INTERAKSI SOSIAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Dunia pengalaman sehari-hari, sebagaimana yang sering disebut
sebagai dunia kehidupan sosial adalah dunia yang bergerak, konkret dan padat
dengan pengalaman-pengalaman unik yang berasal dari pengalaman individual yang
bersifat pribadi, dan dari dunia tempat manusia lahir, hidup, mati, serta dunia
tempat manusia mencintai, membenci, kalah dan menang, berharap dan putus asa.
Sebagaimana sering disebut dalam perkuliahan Sosiologi Pendidikan bahwa
pendidikan pada prinsipnya adalah proses mengubah pengalaman, maka tentu
menjadi wajar jika dikatakan bahwa praktek pendidikan adalah juga praktek interaksi
sosial. Mengapa interaksi sosial ? Tulisan berikut ini semoga menyediakan
informasi yang bermanfaat terkait jawaban atas pertanyaan dengan cara bagaimana
interaksi sosial itu dapat mengubah pengalaman dalam dunia pendidikan.
Interaksi Sosial
Secara sederhana, interaksi sosial
dapat diartikan sebagai pertukaran makna dalam hubungan sosial yang terjadi
antar individu. Dalam tradisi Weberian, makna dalam kaitan ini adalah sesuatu
yang bernilai bagi orang lain. Interaksi sosial dengan demikian terjadi di
lingkungan sosial individu manusia. Lingkungan sosial dalam pengertian ini
adalah lingkungan masyarakat yang
terdiri dari sekumpulan individu mengingat kebutuhan interaksi ini sebagai hal
alamiah sebagai perwujudan karakter manusia sebagai makhluk sosial. Dengan
demikian maka sebenarnya interaksi sosial memiliki pengertian yang sangat luas
menyangkut segala macam peristiwa dimana beberapa individu terlibat di
dalamnya. Yang jelas interaksi tersebut terjadi dalam kelompok atau dalam
masyarakat.
Interaksi sosial dapat terjadi
secara langsung, begitu juga dapat terjadi secara tidak langsung. Dalam
interaksi langsung, antar individu terlibat tindakan saling memberi dan
menerima dalam suasana dyadic partnership (kelompok duaan). Masing-masing
individu saling memberi dengan dasar pertimbangan individual yang bersifat
pribadi. Hubungan yang terjadi dalam hal ini bersifat timbal balik. Bahkan,
sering terdapat suatu keterlibatan emosional yang mendalam pada kedua belah
pihak terhadap satu dengan yang lain. Sistem sosial yang di dasarkan pada
interaksi sosial langsung ini cenderung menghasilkan struktur sosial yang
bersifat segmental. Masing-masing kelompok duaan ini hanya menikmati integrasi
sosial untuk sekedar cukup bagi dirinya sendiri saja dan cenderung sulit
mengintegrasikan secara sosial pada kelompok yang lebih besar dan menyeluruh.
Berlawanan dengan interaksi
langsung, interaksi sosial tidak langsung dapat menyumbang integrasi dan
solidaritas kelompok yang lebih besar dengan cara yang lebih efektif. Ia dapat
menghasilkan suatu tingkat integrasi sosial yang lebih besar daripada yang
dihasilkan oleh interaksi sosial secara langsung. Tegasnya, semua individu
dalam suatu masyarakat akan terjalin semua atau terhubungkan oleh interaksi
sosial tak langsung ini. Interaksi jenis ini dapat saja memakai sarana
penghubung sebagaimana media, namun dapat juga berlangsung tanpa disaranai
saluran media.
Sekalipun dapat dirinci sejumlah
tujuan dari interaksi sosial sebagaimana yang akan diuraikan setelah ini, sebenarnya tujuan utama dari proses
interaksi sosial ini adalah untuk memungkinkan individu-individu yang terlibat
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individualistiknya. Interaksi sosiallah
yang menjaga keteraturan dalam masyarakat dan bahkan dapat merekonstruksi
masyarakat, tak terkecuali dunia pendidikan.
Uraian panjang tentang interaksi
sosial tentu masih memerlukan pelengkapan dengan menguraikan jawaban dari
pertanyaan, mengapa itu terjadi ? Jawaban sederhana dan benar tetapi jauh dari
memadai dan cenderung menyesatkan adalah ketika dikatakan bahwa interaksi itu
memang seharusnya terjadi sebagai implikasi praktis dalil bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Jawaban akademik yang dapat dimunculkan terkait pertanyaan
tersebut adalah adanya sejumlah sebab sebagaimana yang akan diuraikan secara
rinci berikut ini.
