KELOMPOK, MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN
Kelompok
Hidup berkelompok merupakan pengakuan bahwa manusia itu memang makhluk sosial. Dengan demikian, pada dasarnya adanya kelompok dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi dalam kehidupan manusia. Dengan berkelompok akan terasa betapa pekerjaan yang sulit jika dikerjakan sendiri barangkali akan menjadi ringan bila dikerjakan di dalam kelompok.
Menghadapi ancaman akibat ketiadaan aturan karena masing-masing individu tidak memiliki jalinan atau ikatan sosial, menjadikan masing-masing individu melakukan pengelompokkan agar memungkinkannya memperoleh jaminan perasaan aman dalam menjalani hidup. Diawali dengan usaha mengartikan kelompok, uraian berikut ini menjelaskan makna kelompok sampai kepada adanya konflik di dalammya.
Suatu kelompok (group) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai suatu sasaran tertentu. Dalam pengertian ini kelompok diberi tekanan pada adanya interaksi antar personal di dalam jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan aktivitas komunikasi berlangsung dari masing-masing individu kepada individu yang lain tanpa melalui orang lain atau orang katiga dalam mentransformasikan pesannya. Karena merupakan kumpulan sejumlah orang maka perilaku ataupun kinerja seseorang anggota kelompok sangat dipengaruhi oleh hal yang sama dari seseorang yang lain di dalam kelompok tersebut.
Suatu kelompok juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan sehingga menunjukkan beberapa fungsi yang menyatakan peran dan norma yang mengatur hubungan masing-masing anggotanya. Pandangan ini memang terlalu sosiologis dengan mengedepankan adanya peran dan juga norma kelompok, tetapi penting juga dipahami bahwa pemahaman kelompok tidak akan komprehensif jika tanpa menyinggung tesis kontrak sosial yang selama ini memberi sumbangan yang berarti bagi usaha pelacakan terhadap asal mula terjadinya kelompok dan berlanjut kepada masyarakat.
Peran individu dan norma di dalam kelompok merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat kesediaan individu menyerahkan atau mengkontrakkan sebagian kepentingannya untuk diatur oleh aturan yang disepakati atau norma yang hidup dalam kelompok. Dalam keadaan asali manusia, setiap individu tentu menjalani hidup sesuai pandangan serta caranya sendiri. Manusia belum lagi memiliki pola dalam bertindak sehingga sangat mungkin terjadi benturan kepentingan yang bisa jadi mengakibatkan situasi anarkis. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan hidup karena ancaman yang mungkin selalu muncul dari individu lain sebagai akibat dari pemilikan cara pandang dan tindakan hidup yang belum terpola menjadi perilaku kelompok. Dalam situasi ini, manusia menjadi dituntut selalu waspada dari ancaman. Perjalanan hidup yang penuh ancaman inilah yang lambat laun menyadarkan tiap individu untuk mengintegrasikan sebagian kepentingan hidupnya dengan melakukan sejumlah kesepakatan dengan individu lain untuk membentuk kelompok. Munculnya kelompok dengan demikian memunculkan juga seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan yang terbingkai dalam norma dan atau bahkan hukum yang harus dipatuhi bersama.
Pemahaman tentang kelompok dapat didekati dari beberapa perspektif yang berbeda yang tentu akan menghasilkan tekanan yang berbeda dalam pendefinisiannya. Dari perspektif sosiologis menghasilkan definisi yang memberi sumbangan pada tekanan adanya norma. Dari perspektif organisasi menghasilkan definisi yang menekankan adanya interaksi bertujuan dengan aturan tegas sebagai pembatas tindakan. Melintasi sejumlah perspektif yang memang menghasilkan sejumlah tekanan yang berbeda, pada dasarnya memahami kelompok selalu mendapati hal yang sama yakni, adanya sasaran tertentu. Tidak mungkin suatu kelompok terbangun tanpa didasari oleh adanya sasaran.
Akhirnya secara agak komprehensif kelompok dapat didefinisikan sebagai kumpulan dua orang atau lebih yang saling tergantung dan berinteraksi dengan seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan untuk mencapai suatu sasaran tertentu.
1. Mengapa Orang Berkelompok.
Selintas, di depan selintas telah disinggung tentang alasan mengapa orang cenderung berkelompok. Paling tidak, jika lebih dirinci, terdapat enam alasan yang bisa dikemukakan berkaitan dengan kecenderungan berkelompok ini, yakni alasan keamanan, status, harga diri, integrasi sosial, kemudahan, dan prestasi.
Keamanan. Dengan bergabung dalam suatu kelompok, masing-masing orang dapat mengurangi perasaan tidak aman dalam kesendirian. Orang menjadi lebih percaya diri dan merasa menjadi bagian dari suatu kesatuan kekuatan dan karenanya akan terasa lebih tahan terhadap berbagai ancaman yang mungkin timbul.
Status. Ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok penting, maka seseorang itu akan dipandang oleh orang lain dengan status yang berbeda. Dalam stratifikasi sosial yang ada dimungkinkan seseorang mendapatkan status yang berbeda jika seseorang tersebut menjadi anggota sesuatu kelompok. Status yang berbeda ini berasal dari pengakuan orang lain yang tidak menjadi bagian atau anggota kelompok.
Harga diri. Kelompok juga dapat memberi perasaan berharga pada diri anggotanya. Artinya adalah, menjadi anggota sesuatu kelompok dapat memberikan perasaan berharga karena dapat diterima sebagai anggota tersebut sudah memenuhi standar tertentu yang disyaratkan.
Integrasi sosial. Berbagai kelompok dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk berafiliasi, bersosialisasi dengan menjadi bagian dari suatu kelompok menunjukkan intensitas kebutuhan sosial dari seseorang. Di dalam kelompok, masing-masing anggota menikmati interaksi yang teratur, yang bagi banyak orang interaksi ini merupakan modal awal mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam mengintegrasikan diri ke dalam lingkungan sosialnya.
Kemudahan. Apa yang tidak dapat atau terlalu sulit dicapai secara individual seringkali menjadi lebih ringan jika diusahakan untuk dicapai melalui kerjasama dengan orang lain. Hal ini menjelaskan bahwa dengan berkelompok seseorang itu akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang bersedia menjadi anggota suatu kelompok hanya apabila dalam pandangannya kelompok tersebut dapat memenuhi berbagai harapan serta mampu menolong mencapai atau memenuhi kebutuhannya.
Prestasi. Ketika diperlukan adanya sekelompok orang untuk mencapai suatu tugas pekerjaan tertentu, dari orang-orang tersebut muncul kebutuhan untuk menunjukkan bakat yang dimilikinya, pengetahuannya dan mungkin saja kekuatannya agar pekerjaan dapat terselesaikan. Setelah pekerjaan terselesaikan, maka hasilnya dapat menjadi ukuran prestasinya.
2. Kelompok Formal dan Informal
Ketika terdapat dua orang yang mengangkat meja untuk dipindahkan tempatnya, tentu berdasarkan pengertian di muka, dua orang tersebut telah membangun kelompok. Begitu pula adanya beberapa orang dalam sebuah tim pemasaran dari perusahaan pengalengan buah nanas, tim inipun merupakan sebuah kelompok. Mencermati dua contoh tersebut, tentu akan segera tertangkap pengertian bahwa sebenarnya berdasarkan formalitasnya, kelompok itu dapat dipilah menjadi formal dan informal.
Kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan oleh adanya struktur organisasi, dengan pembagian kerja dan pembatasan sejumlah wewenang secara tegas untuk melakukan berbagai tugas dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dalam kelompok formal, berbagai tindakan ditentukan oleh dan diarahkan kepada tujuan tertentu.
Di dalam kelompok formal masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi kelompok tugas dan kelompok komando. Kelompok tugas ditetapkan secara organisasional, mewakili beberapa unit kerja untuk bersama-sama menyelesaikan suatu tugas tertentu. Kelompok yang melintasi garis komando ini dapat dimisalkan jika di suatu Fakultas terdapat kasus plagiasi atas salah satu skripsi. Dekan fakultas yang bersangkutan menentukan agar Ketua Jurusan, Bagian Perpustakaan dan Pembantu Dekan serta Pembimbing Utama penulisan skripsi yang diduga sebagai hasil plagiasi itu membentuk kelompok untuk melakukan penyelidikan sebelum sanksi akademik diberlakukan kepada sarjana plagiat yang bersangkutan.
Kelompok komando adalah kelompok yang terdiri dari atas dan bawahan yang mengikuti garis komando dan sangat hierarkis. Kelompok ini dispesifikasikan oleh bagan organisasi yang memetakan secara tegas batas tugas, wewenang, dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok.
Kelompok informal diartikan sebagai persekutuan dua orang atau lebih yang tidak terstruktur secara formal. Kelompok jenis ini biasanya muncul merupakan tanggapan atau respon terhadap kebutuhan orang akan kontak sosial. Dengan kata lain, kelompok informal ini tidak berkembang sebagai akibat dari perancangan tetapi tumbuh secara alamiah. Di dalam suasana kerja, secara wajar seringkali kelompok informal ini terbentuk. Empat orang karyawan dari unit kerja berlainan secara teratur selalu melakukan pulang bersama-sama, merupakan contoh nyata dari kelompok informal. Ivanchevic dkk (1996) membagi kelompok informal ini menjadi (1) kelompok minat yakni elompok yang terbentuk oleh beberapa individu yang tidak menjadi anggota kelompok tugas dan komando tetapi memiliki sasaran yang sama hanya saja sasaran tersebut berbeda dengan sasaran kelompok utamanya. Sedangkan (2) kelompok persahabatan adalah kelompok yang interaksi anggotanya terjadi di luar aktivitas kerja.
3. Kelompok Primer dan Sekunder
Kelompok primer merupakan kelompok yang tiap anggotanya saling kenal sebagai suatu pribadi secara akrab. Interaksi sosial antar individu di dalamnya bersifat tidak formal (tidak rersmi), akrab, personal dan total yang mencakup banyak aspek dari pengalaman hidup. Di dalam kelompok primer, sebagaimana keluarga, klik, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial cenderung bersifat santai. Masing-masing individu saling tertarik satu sama lain sebagai suatu pribadi. Mereka menyatakan harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan, berbagai pengalaman dalam kesalingtergantungan dan saling memenuhi kebutuhan akan keakraban persahabatan. Biasanya, kelompok primer beranggotakan individu-individu yang jumlahnya tidak besar, atau tidak sebesar dalam kelompok sekunder.
