkinan bawahan melakukan counterpower melalui misalnya dengan menyabot beberapa kegiatan, memulai keluhan-keluhan keberatan, melakukan demonstrasi, yang semua ini dapat merusak reputasi seseorang pemimpin. Jadi, sumber kekuasaan paksaan ini juga memiliki kandungan bahaya bagi kepemimpinan elite. Mengingat adanya kesalingtergantungan elite dengan massa, maka coercion kemungkinan akan mengundang pembalasan dan meluas ke arah konflik yang tidak menguntungkan kedua belah pihak.
Legitimate Power (kekuasaan legitimasi). Kekuasaan ini bersumber pada kewenangan formal yang dimiliki seseorang elite dalam organisasinya. Kewenangan itu didasarkan atas persepsi mengenai berbagai prerogatif, kewajiban-kewajiban, dan tanggung jawab yang berkaitan dengan kedudukan tertentu dalam sebuah organisasi atau sistem sosial. Pemimpin mempunyai hak untuk membuat permintaan, dan orang yang dipimpin memiliki kewajiban untuk mematuhinya. Kekuasaan legitimasi memberi hak yang sah kepada elite untuk menetapkan peraturan, memberikan tugas, serta mengatur perilaku tugas para bawahannya.
Semakin tinggi posisi seseorang dalam organisasi maka semakin besar juga kekuasaan legitimasinya. Massa akan semakin mematuhi segala aturan yang ada dan menjalankan perintah-perintah elite karena mereka mempunyai nilai yang diinternalisasi, yaitu semacam perasaan menganggap memang pantas jika mematuhi pemimpin yang legitimate dengan cara memperlihatkan rasa hormat pada hukum, dan mengikuti tradisi yang ada.
Pengaruh yang berasal dari kekuasaan legitimasi mempunyai aspek instrumental, yakni dapat menjadi sarana bawahan untuk menyetujui dan mematuhi segala aturan dan permintaan pemimpin sebagai imbalan bagi keuntungan-keuntungan dari keanggotaannya dalam organisasi. Legitimasi kekuasaan menjadi kontrak formal dan sah setiap hubungan dalam struktur komando dari pemimpin kepada bawahannya karena bawahan memahami dan menerima keabsahan yang diterima mengenai pemimpinnya sebagai pemegang posisi kepemimpinan dalam organisasi.
Derajat pengaruh yang dihasilkan melalui kekuasaan legitimasi dibatasi oleh jangkauan yang diakui kewenangan sebagai wilayah tugas kepemimpinannya. Artinya adalah, bahwa seorang pemimpin itu memiliki rentang perintah yang pantas dibuat dan rentang tindakan yang dapat diambil melalui penyesuaian dengan kewenangan yang dimungkinkan oleh organisasinya. Raitz (1977) memberi beberapa contoh pertanyaan yang dapat diajukan mengenai jangkauan kewenangan seorang pemimpin sebagai berikut :
"Seorang eksekutif dengan tepat dapat mengharapkan seorang penyelia akan bekerja keras dan rajin; dapatkah ia juga mempengaruhi penyelia tersebut untuk memata-matai para pesaing, berakhir pekan (week ends) jauh dari rumah, bergabung dengan sebuah kelompok yang sering bertemu (encounter group) ? Seorang coach dengan tepat dapat mengharapkan bahwa para pemainnya akan melaksanakan permainan tertentu; dapatkah ia juga mengatur gaya hidup mereka di luar olah raga ? Seorang perwira tempur dengan tepat dapat mengharapkan anak buahnya akan menyerang atas perintah; dapatkah ia juga memerintahkan mereka untuk menembak mati orang-orang sipil yang ia katakan sebagai mata-mata ? Seorang dokter dengan tepat dapat menyuruh seorang perawat untuk merawat seorang pasien atau mengawasi suatu otopsi; dapatkah ia juga memerintahkan kepadanya untuk membantu dalam sebuah aborsi yang bertentangan dengan keinginannya ?"