1. Identifikasi
Indentifikasi adalah proses ketika
seseorang individu terdorong untuk mempersamakan dirinya dengan seseorang
individu lain yang dikenalnya. Identifikasi juga dapat diartikan sebagai
dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. Misalnya, seorang murid
yang terdorong untuk identik dengan gurunya dari sisi lahir juga sekaligus
batin. Maksudnya, murid memiliki kecenderungan mengambil alih sikap-sikap dan
tingkah laku gurunya sesuai kemampuan yang ada dalam anak tersebut.
Proses ini sangat personal dan
cenderung berawal dari ketidaksadaran. Ketidaksadaran dalam kaitan ini artinya
adalah bahwa proses itu berlangsung tanpa direncanakan, terjadi dengan
sendirinya di luar kontrol kognitif. Kesadaran yang kemudian muncul barulah
sekedar perasaan meng'alam'i dan cenderung irasional, hanya berdasarkan
perasaan adanya sesuatu yang muncul dalam kesadaran seseorang. Ketika kesadaran
itu meningkat, maka muncullah kebutuhan untuk melengkapi proses identifikasi
tersebut dengan pengadopsian sistem norma, nilai, cita-cita, serta tingkah laku
dari orang lain yang diinginkan untuk disamainya tersebut.
Ada proses sosial dalam peristiwa
identifikasi ketika proses ini berlangsung dengan keterlibatan orang lain.
Berangsur-angsur, akumulasi atas hasil proses identifikasi ini akan membentuk
identitas sosial, yakni 'definisi diri' dalam pengertian keanggotaan seseorang
dalam kelompok sosial. Konsepsi tentang 'diri' bisa dicontohkan individu siswa
akan menghayati ke-diri-annya dari sudut pandang kelompok sosial secara
keseluruhan dari mana ia berasal. Dalam pengertian ini maka sebenarnya identifikasi
tersebut akan menghasilkan identifikasi personal juga sosial.
Kehendak untuk mengidentifikasikan
secara personal dirinya dengan orang lain dan kemudian memungkinkan munculnya
identitas sosial inilah yang mengakibatkan masing-masing individu terlibat
dalam interaksi sosial. Secara personal, identifikasi dilakukan oleh seseorang
yang melihat orang lain memiliki keunggulan ideal dalam satu atau sejumlah segi
yang tidak dimilikinya. Sebagai kekurangan, sesuatu yang belum dimilikinya
tersebut dapat diperoleh dengan berusaha mengidentikkan diri dengan orang lain,
terutama dari segi-segi tertentu yang dia anggap sebagai keunggulan yang layak
dimilikinya. Usaha identifikasi ini berlangsung baik disadari maupun
sebaliknya.
Identifikasi juga terjadi jika
individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap kelompok lain
dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk
hubungan yang menyenangkan dengan pihak lain tersebut. Dalam hal demikian, maka
identifikasi menjadi sarana dan cara memelihara hubungan baik sebagaimana
keinginannya.
Pada anak-anak dan orang berusia sekolah
proses identifikasi sikap dan perilaku ini tampak lebih jelas daripada yang
terjadi pada orang dewasa atau tua. Dengan mudah kita dapat mengamati adanya peniruan
sikap dari model yang diidolakan.
Identifikasi tidak selalu berarti
meniru sikap serupa, tetapi dapat juga berarti mengambil sikap yang
diperkirakan akan disetujui pihak lain yang sikapnya atau perilakunya diambil.
Misalnya, seorang siswa berikap dan bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan
oleh gurunya dengan maksud agar terpelihara hubungan baik dengan guru yang
tentu guru tersebut memiliki harapan tertentu pada diri siswa yang
bersangkutan.
Bentuk identifikasi yang lain adalah
yang terjadi ketika individu bermaksud memelihara hubungan dengan kelompok yang
kebetulan kelompok tersebut berharap pada individu untuk bersikap yang sama.
Individu bersikap sesuai harapan kelompok dan sesuai dengan peranannya dalam
hubungan sosial dalam kelompok tersebut. Contohnya, seorang siswa akan bersikap
sebagaimana layaknya sikap siswa lain di suatu sekolah.
Dengan demikian maka, sebenarnya
identifikasi dalam proses sosial itu tidak selalu sesuai dan memuaskan bagi
individu yang bersangkutan, tetapi pada sebagaian kasus, identifikasi
berlangsung atas kepentingan atau kepuasan pihak lain. Kepuasan ini berkaitan
dengan situasi tertentu tempat individu berada dan menjalankan perannya.