Di dalam kelompok sekunder, hubungan sosial bersifat formal, impersonal, segmental, dan didasarkan atas azas manfaat (utilitarian). Seseorang tidak berurusan dengan orang lain sebagai suatu pribadi, tetapi sebagai orang yang berfungsi dalam menjalankan sesuatu peran. Kualitas pribadi tidak sepenting cara kerja. Hanya sedikit aspek atau bagian dari keseluruhan kepribadian yang terlibat dalam pelaksanaan peran saja yang dianggap penting.
Kelompok sekunder dapat berupa serikat kerja, mitra dagang, klub pendaki gunung, persatuan wali murid atau himpunan orang tua mahasiswa. Kelompok-kelompok ini muncul untuk memenuhi tujuan khusus yang terbatas, yang hanya melibatkan sebagian dari kepribadian anggotanya.
Istilah primer dan sekunder menggambarkan model hubungan atau type interaksi dan tidak mengahdirkan klaim bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Kelompok primer dapat saja terlibat dalam penyelesaian suatu pekerjaan, tetapi penilaian terhadap kelompok jenis ini tetap berdasarkan pada kualitas hubungan manusiawi, bukannya pada efisiensi dalam penyelesaian suatu kegiatan. Kelompok sekunder mungkin juga bersifat menyenangkan, tetapi pusat orientasinya adalah penyelesaian pekerjaan.
Kelompok primer dan sekunder dipandang penting karena perasaan dan perilaku atau tindakan merupakan hal yang berbeda. Dalam kelompok primerlah kepribadian dibentuk. Dalam kelompok primerlah seseorang menemukan keakraban, rasa simpati, dan rasa kebersamaan yang menyenangkan terkait dengan banyak minat serta kegiatan. Dalam kelompok sekunder seseorang menemukan cara yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu walaupun cara tersebut seringkali mengorbankan hati kecil seseorang. Konsep primer dan sekunder dalam pemahaman kelompok sangat bermanfaat karena memberi gambaran perbedaan penting dari perspektif perilaku.
4. Paguyuban dan Petembayan.
Konsep paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesselschaft) merupakan konsep yang tidak jauh berbeda dengan primer dan sekunder sebagaimana yang dikembangkan oleh Ferdinand Tonnies (1887). Secara umum istilah paguyuban dapat mengajukan pemahaman sebagai komunitas (community) sedangkan petembayan diterjemahkan sebagai masyarakat (society).
Paguyuban adalah sebuah sistem sosial yang kebanyakan interaksinya bersifat personal serta sering tradisional atau berdasarkan tradisi dan kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Biasanya, interaksi dalam paguyuban bersifat informal. Penggunaan dokumen tertulis jarang ditemukan, kontrak formal belum dikenal, dan segenap kegiatan dilakukan menurut cara-cara tradisi yang dikenal dan dapat diterima oleh seluruh anggota komunitas. Ritme kehidupan berlangsung datar (monoton), namun perasaan kesepian jarang dialami oleh anggota karena mereka sudah saling bertetangga sejak lama sehingga relatif tidak memiliki problem jarak fisik maupun sosial.
Dalam konsep sistem patembayan, masyarakat tradisional digantikan oleh masyarakat yang kontraktual. Dalam patembayan, ikatan pribadi, hak-hak tradisional, maupun tugas-tugas tidaklah sepenting sifat utilitarianisme. Interaksi antar individu ditentukan proses transaksional yang kemudian dituangkan dalam perjanjian-perjanjian tertulis. Sanak keluarga seringkali hidup terpisah, karena orang-orang cenderung selalu berpindah untuk tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Etika perilaku yang diterima secara umum didasarkan pada rasionalitas pragmatis dengan perhitungan untung-rugi. Kelompok jenis ini tersebar luas di kota-kota metropolitan modern.
Masyarakat
Setelah selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai sejumlah hal terkait dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting untuk memahami terlebih dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal ini diperlukan karena kecuali dunia kehidupan sosial itu beroperasi di masyarakat, juga pengertian masyarakat akan selalu terbawa hingga akhir buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi di depan komunikasi itulah yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa hingga jauh.
Kata masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun keduanya sangat berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu yang tidak asali, baik berupa sesuatu yang materiil maupun sebaliknya adalah konstruksi budaya atau hasil kebudayaan, atau hasil suatu budi daya manusia. Sedangkan masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Mungkin pemakaian istilah organisasi dapat dicairkan dengan pemakaian istilah sekumpulan karena organisasi mengandung pengertian adanya pengaturan struktural yang kaku dengan pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat tidaklah setegas dan seteratur sebuah organisasi.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton & Hunt 1996; 59). Pendefinisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh dua sosiolog dari Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk pegangan studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas milik mereka sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu wilayah tertentu.
Adanya sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai adanya sistem sosial. Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik sentral pengertian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah, bahwa setiap bagian struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Setiap bagian dari sebuah sistem sangat berfungsi terhadap bagian yang lain. Kesalingtergantungan antar bagian atau struktur dalam sistem sosial inilah yang membentuk masyarakat. Keyakinan ini menjadi asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang pentolannya adalah Robert King Merton.
Keseimbangan menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat. Sehingga, tesis atau anggapan ini mengabaikan adanya struktur yang beroperasi menentang atau bertentangan dengan struktur yang lain dalam sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki fungsi dalam artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan, oleh penganut teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya adalah, fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional, tetapi setidaknya kemiskinan itu berfungsi : 1) menyediakan tenaga kerja kasar, 2) pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya terhadap si miskin, 4) penyedia tenaga bagi pemanfaatan barang bekas pakai orang kaya dan lain sebagainya.
Yang baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggapan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya memiliki kesalingtergantungan sekaligus saling memiliki fungsi bagi masing-masingnya. Kecuali teori Fungsionalisme Struktural, masih terdapat sejumlah teori lain yang semuanya berbicara tentang bagaimana masyarakat bisa dilahirkan, dipelihara serta dikembangkan. Mengingat tekanan studi Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada sosiologi tetapi juga pada teknologi komunikasi, maka akan menjadi baik kalau kita batasi uraian tentang masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa mainstream golongan besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja sebagaimana, masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini memiliki kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah hal spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya.
1. Masyarakat Desa.
Sudah lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua golongan besar, yakni desa dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan perbedaan untuk sejumlah hal, terutama fisik dan sosialnya. Karenanya, selalu terdapat perbedaan perilaku antara oirang desa dan orang kota. Perbedaan tersebut merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi sastrawan untuk mengarang novel atau skenario drama dan film.
Terdapat ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat ditunjukkan dalam uraian ini yakni, 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4) ekonomi subsistensi.
Isolasi. Mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol pada masa silam adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang desa mengelompkkan diri ke dalam desa-desa kecil yang ladang pertaniannya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Rumah yang terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman desa, suatu pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun dari segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah dari yang lain, tetapi bahkan keluarga yang satupun terpisah denganb keluarga yang lain. Bukan sesuatu yang kebetulan jika budaya ramah tamah terdapat dalam kehidupan masyarakat desa di samping sifat yang menonjol lainnya yakni budaya gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti nyata betapa adat dan kebiasaan muncul karena kebutuhan sosial dan karenanya ketika kebutuhan sosial itu berubah maka akan cenderung mengubah adat dan kebiasaannya.
Homogen. Secara keseluruhan diseluruh pemukiman di suatu negara, Indonesia umpamanya, sangatlah heterogen. Namun demikian, di tempat pemukiman pedesaan pemukim cenderung sangat homogen dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya mereka mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya disertai oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional, dan etnosentrisme masyarakat yang menonjol.
Pertanian. Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau buruh lepas di sektor tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan Tokopun ikut terlibat dalam kehidupan pertanian. Semua menghadapi masalah dan tugas yang sama, serta sama-sama merasakan betapa tidak berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan alam yang berada di luar kemampuan manusia.
Ekonomi Subsistensi. Keluarga tradisional di masyarakat pedesaan berusaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi sendiri. Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem tukar (barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat hemat merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang menyolok dipandang sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah keluarga pedesaan ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak, hasil panen serta harta warisan yang diterima dan yang kelak mampu diwariskan kepada anak keturunannya.
Dalam kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya sistem ekonomi pasar, masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini muncul sebagai ketidakpercayaan dan kebencian terhadap anggota masyarakat kota.Dari sudut pandang anggota, masyarakat desa berjumlah relatif kecil terdiri dari individu-individu yang cenderung disatukan oleh garis keturunan dengan teknologi pertanian sederhana serta interaksi sosialnya dilakukan dengan model komunikasi tatap muka.
Saat ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana membanjirnya informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami perubahan. Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah membedakan masyarakat desa dengan kota melalui sejumlah penanda sebagaimana telah diuraikan di depan, tetapi perbedaan yang dapat ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman dahulu.
Dewasa ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya. Meskipun memang masih terdapat sejumlah perbedaan dalam segi kepribadian, gaya hidup, dan sistem nilai antara masyarakat desa dengan kota, namun perbedaan itu semakin mencair. Baik orang kota maupun desa telah dijangkau oleh media massa yang sama dan mereka memberikan respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa tersebut. Mobil dan jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan menjadi tidak begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak lagi dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan. Pertanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komersialisasi dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai bertumbuhan usaha agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang berkurangnya petani dan tenaga kerja agraris. Akibatnya
2. Masyarakat Kota
Pertumbuhan kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa diorganisasi berdasarkan sistem kekearabatn dan diarahkan oleh adat kebiasaan, maka tidak demikian dengan kota. Kota memiliki pembagian kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus. Bukan sistem kekerabatan sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota merupakan organisasi sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial.