Derajat kepatuhan yang dihasilkan oleh elite yang memimpin dalam mempengaruhi massa bawahannya juga dipengaruhi oleh prosedur-prosedur atau serangkaian proses yang menjadikannya sebagai elite. Jika seseorang elite ditentukan posisi kepemimpinannya dalam organisasi melalui prosedur yang menyimpang dari prosedur yang dianggap sah oleh bawahan yang menjadi anggota organisasinya, maka kekuasaan legitimasi yang dimilikinya lemah begitu juga kekuatan pengaruh kepemimpinannya, demikan juga sebaliknya,
Expert Power (Kekuasaan Ahli). Sumber utama kekuasaan ini adalah keahlian di dalam pemecahan masalah dan melaksanakan berbagai tugas atau aktivitas yang berkaitan dengan masalah itu sendiri. Seseorang pemimpin yang memiliki kekuasaan keahlian cenderung sebagai seseorang tempat dimana orang lain atau bawahannya mendapatkan petunjuk dan memperoleh nasihat, sehingga semakin orang lain tergantung kepadanya maka semakin tinggi kekuasaan keahliannya. Ketergantungan ini akan semakin bertambah bila bawahan atau orang lain tidak mudah mendapatkan sumber lain untuk memperoleh nasihat dan informasi. Tingkat kepercayaan bawahan terhadap elite sebagai sumber informasi yang tepat sesuai masalahnya akan menimbulkan kepatuhan untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang diinginkan pemimpin tersebut yang kadangkala bahkan tanpa penjelasan apapun.
Pemimpin yang memiliki kekuasaan keahlian selalu memiliki argumentasi logis dan memperlihatkan bukti yang dapat dipercaya bawahannya tentang sesuatu bidang masalah yang sedang dihadapi. Pengetahuan khusus dan ketrampilan teknis sehubungan dengan masalah yang memerlukan penyelesaian dalam kelompok ini hanya akan tetap menjadi sumber kekuasaan selama terdapat ketergantungan dari orang lain. Pada saat masalah telah terselesaikan secara permanen melalui keahlian pemimpin atau melalui belajar bagaimana memecahkannya sendiri, maka anggota kelompok atau bawahannya akan menganggap bahwa keahlian itu sudah tidak berharga dan dengan demikian kekuasaan keahlian yang dimiliki oleh pemimpin tersebut menjadi berkurang.
Sehubungan dengan hal itu, maka seringkali terlihat, pemimpin yang ingin mempertahankan kekuasaan ini kadang-kadang berusaha menyimpan secara tertutup dan rahasia berbagai informasi tentang prosedur dan teknik agar masalah tersebut kelihatannya lebih kompleks, rumit, dan misterius yang sulit terselesaikan tanpa keterlibatan elite bersangkutan. Berbagai manual, diagram, blueprints, berbagai program komputer dihancurkan atau setidaknya disembunyikan untuk mempertahankan kekuasaan keahliannya.
Pemertahanan kekuasaan melalui cara ini dengan demikian memiliki batas waktu yang jangkanya ditentukan kesediaan seseorang pemimpin membagikan atau mengajarkan keahlian kepada bawahannya, atau ditentukan juga oleh proses belajar bawahan yang secara mandiri, tidak tergantung pemimpinnya, memahami berbagai konsep dan teknik operasional bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Cara lain mempertahankan kekuasaan keahlian ini sebenarnya dapat melalui suatu proses pendidikan dan pengalaman praktis yang berkelanjutan. Misalnya, penting untuk tetap mengetahui perkembangan-perkembangan sehubungan dengan area keahliannya dengan mengikuti berbagai seminar, lokakarya, serta membaca publikasi-publikasi teknik yang ditunjukkan bukti mengenai keahlian ini melalui ijasah, sertifikat atau penghargaan-penghargaan lain kepada orang lain atau bawahannya.