Sebagai contoh lagi, adalah seorang siswa yang bersikap sebagaimana sikap siswa
lain di sekolahnya, tetapi ketika pulang ia mengidentifikasi sikap anak saat
berinteraksi dengan oraang tuanya. Ini terjadi karena individu diharapkan
mengidentifikasikan dirinya pada dua situasi yang berbeda.
2. Imitasi
Imitasi adalah proses peniruan identitas
dari orang yang tidak dikenal. Dunia kehidupan sosial sebenarnya dipenuhi oleh
tindakan-tindakan imitasi saja. Tindakan mengimitasi adalah tindakan mengambil
alih 'sesuatu' dari orang lain yang tidak dikenal. Jika identifikasi diambil
dari orang lain yang dikenal, imitasi mengambil dari orang yang tidak dikenal.
Interaksi sosial terjadi karena
hasrat imitasi dari individu-individu dalam kelompok. Adakalanya hasrat itu
muncul ketika melihat seseorang yang tidak dikenalnya memiliki sesuatu atau cara
bertindak yang dipandang layak untuk ditiru. Ketika muncul hasrat ini maka
seseorang terdorong untuk mendekati seseorang yang lain dalam suatu interaksi
sosial yang memungkinkannya terjadi tindakan imitasi tersebut.
Dalam hal berkomunikasi, seseorang
individu sejak masa kanak-kanak hingga dewasa juga dipenuhi kegiatan imitasi.
Seseorang yang ingin diterima menjadi anggota suatu kelompok yang sebelumnya
sama sekali tidak dikenalnya, cenderung untuk mengimitasi sejumlah tindakan
terkait cara atau model berkomunikasi. Cara berbicara, bersikap, terkait etika
berkomunikasi juga menjadi perhatian seseorang untuk mengimitasi dari kelompok
baru yang ingin dimasuki agar kelompok baru tersebut mau menerimanya sebagai
anggota.
Banyak lagi contoh lain yang dapat
menguatkan pernyataan yang mengatakan bahwa hampir sepanjang sejarah hidup
manusia selalu diwarnai oleh proses imitasi ini. Cara berpakaian, cara makan,
mengerjakan sesuatu di kantor, cara menyanyi, praktek keberagamaan, dan
lain-lain dilakukan oleh manusia dengan terlebih dahulu mengimitasinya dari
orang lain. Proses ini terjadi dalam interaksi sosial di dunia kehidupan sosial
yang berlangsung terus menerus dari masa lalu, masa kini hingga masa yang akan
datang. Pertanyaan sederhana yang mungkin muncul kemudian adalah apakah imitasi
yang menjadi penyebab munculnya interaksi sosial, ataukah interaksi sosial yang
menjadikan proses imitasi berlangsung ?
Sepintas tampak sebagaimana telur
dan ayam. Tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa pengertian imitasi adalah peniruan
dari orang yang tidak dikenal sehingga sebenarnya interaksi sosial muncul
sebagai akibat maksud imitasi. Karena seseorang ingin mengimitasi tindakan
seseorang, maka agar proses imitasi tersebut berlangsung lancar kecenderungan
logisnya adalah ia harus berinteraksi dengan yang hendak diimitasi. Itulah
sebabnya, imitasi menjadi salah satu penyebab adanya interaksi sosial.
Imitasi juga mengandung hal yang
negatif. Mungkin saja hal yang diimitasi itu salah sehingga perjalanan
kesalahan yang pada awalnya terlokalisasi di wilayah individu berangsur-angsur
terakumulasi menjadi kesalahan kolektif yang meliputi jumlah individu yang
banyak. Bisa jadi juga proses imitasi berlangsung tanpa pertimbangan logis,
tanpa pertimbangan akal pikiran yang memadai. Kebiasaan seperti ini menghambat
tumbuhnya berpikir kritis.
3. Sugesti
Sugesti adalah keadaan ketika tanpa
sadar seseorang meniru tindakan orang lain. Peniruan ini cenderung dilakukan
dengan perasaan senang. Dengan mengambil identitas orang yang ditiru orang yang
terkena sugesti tersebut merasa telah menyamai yang ditiru.
Sugesti tidak saja mengenai orang
kepada orang. secara langsung. Adakalanya, kita menjadi sugestifel (mudah
terkena sugesti) ketika aspek inderawi kita menerima stimulus dari sosok yang
kita kagumi. Menonton film karate dengan bintang yang kita kagumi, misalnya,
keluar gedung bioskop tanpa kita sadari cara berjalan kita meniru aktor karate
tersebut. Begitu juga kalau kita sedang menonton pertunjukkan musik dari grup
yang kita kagumi, secara tak sadar sebagian tindakan kita menjadi mirip dengan
tindakan anggota grup musik tersebut.