Perkembangan kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan kota kecil (town) menjadi kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai dengan aktivitas khas yang terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu teritori. Misalnya, kota peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristirahatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan kota kecil ini biasanya memberikan rangsangan kuat bagi penemuan-penemuan yang tidak ditemukan di pedesaan, misalnya saja adanya kereta, selokan dan terowongan air, sistem tulisan, sistem angka, birokrasi pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifikasi sosial, serta masih banyak lagi yang lainnya. Karenanya, maka wajar kalau di dalam pertumbuhannya sejumlah kota menjadi pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta sejumlah daya tari kemujuan lain.
Namun demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan kejahatan, hedonisme, pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepura-puraan. Singkatnya, kota merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda dengan cirii budaya dominan. Kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras) tidak sebagaimana desa yang cenderung homogen. Terdapat sejumlah ciri yang dapat membantu kita mengenali masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak sosial, 3) keteraturan, 4) keramaian, 5) kepribadian urban.
Anominitas. Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan cenderung menciptakan anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota masyarakat kota habis ditengah kumpulan manusia yang anonim. Keadaan ini dihasilkan oleh hebatnya heterogenitas kehidupan kota yang ditandai oleh keanekaragaman ras, kelas sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau agama, dan lain sebagainya. Anominitas paling heboh di masyarakat kota biasanya terdapat di kampung kumuh, yakni kampung tempat manusia, lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus terlupakan. Mereka hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki masa lalu yang jelas, dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan kumpulan orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa dengan peran sosialnya yang tida penting.
Jarak Sosial. Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas, dan impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini mungkin dapat dilakukan dengan contoh berikut.
Jika kita sedang berada di sesebuah mall atau di peron stasiun kereta kita tentu berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja kita harus bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita temui tersebut bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan yang panjang dengan kita atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya dapat mengenali orang-orang yang lalu lalang itu melalui apa yang dapat kita lihat semisal pakaian, perhiasan, sikap dan mungkin barang bawaannya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan bahwa yang terjadi adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan setiap oarang bisa saja bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di dua tempat tersebut, namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta tidak memiliki kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak sosial yang nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam lagu seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian.
Keteraturan. Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau ketidakformalan, namun tidak demikian dengan masyarakat kota. Keteraturan masyarakat kota sebagai sesuatu yang wajar muncul akibat kepadatan penduduk dan spesialisasi pekerjaan. Jadwal pekerjaan yang ketat yang harus dilakukan penyesuaian dengan 'jam biologis' (waktu tidur, bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran untuk mengatur sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum.
Lampu pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, transportasi dan sejumlah hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas perkotaan. Perkembangannya bahkan, membangun rumah tinggal keluarga saja kini harus mengikuti Peraturan Daerah. Di beberapa kota besar, ada sesuatu kawasan yang tidak boleh dibangun sesuatu bangunan tanpa rekomendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga dengan perlakuan warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan mengingat pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus dilindungi melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya.
Dengan demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu kota, kecenderungannya adalah semakin banyak pengaturan hidup yang pusat orientasinya adalah pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat desa yang cenderung mengikuti harmoni alamiah. Tidak banyak pengaturan hidup yang membatasi kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa. Kehidupan cenderung berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan cuaca.
Keramaian (crowding). Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif yang dapat diukur, sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif. Seseorang merasa berada dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia kekurangan tempat atau kebebasan pribadinya. Seseorang kawan mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kota kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup karena suasana kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal.
Kecenderungan kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai oleh kepadatan penduduk yang secara fisik tentu menghasilkan keramaian. Problem sosial yang muncul dari keramaian biasanya terkait dengan penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial. Dengan mengambil contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia, memang tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam problem. Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduknya paling tinggi di dunia, namun tingkat kematian, penyakit, dan gangguan mental lebih rendah dari pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton & Hunt 1996; 154). Keramaian dan kepadatan penduduk tidak harus mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi tampaknya kita harus mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas lingkungan yang dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup manusia. Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan demi menjaga kualitas hidupnya.
Kepribadian urban. Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis Wirth, 1938) menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan menciptakan kepribadian yang sangat berbeda dengan masyarakat desa. Orang kota cenderung memiliki kepribadian anomis, materialistis, mandiri (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, manipulatif, dan cenderung dalam perasaan tidak aman.
Seiring dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotong-royong, ketetanggaan serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun menurun. Hal ini menjadi penyumbang utama munculnya kepribadian yang menempatkan 'diri' sebagai pusat pertimbangan tindakan. Sikap tolong menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan masyarakat desa tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat semacam kekosongan sosial yang alienatif yang menjadikan penduduk kota menjauh dari ciri kepribadian desa.
Kebudayaan
Sejumlah orang memberikan arti kebudayaan dengan pengertian yang sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai pikiran, karya dan apapun hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan. Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai kesenian. Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh dari pendefinisian yang memadai.
Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan dengan sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun yang merupakan hasil pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang asali dari manusia hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia dalam kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedangkan yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait dengann sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan lain-lain yang sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan merupakan konstruksi budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari dengan alat berupa sendok, piring dan garpu, serta cara mengunyah makanan yang tidak bersuara, semua itu merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian maka hal penting yang harus disadari adalah bahwa konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki perbedaan di damping sejumlah persamaan.
Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi penyumbang bagi usaha membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Apa yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin akan tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat itu berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik di kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim benar-salah, baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak ada ukuran yang dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya.
Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan konsep yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar kehidupannya dan memberi arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002). Dalam pandangan dasar ini kebudayaan digambarkan sebagai sebuah teks, kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para anggotanya dan menjadikannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan menginternalisasikan suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk perasaan maka seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah kebudayaan mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga mereka memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga mereka memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan orang lain.
Fakta penting lain mengenai kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan itu bersifat terbuka. Ia merupakan entitas ideasional. Karena sifatnya yang terbuka, maka kebudayaan itu mudah ditembus, dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai kebudayaan lain. Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin terjadi pengaruh satu kebudayaan oleh kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak tersusun atas beraneka ragam kebudayaan yang mandiri, tertutup dan bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi dan traksaksional atau pertukaran yang konstan.
Pertukaran dan penyesuaian terjadi setiap saat dan disetiap waktu. Makanan yang kita makan, buku yang kita baca, musik yang kita dengar, konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan, pengetahuan, semuanya itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk disadari agar pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan sebagaimana orang membuat kategori sederhana semisal : budaya kulit hitam, budaya kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain sebagainya.
Sebagaimana pengertian kebudayaan yang demikian luas, maka sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian material dan non-material. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat berupa barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak lagi benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif manusia. Semua benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang, manusiapun memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup. Tetapi, jika binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam dan tinggal memakainya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan mengolahnya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya.
Kebudayaan non-material terdiri dari kata-kata atau bahasa yang dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi atau berinteraksi sosial. Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta sejumlah kebiasaan juga merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang memfasilitasi umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkinkan oleh kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta norma-norma sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di sesuatu masyarakat, itu semua merupakan wujud dari kebudayaan non-material. Berjabat tangan, berjalan di sebelah kiri, berciuman ketika bertemu dengan teman lama serta masih banyak lagi contoh yang dapat disebut
Minggu, 03 April 2011
Minggu, 27 Maret 2011
Pelayanan Publik
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi semua bentuk pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik di setiap tingkatan pemerintahan.Terkait dengan jangkauan atau ruang lingkup ini sebenarnya kita bleh mengingat betapa sejak kita dalam kandungan hingga kelak meninggal selalu berhadapan dengan pelayanan publik.
Ini penting dimengerti karena kepentingan manusia hidup dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai warga negara memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana efek doktrin kontrak sosial.
Selagi masih dalam kandungan kita sudah berhadapan dengan pelayanan publik di bidang kesehatan karena ibu kita memeriksakan kesehatan kita di puskesmas. Lahir juga harus dibuatkan akte kelahiran, berarti harus juga berhadapan dengan pelayanan publik. Matipun kita memerlukan catatan kematian agar hak pensiun tidak terhambat diterima.Sejumalh cntoh tersebut menandai bahwa sebenarnya pelayanan publik menjadi hal penting yang harus menjadi perhatian negara atau pemerintah.Bagi negara, pelayanan kepada masyarakat menjadi kewajiban yang harus diutamakan pemenuhannya.
Tujuan Pelayanan Publik
1. Mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban,a dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan secara maksimal.
3. Mewujudkan sistem yang baik dalam hal pelayanan publik.
4. Mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan sesuai mekanisme yang berlaku.
Hak Penerima Layanan
1. Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas2 dan tujuan pelayanan publik serta sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan.
2. Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prsedur dalam pelayanan publik.
3. Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik
4. Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah
5. Memperleh kmpensasi apabila tidak mendapat pelayanan sesu8ai standar pelayanan yang telah ditetapkan.
6. Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau kmisi pelayanan publik untuk mendapatkan penyelesaian,
7. Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku
8. Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Kewajiban Penerima Layanan
1. Mentaati mekanisme, prsdedur, dan persyaratan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
2. Memelihara dan menjaga berbagai sarana dan prasarana pelayanan publik
3. Mengawaasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam penyelesaian sengketa
4. Beritikan baik, sopan dan ramah.
Kewajiban Penyelenggara Layanan Publik
1. Mengundang penerima layanan dan berbagai pihak yang berkepentingan untuk merumuskan standar pelayanan dan melakukan pengawasan atas praktek pelayanan publik.
2. Menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai standar yang telah ditetapkan
3. Mengelola pengaduan dari penerima layanan sesuai mekanisme
4. Menyampaikan pertanggungjawaban secara periodik atas kerja pelayanan yang telah dilakukan
5. Memberikan kompensasi atas pelayanan yang tidak sesuai standar
6. Mematuhi ketentuan dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik
7. Mematuhi perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelaynan publik.
Hak Penyelenggara Layanan Publik
Mendapatkan penghargaan atas prestasinya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
bersambung
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi semua bentuk pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik di setiap tingkatan pemerintahan.Terkait dengan jangkauan atau ruang lingkup ini sebenarnya kita bleh mengingat betapa sejak kita dalam kandungan hingga kelak meninggal selalu berhadapan dengan pelayanan publik.
Ini penting dimengerti karena kepentingan manusia hidup dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai warga negara memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana efek doktrin kontrak sosial.