Selain kedua cara di atas, ada cara lain lagi untuk mempertahankan kekuasaan keahlian ini, yakni dengan sengaja menciptakan krisis terbuka yang tujuannya hanya memperlihatkan kemampuan menyelesaikan. Pemimpin yang memiliki kekuasaan keahlian ini dengan sengaja mendemonstrasikan keahlian sehingga bawahannya tetap menganggap bahwa pemimpin tersebut masih harus dipatuhi karena ia masih menjadi sumber informasi pengetahuan dan ketrampilan teknis untuk penyelesaian suatu masalah.
Counterpower kekuasaan keahlian ini biasanya gampang muncul pada pemimpin dalam organisasi yang sangat birokratis. Di dalam organisasi ini peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman kerja memberi peluang alasan bagi bawahan untuk menghindari tugas yang dibebankan oleh pemimpinnya yang kadang menempatkan faktor efisiensi dalam menyelesaikan tugas menjadi pertimbangan utama berdasarkan ketrampilan yang dimilikinya. Seorang pemimpin baru biasanya untuk waktu tertentu justru tergantung kepada bawahannya agar memperoleh pedoman mengenai prosedur-prosedur standar berdasarkan aturan-aturan organisasinya.
Referent Power (Kekuasaan Referensi). Orang biasanya bersedia melakukan sesuatu untuk orang lain karena orang lain itu sangat mereka kagumi, orang lain yang demikian biasanya disebut memiliki kekuasaan referensi. Orang cenderung meniru perilaku seseorang dengan siapa mereka mengidentifikasikan dirinya. Kekaguman dan kesenangan pada daya tarik yang muncul dari kepribadian yang jujur, konsisten, perilaku yang taat pada berbagai aturan (agama, norma, undang-undang), sederhana gaya hidup dan tutur katanya serta tidak terlalu memikirkan diri sendiri akan menjadikan seseorang dari kelompok elite memiliki referent power yang tinggi. Seorang pemimpin yang dikagumi dan disenangi sangat mungkin memiliki daya pengaruh yang tinggi terhadap massanya sehingga akan menunjang efektifitas kepemimpinan sosialnya. Sambaran-sambaran psikologis dalam setiap berinteraksi dengan massa melalui tindakan yang bersahabat dan penuh perhatian pada kehidupan pribadi,, memperlakukan bawahan dengan jujur dan tidak manipulatif serta menaruh rasa percaya dan hormat pada orang lain, adalah merupakan daya tarik perilaku yang akan menimbulkan kesenangan massa dan bahkan menjadi teladan bagi perilakunya.
Daya tarik seseorang pemimpin yang kuat terhadap bawahannya bisa menjadikan pemimpin tersebut memiliki kharisma yang pengaruhnya demikian kuat menimbulkan kesetiaan yang dapat diperlihatkan melalui kerelaannya melakukan pembelaan pada saat elite bersangkutan menerima kritik atau bahkan serangan fisik. Cara bicara yang dramatis dan persuasif terintegrasikan dalam tarikan emosional pada daya tarik pribadi akan menjadikannya kharismatik.
Weber mendefinisikan kharisma sebagai suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa. Menurut Weber, kharisma terjadi pada suatu krisis, yang pada krisis itu, seorang pemimpin dengan kemampuan pribadi yang luar bisa tampil dengan sebuah visi yang radikal yang memberi suatu pemecahan terhadap krisis tersebut, dan pemimpin itu menarik perhatian bawahan yang percaya pada visi serta merasakan bahwa pemimpin tersebut sangat luar biasa. Kharisma muncul dalam interaksi pemimpin dan orang-orang yang dipimpin ketika pemimpin memiliki daya pengaruh yang luar biasa terhadap massa. Charisma, like leadership, exist only in a relationship between leaders and followers; it cannot exist endependently of followers. (Locke 1991)
Perpaduan antara perasaan senang, kekaguman bawahan terhadap pemimpin, dan pemahaman bawahan bahwa pemimpinnya memiliki sifat unggul yang cenderung bernuansa karunia illahiah, akan mempertinggi kekuasaan referensi ini. Kadangkala kekuasaan ini akan melahirkan 'kepatuhan buta' yang membahayakan rasionalitas hubungan pemimpin dan yang dipimpin karena yang dipimpin menerima keyakinan-keyakinan sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Bawahan tunduk dengan senang hati dan terlibat secara emosional dalam setiap misi pemimpinnya, yang kesemuanya ini seringkali menutup pilihan rasional bawahan dalam menentukan perilakunya sendiri.