Dalam sugesti yang demikian ini
selalu ada unsur kekaguman. Seseorang terhindar dari sugesti jika tidak
mengagumi. Kekaguman ini terkait dengan tindakan atau perilaku, bukan
atribut-atribut sosial. Kita mengagumi kyai, tetapi bukan atribut sosial
kyainya yang membuat kita sugestifel, tindakan dan perilaku kyai sebagai orang
yang kita kagumilah yang membuat kita tanpa sadar meniru kyai.
Sugesti muncul dalam interaksi
sosial juga muncul dari dalam diri sendiri. Interaksi sosial memungkinkan
terjadinya sugesti. Sugesti diterima dari orang lain tanpa adanya daya kritis
dan sejumlah besarnya diterima tanpa sadar. Tentang sugesti yang diterima dari
orang lain ini lazim disebut hetero-sugesti. Sedangkan sugesti yang datang dari
dalam dirinya sendiri disebut auto-sugesti. Contohnya, sering kita merasa belum
sembuh dari sakit hanya karena kita belum bersentuhan dengan dokter, padahal
kita sudah sehat. Dunia kehidupan sosial kita, termasuk dunia pendidikan, dipenuhi
oleh penerimaan individu terhadap pedoman-pedoman hidup, norma, pandangan, dan
lain sebagainya tanpa adanya daya kritik terlebih dahulu. Inti daripada sugesti ialah didesakkannya suatu keyakinan kepada
seseorang yang olehnya diterima mentah-mentah tanpa pertimbangan akal.
Menyugesti orang berarti mempengaruhi proses kejiwaan orang lain sehingga orang
lain tersebut mengikuti dan berbuat sebagaimana yang dikehendaki oleh orang
yang menyugesti.
Orang yang memiliki kekuatan
pengaruh cukup besar untuk dapat menyugesti orang lain disebut sugestif.
Sedangkan orang yang berkemungkinan mudah menerima sigesti adalah sigestifel.
Orang-orang sugestifel adalah orang-orang yang memiliki sifat mudah
dipengaruhi. Ia tergolong orang yang tidak menyertekan
pertimbangan-pertimbangan rasionalitas dalam setiap keputusan yang dibuatnya.
Setidaknya terdapat lima syarat yang harus
dipenuhi terkait dengan terjadinya sugesti, yakni adanya hambatan berpikir,
dissosiasi, otoritas, mayoritas, keraguan.
a. Hambatan Berpikir
Orang yang mengalami keadaan
kejiwaan yang ditandai adanya hambatan dalam berpikir selalu merupakan orang
yang mudah dikenai sugesti. Orang yang mengalami hambatan berpikir adalah orang
yang sulit berpikir kritis. Segala sesuatu diterima sebagaimana penerimaannya
yang tanpa mempertimbangkan sisi rasionalitasnya. Itulah sebabnya maka bagi
yang memiliki daya kritis, artinya orang tersebut tidak mengalami gangguan
berpikir maka cenderung sulit dikenai sugesti. Makin kurang daya kritiknya,
makin mudah orang terkena sugesti.
Keadaan batin yang lelah biasanya
juga cenderung menghambat pikiran. Kelelahan karena telah berjam-jam terlibat
dalam diskusi politik yang seru, akan menghalangi bekerjanya pikiran secara
memadai. Hambatan emosional ini tentu akan memperlambat daya kritiknya terhadap
stimulus yang hadir dalam kesadarannya. Dalam hal seperti ini, orang yang
bersangkutan sangat mungkin mudah menerima sugesti.
b. Dissosiasi
Keadaan pikiran yang terpecah belah
(dissisiasi) cenderung memudahkan seseorang menerima sugesti. Kebingungan
menghadapi bermacam-macam persoalan dan merasa sulit untuk berpikir secara
fokus, mengakibatkan orang tersebut mudah menerima apapun yang dikatakan orang
lain. Secara psikologis setiap orang ingin segera mengakhiri kebingungannya
dengan membuat keputusan dengan segera. Tuntutan pembuatan keputusan secara
segera inilah yang memperkecil ruang rasionalitas untuk berkerja optimal.
Kecenderungannya adalah, kecilnya ruang operasi rasionalitas inilah yang menjadikan
seseorang tersebut mudah menerima sugesti.