Selagi masih dalam kandungan kita sudah berhadapan dengan pelayanan publik di bidang kesehatan karena ibu kita memeriksakan kesehatan kita di puskesmas. Lahir juga harus dibuatkan akte kelahiran, berarti harus juga berhadapan dengan pelayanan publik. Matipun kita memerlukan catatan kematian agar hak pensiun tidak terhambat diterima.Sejumalh cntoh tersebut menandai bahwa sebenarnya pelayanan publik menjadi hal penting yang harus menjadi perhatian negara atau pemerintah.Bagi negara, pelayanan kepada masyarakat menjadi kewajiban yang harus diutamakan pemenuhannya.
Tujuan Pelayanan Publik
1. Mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban,a dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan secara maksimal.
3. Mewujudkan sistem yang baik dalam hal pelayanan publik.
4. Mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan sesuai mekanisme yang berlaku.
Hak Penerima Layanan
1. Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas2 dan tujuan pelayanan publik serta sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan.
2. Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prsedur dalam pelayanan publik.
3. Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik
4. Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah
5. Memperleh kmpensasi apabila tidak mendapat pelayanan sesu8ai standar pelayanan yang telah ditetapkan.
6. Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau kmisi pelayanan publik untuk mendapatkan penyelesaian,
7. Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku
8. Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Kewajiban Penerima Layanan
1. Mentaati mekanisme, prsdedur, dan persyaratan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
2. Memelihara dan menjaga berbagai sarana dan prasarana pelayanan publik
3. Mengawaasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam penyelesaian sengketa
4. Beritikan baik, sopan dan ramah.
Kewajiban Penyelenggara Layanan Publik
1. Mengundang penerima layanan dan berbagai pihak yang berkepentingan untuk merumuskan standar pelayanan dan melakukan pengawasan atas praktek pelayanan publik.
2. Menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai standar yang telah ditetapkan
3. Mengelola pengaduan dari penerima layanan sesuai mekanisme
4. Menyampaikan pertanggungjawaban secara periodik atas kerja pelayanan yang telah dilakukan
5. Memberikan kompensasi atas pelayanan yang tidak sesuai standar
6. Mematuhi ketentuan dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik
7. Mematuhi perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelaynan publik.
Hak Penyelenggara Layanan Publik
Mendapatkan penghargaan atas prestasinya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
bersambung
Rabu, 16 Maret 2011
ADMINISTRASI PELAYANAN PUBLIK
Administrasi Pelayanan Publik
Tulisan bersambung yang hendak saya kerjakan ini dibingkai oleh topic Administrasi Pelayanam Publik. Memudahkan pemahaman pada kajian yang relative baru ini maka dipandang akan menjadi baik jika saya mengawalinya dengan uraian mengenai paradigma (model berpikir) terkait administrasi public dulu. Uraian ini lebih merupakan hasil elaborasi dari pemikiran beberapa kolega, terutama Prof. Ginanjar Kartasasmita.
Klasik
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.
Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.
Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.
Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan administrasi publik pada tataran yang makin menonjol. Program rehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peran administrasi publik.
Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pcmbangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.
Pada dua dasawarsa akhir abad ke 20, dunia kembali mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial.
Modern
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government.
Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep ”New Public Management” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.
Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalam administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseran paradigma government kepada paradigma governance.
Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. Istilah e-government dan e-governance merupakan cerminan dari penerapan teknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.
Tantangan Administrasi Publik
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber dana politik atau pusat terjadinya korupsi. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections).
Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan atau mengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas.
Revitalisasi administrasi publik
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik-alam, maupun lingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah.
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).
Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).
Namun pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itu diperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.
Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling-silang gagasan (cross-fertilization).
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirarkis dari bawah ke atas, di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat paternalistic (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management: yang menuntut harus adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result oriented dan bukan hanya effort oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telah mempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo. Pengalaman empirisnya telah dijadikan dasar penelitian dan disertasi Doktor di Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.
Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutama dilapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompok elite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat kecil.
Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, brokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rule), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.
Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota,harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnya dengan desentralisasi dan otonomi terjawab banyak sekali persoalan; salah satu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengan desentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat. Namun konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan. Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerah harus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi di daerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.
(bersambung)
Tulisan bersambung yang hendak saya kerjakan ini dibingkai oleh topic Administrasi Pelayanam Publik. Memudahkan pemahaman pada kajian yang relative baru ini maka dipandang akan menjadi baik jika saya mengawalinya dengan uraian mengenai paradigma (model berpikir) terkait administrasi public dulu. Uraian ini lebih merupakan hasil elaborasi dari pemikiran beberapa kolega, terutama Prof. Ginanjar Kartasasmita.
Klasik
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.
Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.
Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.
Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan administrasi publik pada tataran yang makin menonjol. Program rehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peran administrasi publik.
Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pcmbangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.
Pada dua dasawarsa akhir abad ke 20, dunia kembali mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial.
Modern
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government.
Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep ”New Public Management” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.
Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalam administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseran paradigma government kepada paradigma governance.
Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. Istilah e-government dan e-governance merupakan cerminan dari penerapan teknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.
Tantangan Administrasi Publik
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber dana politik atau pusat terjadinya korupsi. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections).
Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan atau mengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas.
Revitalisasi administrasi publik
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik-alam, maupun lingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah.
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).
Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).
Namun pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itu diperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.
Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling-silang gagasan (cross-fertilization).
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirarkis dari bawah ke atas, di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat paternalistic (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management: yang menuntut harus adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result oriented dan bukan hanya effort oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telah mempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo. Pengalaman empirisnya telah dijadikan dasar penelitian dan disertasi Doktor di Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.
Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutama dilapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompok elite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat kecil.
Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, brokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rule), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.
Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota,harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnya dengan desentralisasi dan otonomi terjawab banyak sekali persoalan; salah satu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengan desentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat. Namun konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan. Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerah harus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi di daerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.
(bersambung)
Kamis, 03 Maret 2011
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
B. Latar Belakang Timbulnya Sosiologi Pendidikan
Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi timbulnya sosiologi pendidikan adalah, kenyataan kehidupan manusia yang selalu ingin mengenal, mengetahui lebih mendalam tentang dirinya sendiri dalam berhubungan dengan dunia luar beserta isinya (Sukiman: 1992). Salah satu hal yang dapat membantu manusia memahami, mengetahui tentang dirinya sendiri adalah melalui interaksi. Melalui kegiatan tersebut individu dapat saling membutuhkan, melengkapi kekurangan, dan memperbaiki sesuatu dalam kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia tidak ada batas yang pasti. Manusia selalu merasa tidak puas dan selalu akan mencarinya. Hal ini disebabkan kondisi masyarakat selalu mengalami perubahan (dinamis). Perubahan sosial selalu akan terjadi. Faktor inilah yang menimbulkan cultural lag atau kemandekan kebudayaan.
Akibat cultural lag timbullah gejolak sosial yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi proses pendidikan. Atas dasar pertimbangan tersebut John Dewey bermaksud untuk memperbaiki, dengan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Diharapkan, melalui sekolah tersebut John Dewey dapat berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, saling membantu, dan “bergotong royong”.
Beberapa upaya harus dilakukan sekolah agar hubungan antara sekolah dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Menurut John Dewey sekolah merupakan miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro. Ia yang merupakan: (a) cerminan masyarakat sekitarnya, dan (b) menjadi pengilham perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tokoh dan ahli pendidikan ini memandang perlu “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Jhon Dewey dengan bukunya “Democracy and Education” (1916) merupakan faktor pendorong (push factor) timbulnya Sosiologi Pendidikan, meskipun hal ini tidak terlepas bantuan ahli-ahli sosiologi. Faktor pendorong lainnya yaitu, banyaknya permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan sementara tokoh pendidikan tidak mampu mengatasi secara sendirian (mono dicipline).
Terbukti keikutsertaan Emille Durkheim (1858 – 1917) yang memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia menyatakan, ”Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan, suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para masyarakat; Keseragaman yang essential yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan diperlukan dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi di balik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam baik jenjang maupun spesialisasinya.”
Adanya social thing (ikhtiar sosial) tersebut menuntun Emille Durkheim pada suatu pendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi harus bermacam ragam sesuai dengan kondisi dan permintaan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu ahli sosiologi lain yang ikut campur tangan memecahkan pelik-pelik dunia pendidikan adalah Karl Manneim (1893 – 1947). Ia menyatakan:
“Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme dan sebagianya) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dipahami apabila kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kita mendidik manusia tidak boleh gegabah tanpa adanya pertimbangan matang, tetapi jauh sebelumnya harus kita analisis corak masyarakat di mana proses pendidikan akan berlangsung; karena baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial konteks ini berpengaruh begitu luas dan banyak dalam faktor-faktor pendidikan. Fakta tersebut merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa untuk masyarakat apa, bilamana dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Masih banyak tokoh lain yang berpartisipasi dalam memecahkan problema pendidikan, sperti Stewart yang menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri”; termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi sosial, dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti klasifikasi dan definisi dari berbagai kelompok, sistem, dan istilah-istilah lainnya. Selainitu, perlu juga membicarakan “tugas lapangan” para ilmu sosial beserta bukti-bukti umum hasil telaahan sosiologis, dengan penekanan kepada melihat kemungkinan akar sosial filosofis. Hal itu terjadi karena pada kenyatannya konklusi-konklusi hasil telaahan empiris, menuntun untuk memasuki pertimbangan-pertimbangan sosial filosofis. Stewart jelas-jelas tertarik pada pendekatan sosiologis, yang menurutnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang secara meyakinkan memakai metodologi ilmiah. Tetapi bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa aplikasinya dalam penelaahan dunia pendidikan, haruslah bermuara kepada pendiskusian dan pemantapan nilai-nilai.
Program berikutnya, Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal yaitu:
1. institusi-institusi masyarakat;
2. sosiologi dan kurikulum;
3. pendidikan bagi kebudayaan;
4. proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis;
5. kedisiplinan dan tata aturan;
6. guru dalam masyarakat, dan akhirnya; dan
7. sosiologi dan nilai.
Perkembangan sosiologi pendidikan dapat dilihat sejak adanya kuliah sosiologi pendidikan yang pertama kalinnya diberikan oleh Henry Suzzalo pada tahun 1910 di Teachers College, Universitas Columbia. Tetapi baru pada tahun 1917 terbit buku teks sosiologi pendidikan pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. Sejak tahun itu diterbitkan jornal tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sociology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. Sejak tahun 1940 terbit Review of Educational Research yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1993).