Karena referent power ini sumbernya dari keunggulan pribadi seseorang pemimpin maka kekuasaan ini akan hilang jika perilaku pemimpin mengarah secara berlawanan dengan sifat-sifat unggul tadi. Bertindak secara arogan, tidak bersahabat, dan bawahan mendapati adanya berbagai tindakan pemimpin yang tidak jujur atau manipulatif artinya bahwa perilaku unggul itu selama ini ternyata semu dan hanya merupakan tindakan simbolik hasil memanipulasi situasi saja, maka referent power itu besar kemungkinannya akan segera hilang.
Reward Power (Kekuasaan ganjaran). Kekuasaan ini bersumber pada kemampuan seseorang untuk menyediakan ganjaran atau penghargaan bagi orang lain (Thoha 1990). Pengaruh potensial yang didasarkan atas kemampuan seseorang pemimpin dalam menyediakan kompensasi positif bagi suatu kepatuhan yang bisa ditunjukkan oleh anggota kelompok menimbulkan kekuatan pengaruh bagi pemimpin untuk mengendalikan kelompok atau organisasinya.
Kebanyakan pemimpin yang memimpin sesebuah organisasi memiliki kewenangan untuk menaikkan gaji, memberi bonus, atau insentif-insentif ekonomis lainnya kepada bawahan. Pemimpin juga mempunyai kewenangan untuk mempromosikan, menempatkan bawahan pada pekerjaan yang lebih baik, memberi pengakuan formal pada keberhasilan, memberi bawahan lebih banyak kewenangan dan tanggung jawab, atau memberi simbol status dengan mengijinkan bawahan menempati kantor yang lebih besar. Kewenangan ini tentu akan dipahami bawahan atau massa sebagai sesuatu yang dapat membendung keinginan untuk bertindak yang tidak sesuai keinginan pemimpinnya. Bawahan menempatkan kekuasaan ganjaran yang dimiliki oleh pemimpinnya bahkan sebagai motivasi untuk kemajuan karirnya.
Information Power (Kekuasaan Informasi). Kekuasaan ini menimbulkan ketergantungan seseorang kepada orang lain karena orang lain tersebut memiliki akses informasi yang penting dan kontrol terhadap penyebarannya.
Seseorang pemimpin meningkatkan kekuasaan informasi ini melalui upaya menjadikan dirinya sebagai satu-satunya orang yang mengetahui apa yang telah dan sedang terjadi. Aktivitas mengumpulkan informasi, menyimpan, menganalisis berbagai informasi yang bermanfaat bagi kelangsungan kelompok atau organisasinya harus merupakan bagian dari aktivitas kepemimpinan dalam kelompoknya, karena hasil dari aktivitas ini akan menjadi kekuatan pemimpin dalam mempengaruhi persepsi serta sikap bawahannya. Pemimpin dalam hal ini harus cakap mengelola berbagai informasi yang dimilikinya, artinya adalah bahwa pemimpin tersebut tidak boleh cukup puas dengan kumpulan informasinya tetapi juga mengkontrol penyebarannya.