Tanpa berpikir panjang tentang apa
yang dikatakan oleh orang lain kepadanya, ia segera mengikuti apa yang
dikatakan orang lain tersebut hanya karena seseorang cenderung ingin segera
mengakhiri pikiran yang terpecah belah. Ketika seseorang atau sekelompok orang
mengalami kebingungan karena keadaan pikiran yang terpecah belah, maka inilah
surga bagi orang yang ingin menyugesti untuk mendesakkan keinginannya.
c. Otoritas
Dalam bahasa kepemimpinan, otoritas
ini adalah sumber kekuasaan legitimasi, yakni sumberdaya yang dimiliki oleh
seseorang pemimpin karena posisinya dalam organisasi. Orang yang memiliki
otoritas yang legal dalam kelompoknya sangat mungkin mendapatkan kepatuhan dari
orang lain. Seseorang yang memiliki otoritas berkecenderungan mendapatkan
kepatuhan dari orang lain terutama orang-orang dalam wilayah otoritasnya.
Setiap kata-kata dan tindakannya dipercaya sebagai sesuatu yang benar dan layak
ditiru untuk dikerjakan.
Seseorang yang berada di wilayah
otoritas orang lain cenderung mudah menerima sugesti orang lain tersebut.
Seorang murid cenderung mudah menerima sugesti dari gurunya daripada seorang
yang bukan murid. Hal ini dimungkinkan karena murid berada di wilayah otoritas
guru. Seseorang staf dibagian keuangan suatu kantor pemerintahan akan cenderung
mudah disugesti oleh kepala bagiannya karena staf tersebut berada di bawah
otoritas kepala bagiannya.
d. Mayoritas
Ketika seseorang berada dalam
situasi sosial, dimana mayoritas atau sebagian terbesar dari anggota kelompok
itu menyetujui atau menerima sesuatu, maka seseorang itu cenderung mudah
menerima sugesti yang diakibatkan oleh persetujuan mayoritas tersebut. Orang
akan merasa terasing jika tidak mengikuti apa yang diputuskan oleh sebagian
terbesar anggota kelompoknya.
Mengikuti kehendak mayoritas dapat
menimbulkan perasaan di dalam kolektivitas dengan identitas yang sama.
Sementara menolak pilihan mayoritas akan membuat orang merasa tersingkir dari
pergaulan kelompok. Karenanya, dalam situasi dimana terdapat pilihan mayoritas
maka seseorang itu mudah menerima sugesti. Artinya adalah, bahwa seseorang itu
mudah menerima sugesti ketika dalam kelompoknya terdapat mayoritas yang telah
menetapkan pilihan tindakan.
e. Keraguan
Orang yang sedang ragu-ragu dalam
menetapkan suatu keputusan biasanya cenderung mudah disugesti. Keraguan yang
diakibatkan oleh kebelumyakinan seseorang bahwa apa yang menjadi stimulus
sugesti itu sebenarnya telah ada dalam diri seseorang. Baru secara samar-samar
seseorang menyadari bahwa apa yang disugestikan tersebut ada dalam dirinya.
Karena baru samar-samar, maka seseorang belum yakin sepenuhnya.
Dalam kaitan ini sugesti itu
diterima sebagai upaya pembuktian keyakinan atau pendapat bahwa sesuatu
stimulus itu sudah ada dalam diri dan searah dengan kemauan sugesti. Beberapa
penulis menyebut bahwa ini adalah sugesti karena will to believe. Intinya
adalah bahwa sugesti itu diterima untuk memenuhi keinginan meyakini dirinya
sendiri karena seseorang telah melihat atau menyadari bahwa yang disugestikan
tersebut sebenarnya telah ada dalam dirinya.
4. Simpati
Simpati adalah ketertarikan
seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul atas pertimbangan rasa dan bukan
pertimbangan rasio. Simpati dapat timbul karena persamaan cita-cita, mungkin
karena penderitaan yang sama, atau karena berasal dari daerah yang sama.
Dalam interaksi sosial, simpati
memiliki peranan yang cukup penting. Peranan ini menyusul adanya fakta bahwa
hanya karena simpatilah masing-masing individu manusia menjadi terhubungkan
dalam jalinan interaksi sosial. Kontras
dari simpati adalah antipati. Dengan demikian jika simpati memfasilitasi
terjadinya interaksi sosial maka antipati justru meniadakan interaksi sosial.
Dalam perasaan antipati, orang cenderung menolak berinteraksi dengan orang
lain. Orang akan berusaha menarik diri dari interaksi sosial, menjauh dari
pergaulan, jika orang tersebut memiliki antipati pada orang-orang dalam
kelompoknya. Sebaliknya jika seseorang mampu memupuk simpati dan memeliharanya
dalam interaksi sosial maka orang tersebut akan semakin integrated dalam
lingkungan sosialnya. Integrasi sosial dengan demikian dapat dipelihara melalui
upaya simpati.