Di Indonesia, pada tahun 1967, mata kuliah Sosiologi Pendidikan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam kurikulum Jurusan didaktik dan Kurikulum, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta (Vembriarto, 1993).Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa baik ditinjau dari sudut usia, lapangan penelitiannya, maupun dari sudut kristalisasi struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih muda. Beberapa penulis berpendapat, bahwa sosiologi pendidikan sedikit demi sedikit berkembang, yaitu menjadi disiplin yang otonom yang memiliki lapangan penelitian khusus. Dalam hal ini, ia masih mengalami proses akulturasi. Proses “akulturasi” inilah yang dipergunakan oleh Cook & Cook sama artinya dengan konsep “sosialisasi” yang dipergunakan oleh Robbins sebagaimana yang terjadi di sekolah dan institusi-institusi sosial lainnya.
Sejak proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang dahsyat. Karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, urbanisasi ke kota-kota besar, perubahan dari masyarakat pertanian menuju ke masyarakat industri (dari industri pertanian ke industri ringan, yang akhirnya ke industri berat), dan masuknya pengaruh kebudayaan asing yang makin intensif dan ekstensif, semuanya itu merupakan sumber masalah-masalah sosial yang kita hadapi dewasa ini. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, adanya jurang yang dalam antara mayoritas rakyat yang miskin dan minoritas masyarakat yang kaya, pengangguran yang makin meningkat, banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah, dan pendidikan sekolah yang tidak serasi dengan tuntutan masyarakat. Semuanya itu menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi proses sosialisasi. Ditambah dengan munculnya nilai-nilai golongan, yang disebabkan oleh makin dinamiknya masyarakat. Jika hal itu dibiarkan terjadi, maka bahaya desintegrasi sosial tidak dapat dielakkan lagi. Dari sudut pandangan inilah mulai nampak kepentingan sosiologi pendidikan bagi kita.
C. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (19820-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan. Hasil-hasil pengamatan tersebut disusun secara sistematis menurut metodologi keilmuan. Sesuai dengan sejarah anatomi pertumbuhannya sebagai disiplin ilmu, maka dalam perkembangannya selanjutnya sosiologi banyak dipengaruhi satu sama lain. Sejarah perjalanan dan perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu, diungkapkan para sosiologi bahwa hal itu tidak bisa terlepas dari pengaruh pemikiran para akhli terdahulu yang banyak memusatkan telaah pada kehidupan masyarakat, seperti Plato (227-347 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Secara garis besar, Plato dalam teori sosialnya amat mementingkan masyarakat dibanding individu. Bahkan individualisme disamakan dengan egoisme, dan egoisme kelompok dengan altruisme. Oleh karena itu, Plato memandang bahwa susunan negara adalah sintesis antara aristokrasi dengan demokrasi.
Aristoteles mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sejauh merupakan kenyataan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu:
1. dalam mengungkapkan suatu philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas;
2. dalam membentuk kelompok-kelompok khusus seperti keluarga yang merangkap sebagai unit ekonomi, desa, kota, perkumpulan-perkumpulan sukarela. Dengan ini disebut koinonia;
3. dalam mendirikan negara dan pemerintahan; dan
4. dalam menunjukkan suatu keterkaitan pada peraturan-peraturan sosial, adat istiadat, kaidah-kaidah moral dan hukum (nomos) yang semuanya itu kini disebut dengan istilah pengendalian sosial.
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula.
Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa:
a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu;
b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; dan
c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metode.
Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Secara garis besar sosiologi dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (1) sosiologi umum, yang tugas utamanya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, (2) sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam. Kajian yang termasuk kategori ini adalah sosiologi masyarakat pedesaan dan perkotaan, sosiologi hukum dan sosiologi pendidikan.
Vembriarto (1993:2) menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Cook & Cook mengartikan sosiologi pendidikan sebagai penerapan pengetahuan dan teknik sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam hubungan antar manusia dan kesejahteraan materil. Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, dan utuh serta bermakna. Dalam konteks antisipasi terhadap arus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk ini para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal.
Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Kini tibalah pada pengertian dasar bahwa sosiologi pendidikan pada dasarnya memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Educatioal Sociology
Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2. Sociology of Education
Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri
3. Social Foundation of Education
Merupakan suatu bidang telaah yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan perbandingan pendidikan
Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi timbulnya sosiologi pendidikan adalah, kenyataan kehidupan manusia yang selalu ingin mengenal, mengetahui lebih mendalam tentang dirinya sendiri dalam berhubungan dengan dunia luar beserta isinya (Sukiman: 1992). Salah satu hal yang dapat membantu manusia memahami, mengetahui tentang dirinya sendiri adalah melalui interaksi. Melalui kegiatan tersebut individu dapat saling membutuhkan, melengkapi kekurangan, dan memperbaiki sesuatu dalam kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia tidak ada batas yang pasti. Manusia selalu merasa tidak puas dan selalu akan mencarinya. Hal ini disebabkan kondisi masyarakat selalu mengalami perubahan (dinamis). Perubahan sosial selalu akan terjadi. Faktor inilah yang menimbulkan cultural lag atau kemandekan kebudayaan.
Akibat cultural lag timbullah gejolak sosial yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi proses pendidikan. Atas dasar pertimbangan tersebut John Dewey bermaksud untuk memperbaiki, dengan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Diharapkan, melalui sekolah tersebut John Dewey dapat berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, saling membantu, dan “bergotong royong”.
Beberapa upaya harus dilakukan sekolah agar hubungan antara sekolah dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Menurut John Dewey sekolah merupakan miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro. Ia yang merupakan: (a) cerminan masyarakat sekitarnya, dan (b) menjadi pengilham perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tokoh dan ahli pendidikan ini memandang perlu “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Jhon Dewey dengan bukunya “Democracy and Education” (1916) merupakan faktor pendorong (push factor) timbulnya Sosiologi Pendidikan, meskipun hal ini tidak terlepas bantuan ahli-ahli sosiologi. Faktor pendorong lainnya yaitu, banyaknya permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan sementara tokoh pendidikan tidak mampu mengatasi secara sendirian (mono dicipline).
Terbukti keikutsertaan Emille Durkheim (1858 – 1917) yang memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia menyatakan, ”Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan, suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para masyarakat; Keseragaman yang essential yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan diperlukan dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi di balik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam baik jenjang maupun spesialisasinya.”
Adanya social thing (ikhtiar sosial) tersebut menuntun Emille Durkheim pada suatu pendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi harus bermacam ragam sesuai dengan kondisi dan permintaan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu ahli sosiologi lain yang ikut campur tangan memecahkan pelik-pelik dunia pendidikan adalah Karl Manneim (1893 – 1947). Ia menyatakan:
“Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme dan sebagianya) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dipahami apabila kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kita mendidik manusia tidak boleh gegabah tanpa adanya pertimbangan matang, tetapi jauh sebelumnya harus kita analisis corak masyarakat di mana proses pendidikan akan berlangsung; karena baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial konteks ini berpengaruh begitu luas dan banyak dalam faktor-faktor pendidikan. Fakta tersebut merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa untuk masyarakat apa, bilamana dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Masih banyak tokoh lain yang berpartisipasi dalam memecahkan problema pendidikan, sperti Stewart yang menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri”; termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi sosial, dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti klasifikasi dan definisi dari berbagai kelompok, sistem, dan istilah-istilah lainnya. Selainitu, perlu juga membicarakan “tugas lapangan” para ilmu sosial beserta bukti-bukti umum hasil telaahan sosiologis, dengan penekanan kepada melihat kemungkinan akar sosial filosofis. Hal itu terjadi karena pada kenyatannya konklusi-konklusi hasil telaahan empiris, menuntun untuk memasuki pertimbangan-pertimbangan sosial filosofis. Stewart jelas-jelas tertarik pada pendekatan sosiologis, yang menurutnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang secara meyakinkan memakai metodologi ilmiah. Tetapi bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa aplikasinya dalam penelaahan dunia pendidikan, haruslah bermuara kepada pendiskusian dan pemantapan nilai-nilai.
Program berikutnya, Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal yaitu:
1. institusi-institusi masyarakat;
2. sosiologi dan kurikulum;
3. pendidikan bagi kebudayaan;
4. proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis;
5. kedisiplinan dan tata aturan;
6. guru dalam masyarakat, dan akhirnya; dan
7. sosiologi dan nilai.
Perkembangan sosiologi pendidikan dapat dilihat sejak adanya kuliah sosiologi pendidikan yang pertama kalinnya diberikan oleh Henry Suzzalo pada tahun 1910 di Teachers College, Universitas Columbia. Tetapi baru pada tahun 1917 terbit buku teks sosiologi pendidikan pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. Sejak tahun itu diterbitkan jornal tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sociology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. Sejak tahun 1940 terbit Review of Educational Research yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1993).
Di Indonesia, pada tahun 1967, mata kuliah Sosiologi Pendidikan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam kurikulum Jurusan didaktik dan Kurikulum, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta (Vembriarto, 1993).Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa baik ditinjau dari sudut usia, lapangan penelitiannya, maupun dari sudut kristalisasi struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih muda. Beberapa penulis berpendapat, bahwa sosiologi pendidikan sedikit demi sedikit berkembang, yaitu menjadi disiplin yang otonom yang memiliki lapangan penelitian khusus. Dalam hal ini, ia masih mengalami proses akulturasi. Proses “akulturasi” inilah yang dipergunakan oleh Cook & Cook sama artinya dengan konsep “sosialisasi” yang dipergunakan oleh Robbins sebagaimana yang terjadi di sekolah dan institusi-institusi sosial lainnya.