Kontrol terhadap akses informasi memungkinkan seseorang pemimpin menutupi beberapa kegagalan dan kesalahan yang jika tidak dikendalikan penyebarannya akan dapat merusak reputasi. Informasi di dalam organisasi akan mudah sekali tersebar jika tidak dikelola secara tepat. Ada informasi yang memang memerlukan penyebaran cepat dan mengenai semua orang di dalam kelompok atau organisasi, namun ada juga informasi penting yang persebarannya menghendaki seleksi terhadap siapa yang seharusnya dan tidak seharusnya dikenai informasi tersebut. Jika beberapa informasi tertentu yang penting mengenai orang-orang yang tidak semestinya, maka akan memperpanjang proses bagi pemimpin dalam pengambilan keputusan, karena paling tidak seseorang pemimpin perlu memberi penjelasan tambahan yang memadai agar informasi yang ada tidak mengalami distorsi dan menimbulkan persepsi massa secara tidak semestinya. Jadi, pada dasarnya memang seorang pemimpin itu keberhasilannya juga dipengaruhi oleh kemampuannya untuk me-manage berbagai informasi dalam organisasinya.
Seseorang pemimpin berusaha menambah ketergantungan massa kepada dirinya dengan cara menyimpan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, membuat perencanaan dan berbagai keputusan strategis. Jadi sebenarnya pemerlakuan informasi seperti dijelaskan di atas, kecuali dapat meningkatkan kekuasaan informasi juga dapat mempertinggi expert power sehingga individu elite tersebut tetap memiliki kelebihan keahlian dibanding kelompok massanya.
Jika akses eksklusif terhadap informasi ini dapat dimiliki oleh elite, maka sebenarnya hal yang sama juga dapat terjadi pada massa. Pada saat bawahan memiliki informasi yang eksklusif dan berpengaruh terhadap suatu keputusan yang hendak diambil oleh pemimpin, maka keunggulan ini dapat menjadi counterpower bagi kekuasaan informasi. Bawahan dengan keunggulan ini akan menjadi sumber pengaruh bagi keputusan pemimpin yang perlahan-lahan akan memaksa pemimpin untuk melibatkannya dalam proses pengambilan keputusan, dan jika ini terjadi maka kekuasaan informasi yang dimiliki pemimpin akan menjadi lemah atau bahkan lenyap.
Connection Power (Kekuasaan Hubungan). Seseorang pemimpin yang tinggi Connection Powernya ditandai oleh adanya hubungan pemimpin tersebut dengan orang-orang penting yang berpengaruh di dalam dan atau di luar organisasinya. Kepatuhan yang didapat timbul karena orang lain atau bawahan ingin mendapatkan harapannya dari koneksi yang dimiliki oleh pemimpinnya.
Perkembangan kelompok atau organisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat persaingan, kemajuan teknologi, dan dinamika lingkungannya. Seseorang pemimpin yang efektif, sehubungan dengan itu, akan menjadi seseorang yang aktif mengikuti segala perubahan yang terjadi. Sikap tanggap pada setiap perubahan yang ada di dalam maupun yang terjadi di luar organisasinya menjadi acuan penting bagi setiap keputusan yang hendak diambil. Terbentuknya sikap tanggap ini disaranai oleh seberapa mampu pemimpin itu menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang berpengaruh dari dalam dan luar organisasinya yang pihak-pihak tersebut akan sekaligus memberinya akses untuk merespon setiap perubahan. Hal inilah yang menjadi awal hubungan seseorang pemimpin dengan beberapa pihak lain yang olehnya kemudian dikembangkan hingga menjadi kekuatan sebagai sumber kekuasaan yang dapat menimbulkan kepatuhan dari anggota kelompoknya. Anggota kelompok menjadi tergantung kepada pemimpinnya ketika ia mendapati bahwa pemimpin tersebut mempunyai jalinan hubungan yang luas dengan berbagai pihak yang memiliki pengaruh terhadap pencapaian harapan-harapannya.