Sejak proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang dahsyat. Karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, urbanisasi ke kota-kota besar, perubahan dari masyarakat pertanian menuju ke masyarakat industri (dari industri pertanian ke industri ringan, yang akhirnya ke industri berat), dan masuknya pengaruh kebudayaan asing yang makin intensif dan ekstensif, semuanya itu merupakan sumber masalah-masalah sosial yang kita hadapi dewasa ini. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, adanya jurang yang dalam antara mayoritas rakyat yang miskin dan minoritas masyarakat yang kaya, pengangguran yang makin meningkat, banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah, dan pendidikan sekolah yang tidak serasi dengan tuntutan masyarakat. Semuanya itu menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi proses sosialisasi. Ditambah dengan munculnya nilai-nilai golongan, yang disebabkan oleh makin dinamiknya masyarakat. Jika hal itu dibiarkan terjadi, maka bahaya desintegrasi sosial tidak dapat dielakkan lagi. Dari sudut pandangan inilah mulai nampak kepentingan sosiologi pendidikan bagi kita.
C. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (19820-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan. Hasil-hasil pengamatan tersebut disusun secara sistematis menurut metodologi keilmuan. Sesuai dengan sejarah anatomi pertumbuhannya sebagai disiplin ilmu, maka dalam perkembangannya selanjutnya sosiologi banyak dipengaruhi satu sama lain. Sejarah perjalanan dan perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu, diungkapkan para sosiologi bahwa hal itu tidak bisa terlepas dari pengaruh pemikiran para akhli terdahulu yang banyak memusatkan telaah pada kehidupan masyarakat, seperti Plato (227-347 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Secara garis besar, Plato dalam teori sosialnya amat mementingkan masyarakat dibanding individu. Bahkan individualisme disamakan dengan egoisme, dan egoisme kelompok dengan altruisme. Oleh karena itu, Plato memandang bahwa susunan negara adalah sintesis antara aristokrasi dengan demokrasi.
Aristoteles mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sejauh merupakan kenyataan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu:
1. dalam mengungkapkan suatu philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas;
2. dalam membentuk kelompok-kelompok khusus seperti keluarga yang merangkap sebagai unit ekonomi, desa, kota, perkumpulan-perkumpulan sukarela. Dengan ini disebut koinonia;
3. dalam mendirikan negara dan pemerintahan; dan
4. dalam menunjukkan suatu keterkaitan pada peraturan-peraturan sosial, adat istiadat, kaidah-kaidah moral dan hukum (nomos) yang semuanya itu kini disebut dengan istilah pengendalian sosial.
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula.
Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa:
a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu;
b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; dan
c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metode.
Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Secara garis besar sosiologi dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (1) sosiologi umum, yang tugas utamanya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, (2) sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam. Kajian yang termasuk kategori ini adalah sosiologi masyarakat pedesaan dan perkotaan, sosiologi hukum dan sosiologi pendidikan.
Vembriarto (1993:2) menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Cook & Cook mengartikan sosiologi pendidikan sebagai penerapan pengetahuan dan teknik sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam hubungan antar manusia dan kesejahteraan materil. Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, dan utuh serta bermakna. Dalam konteks antisipasi terhadap arus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk ini para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal.
Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Kini tibalah pada pengertian dasar bahwa sosiologi pendidikan pada dasarnya memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Educatioal Sociology
Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2. Sociology of Education
Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri
3. Social Foundation of Education
Merupakan suatu bidang telaah yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan perbandingan pendidikan
Rabu, 09 Februari 2011
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan
Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi timbulnya sosiologi pendidikan adalah, kenyataan kehidupan manusia yang selalu ingin mengenal, mengetahui lebih mendalam tentang dirinya sendiri dalam berhubungan dengan dunia luar beserta isinya (Sukiman: 1992). Salah satu hal yang dapat membantu manusia memahami, mengetahui tentang dirinya sendiri adalah melalui interaksi. Melalui kegiatan tersebut individu dapat saling membutuhkan, melengkapi kekurangan, dan memperbaiki sesuatu dalam kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia tidak ada batas yang pasti. Manusia selalu merasa tidak puas dan selalu akan mencarinya. Hal ini disebabkan kondisi masyarakat selalu mengalami perubahan (dinamis). Perubahan sosial selalu akan terjadi. Faktor inilah yang menimbulkan cultural lag atau kemandekan kebudayaan.
Akibat cultural lag timbullah gejolak sosial yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi proses pendidikan. Atas dasar pertimbangan tersebut John Dewey bermaksud untuk memperbaiki, dengan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Diharapkan, melalui sekolah tersebut John Dewey dapat berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, saling membantu, dan “bergotong royong”.
Beberapa upaya harus dilakukan sekolah agar hubungan antara sekolah dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Menurut John Dewey sekolah merupakan miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro. Ia yang merupakan: (a) cerminan masyarakat sekitarnya, dan (b) menjadi pengilham perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tokoh dan ahli pendidikan ini memandang perlu “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Jhon Dewey dengan bukunya “Democracy and Education” (1916) merupakan faktor pendorong (push factor) timbulnya Sosiologi Pendidikan, meskipun hal ini tidak terlepas bantuan ahli-ahli sosiologi. Faktor pendorong lainnya yaitu, banyaknya permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan sementara tokoh pendidikan tidak mampu mengatasi secara sendirian (mono dicipline).
Terbukti keikutsertaan Emille Durkheim (1858 – 1917) yang memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia menyatakan, ”Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan, suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para masyarakat; Keseragaman yang essential yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan diperlukan dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi di balik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam baik jenjang maupun spesialisasinya.”
Adanya social thing (ikhtiar sosial) tersebut menuntun Emille Durkheim pada suatu pendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi harus bermacam ragam sesuai dengan kondisi dan permintaan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu ahli sosiologi lain yang ikut campur tangan memecahkan pelik-pelik dunia pendidikan adalah Karl Manneim (1893 – 1947). Ia menyatakan:
“Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme dan sebagianya) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dipahami apabila kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kita mendidik manusia tidak boleh gegabah tanpa adanya pertimbangan matang, tetapi jauh sebelumnya harus kita analisis corak masyarakat di mana proses pendidikan akan berlangsung; karena baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial konteks ini berpengaruh begitu luas dan banyak dalam faktor-faktor pendidikan. Fakta tersebut merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa untuk masyarakat apa, bilamana dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Masih banyak tokoh lain yang berpartisipasi dalam memecahkan problema pendidikan, sperti Stewart yang menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri”; termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi sosial, dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti klasifikasi dan definisi dari berbagai kelompok, sistem, dan istilah-istilah lainnya. Selainitu, perlu juga membicarakan “tugas lapangan” para ilmu sosial beserta bukti-bukti umum hasil telaahan sosiologis, dengan penekanan kepada melihat kemungkinan akar sosial filosofis. Hal itu terjadi karena pada kenyatannya konklusi-konklusi hasil telaahan empiris, menuntun untuk memasuki pertimbangan-pertimbangan sosial filosofis. Stewart jelas-jelas tertarik pada pendekatan sosiologis, yang menurutnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang secara meyakinkan memakai metodologi ilmiah. Tetapi bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa aplikasinya dalam penelaahan dunia pendidikan, haruslah bermuara kepada pendiskusian dan pemantapan nilai-nilai.
Program berikutnya, Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal yaitu:
1. institusi-institusi masyarakat;
2. sosiologi dan kurikulum;
3. pendidikan bagi kebudayaan;
4. proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis;
5. kedisiplinan dan tata aturan;
6. guru dalam masyarakat, dan akhirnya; dan
7. sosiologi dan nilai.
Perkembangan sosiologi pendidikan dapat dilihat sejak adanya kuliah sosiologi pendidikan yang pertama kalinnya diberikan oleh Henry Suzzalo pada tahun 1910 di Teachers College, Universitas Columbia. Tetapi baru pada tahun 1917 terbit buku teks sosiologi pendidikan pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. Sejak tahun itu diterbitkan jornal tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sociology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. Sejak tahun 1940 terbit Review of Educational Research yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1993).
Di Indonesia, pada tahun 1967, mata kuliah Sosiologi Pendidikan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam kurikulum Jurusan didaktik dan Kurikulum, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta (Vembriarto, 1993).Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa baik ditinjau dari sudut usia, lapangan penelitiannya, maupun dari sudut kristalisasi struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih muda. Beberapa penulis berpendapat, bahwa sosiologi pendidikan sedikit demi sedikit berkembang, yaitu menjadi disiplin yang otonom yang memiliki lapangan penelitian khusus. Dalam hal ini, ia masih mengalami proses akulturasi. Proses “akulturasi” inilah yang dipergunakan oleh Cook & Cook sama artinya dengan konsep “sosialisasi” yang dipergunakan oleh Robbins sebagaimana yang terjadi di sekolah dan institusi-institusi sosial lainnya.
Sejak proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang dahsyat. Karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, urbanisasi ke kota-kota besar, perubahan dari masyarakat pertanian menuju ke masyarakat industri (dari industri pertanian ke industri ringan, yang akhirnya ke industri berat), dan masuknya pengaruh kebudayaan asing yang makin intensif dan ekstensif, semuanya itu merupakan sumber masalah-masalah sosial yang kita hadapi dewasa ini. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, adanya jurang yang dalam antara mayoritas rakyat yang miskin dan minoritas masyarakat yang kaya, pengangguran yang makin meningkat, banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah, dan pendidikan sekolah yang tidak serasi dengan tuntutan masyarakat. Semuanya itu menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi proses sosialisasi. Ditambah dengan munculnya nilai-nilai golongan, yang disebabkan oleh makin dinamiknya masyarakat. Jika hal itu dibiarkan terjadi, maka bahaya desintegrasi sosial tidak dapat dielakkan lagi. Dari sudut pandangan inilah mulai nampak kepentingan sosiologi pendidikan bagi kita.
C. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (19820-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan. Hasil-hasil pengamatan tersebut disusun secara sistematis menurut metodologi keilmuan. Sesuai dengan sejarah anatomi pertumbuhannya sebagai disiplin ilmu, maka dalam perkembangannya selanjutnya sosiologi banyak dipengaruhi satu sama lain. Sejarah perjalanan dan perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu, diungkapkan para sosiologi bahwa hal itu tidak bisa terlepas dari pengaruh pemikiran para akhli terdahulu yang banyak memusatkan telaah pada kehidupan masyarakat, seperti Plato (227-347 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Secara garis besar, Plato dalam teori sosialnya amat mementingkan masyarakat dibanding individu. Bahkan individualisme disamakan dengan egoisme, dan egoisme kelompok dengan altruisme. Oleh karena itu, Plato memandang bahwa susunan negara adalah sintesis antara aristokrasi dengan demokrasi.
Aristoteles mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sejauh merupakan kenyataan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu:
1. dalam mengungkapkan suatu philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas;
2. dalam membentuk kelompok-kelompok khusus seperti keluarga yang merangkap sebagai unit ekonomi, desa, kota, perkumpulan-perkumpulan sukarela. Dengan ini disebut koinonia;
3. dalam mendirikan negara dan pemerintahan; dan
4. dalam menunjukkan suatu keterkaitan pada peraturan-peraturan sosial, adat istiadat, kaidah-kaidah moral dan hukum (nomos) yang semuanya itu kini disebut dengan istilah pengendalian sosial.
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula.
Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa:
a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu;
b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; dan
c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metode.
Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Secara garis besar sosiologi dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (1) sosiologi umum, yang tugas utamanya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, (2) sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam. Kajian yang termasuk kategori ini adalah sosiologi masyarakat pedesaan dan perkotaan, sosiologi hukum dan sosiologi pendidikan.
Vembriarto (1993:2) menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Cook & Cook mengartikan sosiologi pendidikan sebagai penerapan pengetahuan dan teknik sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam hubungan antar manusia dan kesejahteraan materil. Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, dan utuh serta bermakna. Dalam konteks antisipasi terhadap arus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk ini para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal.
Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Kini tibalah pada pengertian dasar bahwa sosiologi pendidikan pada dasarnya memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Educatioal Sociology
Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2. Sociology of Education
Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri
3. Social Foundation of Education
Merupakan suatu bidang telaah yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan perbandingan pendidikan
D. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Sosiologi pendidikan berasal dari dua kata, sosiologi dan pendidikan (Padil, 2007). Dalam dunia pendidikan, senantiasa memerlukan ilmu-ilmu lain yang dapat mendukung dan menunjang perkembangan pendidikan, di antaranya sosiologi. Sesuai dengan subyek pendidikan, yaitu manusia, maka secara langsung pendidikan membahas tentang perilaku manusia, sehingga bisa menjadi manusia yang baik, sebagai makhluk sosial dan makhluk individual. Sebagai makhluk individual, pendidikan memerlukan ilmu psikologi, tetapi sebagai makhluk sosial, pendidikan memerlukan ilmu sosial.
Berdasarkan pemikiran di atas, sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang masyarakat. Menurut Emile Durkheim (1858-1917), masyarakat itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup secara kolektif. Kehidupan masyarakat selalu memerlukan interaksi antara satu dengan yang lain, baik secara individu maupun kelompok. Seorang sosiolog Alvin Bertrand memahami sosiologi adalah sebagai suatu ilmu yang mempelajari dan menjelaskan tentang hubungan antarmanusia (human-relationship), yaitu hubungan manusia dalam segala aspek kehidupan. Mayor Polak mendefinisikan sosiologi yang lebih terperinci, yaitu sosiologi dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis maupun dinamis.
Dengan demikian, sosiologi itu adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dalam hidup di tengah-tengah masyarakat. Unsur utama dalam sosiologi itu adalah interaksi, masyarakat, proses, dan kehidupan (Padil, 2007). Pada umumnya, interaksi dilakukan oleh dua manusia atau lebih untuk melaksanakan tugas kehidupan. Tugas kehidupan melalui proses panjang yang harus dijalankan oleh manusia berdasarkan tujuan dan kebutuhan. Sebenarnya terjadinya interaksi sosial didorong oleh kebutuhan manusia dalam hidupnya. Sejauh mana manusia akan melakukan interaksi komunikasi, tergantung kepada besar-kecilnya kebutuhan hidup manusia.
Berdasarkan pengertian sosiologi di atas yang menitikberatkan kepada hubungan antarmanusia, sangat mendukung terhadap proses pendidikan secara umum. Apabila dilihat dari pengertiannya, pendidikan berasal dari kata “didik” mendapat awalan pe- dan akhiran –an menjadi pendidikan yang mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diterjemahkan dari kata education, yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, pendidikan diterjemahkan dari kata tarbiyah (Padil, 2007).
Pengertian pendidikan telah menjadi bahasan para tokoh pendidikan yang mempunyai daya tekan yang berbeda. Dari beberapa definisi pendidikan ini, ada titik temu dalam hal tujuan pendidikan. Secara sederhana, pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa. Menurut Imam Barnadib, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Menurut Zuhairini, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Definisi lain dijelaskan dalam ensiklopedia pendidikan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar memfasilitasi orang sebagai pribadi yang utuh sehingga teraktualisasi dan terkembangkan potensinya mencapai taraf pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki melalui belajar. Dari beberapa definisi pendidikan di atas dapat diambil unsur-unsur pokok antara lain (Padil, 2007):
1. usaha : kegiatan yang bersifat membimbing dan dilakukan secara sadar
2. pendidik : pembimbing
3. peserta didik : orang yang dibimbing
4. bimbingan : dilakukan berdasarkan tujuan dan dasar yang kuat
5. potensi : kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik
Dari pengertian sosiologi dan pendidikan di atas, kemudian disatukan yang dapat membentuk satu pengertian baru, yaitu pengertian sosiologi pendidikan. Para ahli telah memberikan sumbangan pemikirannya, terutama dalam mendefinisikan sosiologi pendidikan. Berikut ini beberapa definisi dari pendapat para ahli.
1. Menurut Dictionary of Sociology, Sosiologi Pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
2. E. George Payne, sosiologi pendidikan adalah the science which describes and explains the institution, social groups and social processes, that is the social relationship in which or through which the individual gains and organizes his experiences
3. Charles A. Ellwood. Sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang maksud hubungan-hubungan antara semua pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial
4. Menurut F.G. Robbins, Sosiologi Pendidikan ialah sosiologi khusus bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan
5. FG. Robbin dan Brown. Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasikan pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip mengontrolnya
6. EB. Renter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisis evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia dan dibatasi pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menetukan kepribadian sosial dari tiap-tiap individu. Jadi, prinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga sosial saling mempengaruhi
7. Menurut S. Nasution, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik
8. Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis
9. Sosiologi pendidikan adalah penerapan pengetahuan dan teknik (penelitian) sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam lapangan hubungan antar manusia dan kesejahteraan material (Cook & Cook)
10. Menurut HP Fairchild Sosiologi Pendidikan adalah Sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
11. Menurut Charles A Ellwod, Educational Sociology is the science which aims to reveal the connections at all points between the education process and the social process. Bahwa Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu Pengetahuan yang mempelajari atau bertujuan untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dengan proses sosial
12. Menurut Dr. Ell Wood Educational Sociology should be centered about the process of inter learning, learning from one another. Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu Pengetahuan yang mempelajari tentang proses belajar dan mempelajari antara orang yang satu dengan orang lain
13. Educational Sociology is interested in the impact of the total cultural milieu in which and through which experiences is acquired and organized. It is interested in finding out how to manipulated the educational process (social control) to active better personality development. Demikianlah pendapat dari W. Dodson, jelas kiranya bahwa sosiologi pendidikan itu mempersoalkan pertemuan dan pencampuran daripada lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas, dimana dalam aktivitas tersebut terbentuklah tingkah laku, dan sekolah dianggap sebagai daripada total cultural milieu, sedang sosiologi pendidikan memperbincangkan dan berusaha menemukan bagaimana memanipulasikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian
14. Menurut J.L. Gillin and J.P. Gillin dalam bukunya Cultural Sociology, bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
15. Ada lagi yang berpendapat sosiologi pendidikan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan (dari ilmu jiwa pendidikan) yang membahas proses interaksi sosial anak-anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan kondisi sosio cultural yang terdapat di dalam masyarakat dan negaranya, demikianlah pendapat dari R.B.S. Fudyartanto
16. Pendapat ALTHANS, ialah situasi terhadap interaksi daripada individu dan lingkungan sekitarnya, yang mencakup individu-individu lain, kelompok-kelompok sosial, pada tingkah laku atau kebudayaan.
17. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology (fatamorghana.wordpress.com: 2008)
18. Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense aims to reveld the connetion at all points between the cdukative process and the social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses social (ibid: 2008)
Dari beberapa pengertian sosiologi pendidikan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan dengan sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan sosiologis (Padil, 2007). EG. Payne menekankan pada prinsip-prinsip sosiologi bahwa dalam lembaga-lembaga pendidikan, kelompok-kelompok sosial, proses sosial terdapat interaksi sosial, di mana dengan interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisir pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Charles A. Ellwood menekankan kepada hubungan antara proses pendidikan dan proses sosial. Selama ini, antara proses sosial dan proses pendidikan berjalan sendiri-sendiri, yang menimbulkan problem yang berbeda-beda dan cara pemecahan yang berbeda pula. Dengan sosiologi pendidikan, keduanya dapat dipadukan sehingga problem-problem yang muncul dapat dipecahkan secara tuntas. FG. Robbin lebih menekan kepada fungsi hubungan sosial yang dapat mempengaruhi individu. Pengaruh tersebut harus berupa pengalaman yang berguna baginya. EB. Renter menyadari bahwa pengaruh pendidikan sangat besar dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan diharapkan dapat membentuk kepribadian manusia sesuai dengan nilai-nilai sosial. Apabila pendidikan tidak mampu mewarnai kepribadian manusia, maka pengaruh sosial lebih dominan dalam mempengaruhi kehidupan sosialnya. Sedangkan S. Nasution menekankan pada pembentuk kepribadian individual melalui proses pendidikan dan sosial.
Pada awalnya sosiologi berkembang sesuai dengan obyek dan tujuannya sendiri, demikian pula pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat mengalami perubahan sangat cepat, progresif, dan kerap kali menunjukkan gejala “desintegratif” (berkurangnya kesetiaan terhadap nilai-nilai umum). Perubahan sosial yang cepat menimbulkan “cultural lag” (ketinggalan kebudayaan akibat adanya hambatan-hambatan). Cultural lag ini merupakan sumber masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Masalah-masalah sosial juga dialami dunia pendidikan, sehingga lembaga-lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya. Maka para ahli sosiologi diharapkan dapat menyumbangkan pemikirannya untuk ikut memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental (Gunawan, 2003).