Kepemimpinan versus Manajemen
Kepemimpinan dan manajemen adalah dua bidang kajian yang berbeda dalam sejumlah hal. Perdebatan terkait dua fokus kajian ini terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa peneliti besar semisal Bennis & Nanus (1985) serta Zaleznik (1977) berpendapat bahwa kepemimpinan dan manajemen adalah bebeda secara kualitatif dan saling meniadakan. Zaleznik dalam bukunya berjudul The Managerial Mystique : Restoring Leadership in Business, menuliskan bahwa kepemimpinan berhubungan dengan upaya substansial mendasar untuk mengatasi dan mentransformasikan sejumlah kondisi, daripada sekedar bereaksi dan menyesuaikan diri secara superfisial sebagaimana dilakukan oleh manajemen. Dengan ungkapan lain, kepemimpinan bergulat dengan substansi, sementara manajemen mengelola proses ke dalam sejumlah prosedur dan struktur yang teratur. Kriteria tindakan seorang pemimpin adalah efektivitas, semenatara manajer menganggap penting stabilitas.
Sementara manajer menganggap penting bagaimana keputusan dibuat dan dikomunikasikan dengan bawahan, pemimpin mementingkan keputusan apa yang harus dibuat dan apa yang dikomunikasikan dengan cara bagaimana. Dengan demikian maka tidaklah aneh jika kemudian pemimpin tampil sebagai orang yang berani mengambil resiko dibandingkan seorang manajer.
Para manajer adalah orang-orang yang praktis, pekerja keras dan analitis serta cenderung mengatasi persoalan secara pragmatis. Sebaliknya pemimpin memiliki gaya yang lebih dramatis dan kadang perilakunya tak terduga. Para pemimpin mengatasi konflik dengan otoritas yang bersumber dari daya pengaruhnya atau kekuasaannya sedang manajer lebih bertumpu pada wewenang sebagaimana kedudukannya dalam organisasi.
Para pemimpin menggerakkan anggota kelompok dengan cara mempengaruhinya untuk mau melakukan kegiatan sesuai tujuan kelompok, sementara manajemen memerintah bawahan untuk mengerjakan pekerjaan organisasinya.
Manajemen berhubungan dengan cara mengatasi kompleksitas organisasi meliputi pelaksanaan beberapa prosedur dan praktik-praktik kegiatan untuk mengikuti perkembangan lingkungannya. Tanpa manajemen yang baik sesuatu organisasi sangat mungkin berkembang di luar kendali. Sedangkan kepemimpinan lebih berhubungan dengan cara mengatasi perubahan yang terjadi pada lingkungannya. Segala macam perubahan menyangkut sejumlah aspek menuntut kepemimpinan mengcreate kebijakan untuk mengatasi perubahan itu.
Fungsi terakhir manajemen adalah memastikan pencapaian rencana dengan pengendalian dan memonitor sejumlah hasil untuk dibanding-bandingkan serta mengidentifikasi penyimpangan- penyimpangan sebagai acuan bagi pembuatan rencana selanjutnya. Tetapi bagi pemimpin, mencapai suatu visi membutuhkan pemberian motivasi dan inspirasi agar anggota kelompok terus berada pada arah yang benar meski banyak halangan mengganjal, dengan terus meng-appeal kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan emosi-emosi manusiawi.
Beberapa perbedaan yang paling ekstrim melibatkan asumsi bahwa manajemen dan kepemimpinan tidak mungkin terjadi pada satu orang yang sama. Dengan lain perkataan, beberapa orang adalah manajer dan orang lainnya adalah pemimpin. Pernyataan ini memang masih mudah mengundang perdebatan sekalipun mengandung kebenaran karena di dalam kolektivitas manusia, terlepas dari apakah kolektivitas itu berupa kelompok atau organisasi, seseorang dapat saja berperan sebagai manajer disuatu waktu dan untuk situasi tertentu, tetapi dapat juga sebagai pemimpin untuk situasi yang lain.
Usaha melacak perbedaan kepemimpinan dan manajemen memang akan segera menuai hasil. Kepemimpinan memang berbeda dengan manajemen, meski perbedaannya tidak sebagaimana dikira orang. Kepemimpinan dan manajemen bersifat saling melengkapi. Keduanya diperlukan untuk kolektivitas manusia yang memiliki sasaran tertentu.
Langganan:
Postingan (Atom)