Perkembangan masyarakat yang sangat kompleks memerlukan ilmu pengetahuan yang kompleks pula. Salah satunya adalah sosiologi pendidikan. Secara selintas “sosiolisasi” yang dilakukan dengan baik akan sangat membantu pelaksanaan sosiologi pendidikan. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sosialisasi ialah proses membimbing individu ke dalam dunia sosial. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu pada kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya, agar ia menjadi anggota masyarakat yang baik termasuk juga dalam berbagai kelompok khusus. Jadi sosialisasi juga dapat dianggap sebagai pendidikan atau memanusiakan diri. Sedang pendidikan adalah proses memanusiakan manusia secara manusiawi, disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi sosialnya.
Sosialisasi adalah masalah belajar, dalam proses sosialisasi individu belajar bertingkah laku, kebiasaan, serta pola-pola kebudayaan lainnya, juga belajar tentang keterampilan-keterampilan sosial seperti berbahasa, bergaul, berpakaian, cara makan, dan sebagainya. seluruh proses sosialisasi berlangsung dalam interaksi individu dengan lingkungan, seperti orang tua, saudara-saudara, guru-guru, teman sekolah/sepermainan, informasi-informasi insidental seperti membaca buku, mendengarkan radio, menonton TV, mendengar percakapan orang lain, berinteraksi dengan lingkungan, dan sebagainya. Dalam hal ini yang penting adalah penggunaan “filter” untuk menyaring hal-hal yang kurang atau tidak baik.
Dari interaksi anak dengan lingkungannya, lambat laun ia akan memperoleh kesadaran akan dirinya sebagai pribadi. Ia juga belajar memandang dirinya sebagai objek, seperti orang lain memandang dirinya. Ia akan dapat mengatur kelakuannya seperti yang diharapkan orang lain dari padanya. Ia dapat merasakan tentang perbuatannya yang salah, dan harus meminta maaf. Dengan menyadari dirinya sebagai pribadi, ia dapat menempatkan diri dalam struktur sosial, dapat mengharapkan konsekuensi positif bila berkelakuan menurut norma yang berlaku, atau menerima akibat yang negatif atas kelakuannya/tindakannya yang melanggar norma yang berlaku. Dengan demikian akhirnya ia lebih mengenal dirinya dalam lingkungan sosialnya, dapat menyesuaikan kelakuan dan tindakannya sesuai harapan masyarakatnya, sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang baik melalui proses sosialisasi yang dilaluinya. Jadi dalam interaksi sosial ia memperoleh “self concept” tentang dirinya atau menemukan jati dirinya.
Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi timbulnya sosiologi pendidikan adalah, kenyataan kehidupan manusia yang selalu ingin mengenal, mengetahui lebih mendalam tentang dirinya sendiri dalam berhubungan dengan dunia luar beserta isinya (Sukiman: 1992). Salah satu hal yang dapat membantu manusia memahami, mengetahui tentang dirinya sendiri adalah melalui interaksi. Melalui kegiatan tersebut individu dapat saling membutuhkan, melengkapi kekurangan, dan memperbaiki sesuatu dalam kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia tidak ada batas yang pasti. Manusia selalu merasa tidak puas dan selalu akan mencarinya. Hal ini disebabkan kondisi masyarakat selalu mengalami perubahan (dinamis). Perubahan sosial selalu akan terjadi. Faktor inilah yang menimbulkan cultural lag atau kemandekan kebudayaan.
Akibat cultural lag timbullah gejolak sosial yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi proses pendidikan. Atas dasar pertimbangan tersebut John Dewey bermaksud untuk memperbaiki, dengan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Diharapkan, melalui sekolah tersebut John Dewey dapat berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, saling membantu, dan “bergotong royong”.
Beberapa upaya harus dilakukan sekolah agar hubungan antara sekolah dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Menurut John Dewey sekolah merupakan miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro. Ia yang merupakan: (a) cerminan masyarakat sekitarnya, dan (b) menjadi pengilham perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tokoh dan ahli pendidikan ini memandang perlu “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Jhon Dewey dengan bukunya “Democracy and Education” (1916) merupakan faktor pendorong (push factor) timbulnya Sosiologi Pendidikan, meskipun hal ini tidak terlepas bantuan ahli-ahli sosiologi. Faktor pendorong lainnya yaitu, banyaknya permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan sementara tokoh pendidikan tidak mampu mengatasi secara sendirian (mono dicipline).
Terbukti keikutsertaan Emille Durkheim (1858 – 1917) yang memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia menyatakan, ”Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan, suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para masyarakat; Keseragaman yang essential yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan diperlukan dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi di balik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam baik jenjang maupun spesialisasinya.”
Adanya social thing (ikhtiar sosial) tersebut menuntun Emille Durkheim pada suatu pendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi harus bermacam ragam sesuai dengan kondisi dan permintaan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu ahli sosiologi lain yang ikut campur tangan memecahkan pelik-pelik dunia pendidikan adalah Karl Manneim (1893 – 1947). Ia menyatakan:
“Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme dan sebagianya) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dipahami apabila kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kita mendidik manusia tidak boleh gegabah tanpa adanya pertimbangan matang, tetapi jauh sebelumnya harus kita analisis corak masyarakat di mana proses pendidikan akan berlangsung; karena baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial konteks ini berpengaruh begitu luas dan banyak dalam faktor-faktor pendidikan. Fakta tersebut merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa untuk masyarakat apa, bilamana dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Masih banyak tokoh lain yang berpartisipasi dalam memecahkan problema pendidikan, sperti Stewart yang menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri”; termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi sosial, dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti klasifikasi dan definisi dari berbagai kelompok, sistem, dan istilah-istilah lainnya. Selainitu, perlu juga membicarakan “tugas lapangan” para ilmu sosial beserta bukti-bukti umum hasil telaahan sosiologis, dengan penekanan kepada melihat kemungkinan akar sosial filosofis. Hal itu terjadi karena pada kenyatannya konklusi-konklusi hasil telaahan empiris, menuntun untuk memasuki pertimbangan-pertimbangan sosial filosofis. Stewart jelas-jelas tertarik pada pendekatan sosiologis, yang menurutnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang secara meyakinkan memakai metodologi ilmiah. Tetapi bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa aplikasinya dalam penelaahan dunia pendidikan, haruslah bermuara kepada pendiskusian dan pemantapan nilai-nilai.
Program berikutnya, Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal yaitu:
1. institusi-institusi masyarakat;
2. sosiologi dan kurikulum;
3. pendidikan bagi kebudayaan;
4. proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis;
5. kedisiplinan dan tata aturan;
6. guru dalam masyarakat, dan akhirnya; dan
7. sosiologi dan nilai.
Perkembangan sosiologi pendidikan dapat dilihat sejak adanya kuliah sosiologi pendidikan yang pertama kalinnya diberikan oleh Henry Suzzalo pada tahun 1910 di Teachers College, Universitas Columbia. Tetapi baru pada tahun 1917 terbit buku teks sosiologi pendidikan pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. Sejak tahun itu diterbitkan jornal tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sociology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. Sejak tahun 1940 terbit Review of Educational Research yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1993).
Di Indonesia, pada tahun 1967, mata kuliah Sosiologi Pendidikan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam kurikulum Jurusan didaktik dan Kurikulum, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta (Vembriarto, 1993).Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa baik ditinjau dari sudut usia, lapangan penelitiannya, maupun dari sudut kristalisasi struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih muda. Beberapa penulis berpendapat, bahwa sosiologi pendidikan sedikit demi sedikit berkembang, yaitu menjadi disiplin yang otonom yang memiliki lapangan penelitian khusus. Dalam hal ini, ia masih mengalami proses akulturasi. Proses “akulturasi” inilah yang dipergunakan oleh Cook & Cook sama artinya dengan konsep “sosialisasi” yang dipergunakan oleh Robbins sebagaimana yang terjadi di sekolah dan institusi-institusi sosial lainnya.
Sejak proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang dahsyat. Karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, urbanisasi ke kota-kota besar, perubahan dari masyarakat pertanian menuju ke masyarakat industri (dari industri pertanian ke industri ringan, yang akhirnya ke industri berat), dan masuknya pengaruh kebudayaan asing yang makin intensif dan ekstensif, semuanya itu merupakan sumber masalah-masalah sosial yang kita hadapi dewasa ini. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, adanya jurang yang dalam antara mayoritas rakyat yang miskin dan minoritas masyarakat yang kaya, pengangguran yang makin meningkat, banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah, dan pendidikan sekolah yang tidak serasi dengan tuntutan masyarakat. Semuanya itu menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi proses sosialisasi. Ditambah dengan munculnya nilai-nilai golongan, yang disebabkan oleh makin dinamiknya masyarakat. Jika hal itu dibiarkan terjadi, maka bahaya desintegrasi sosial tidak dapat dielakkan lagi. Dari sudut pandangan inilah mulai nampak kepentingan sosiologi pendidikan bagi kita.
C. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (19820-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan. Hasil-hasil pengamatan tersebut disusun secara sistematis menurut metodologi keilmuan. Sesuai dengan sejarah anatomi pertumbuhannya sebagai disiplin ilmu, maka dalam perkembangannya selanjutnya sosiologi banyak dipengaruhi satu sama lain. Sejarah perjalanan dan perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu, diungkapkan para sosiologi bahwa hal itu tidak bisa terlepas dari pengaruh pemikiran para akhli terdahulu yang banyak memusatkan telaah pada kehidupan masyarakat, seperti Plato (227-347 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Secara garis besar, Plato dalam teori sosialnya amat mementingkan masyarakat dibanding individu. Bahkan individualisme disamakan dengan egoisme, dan egoisme kelompok dengan altruisme. Oleh karena itu, Plato memandang bahwa susunan negara adalah sintesis antara aristokrasi dengan demokrasi.
Aristoteles mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sejauh merupakan kenyataan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu:
1. dalam mengungkapkan suatu philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas;
2. dalam membentuk kelompok-kelompok khusus seperti keluarga yang merangkap sebagai unit ekonomi, desa, kota, perkumpulan-perkumpulan sukarela. Dengan ini disebut koinonia;
3. dalam mendirikan negara dan pemerintahan; dan
4. dalam menunjukkan suatu keterkaitan pada peraturan-peraturan sosial, adat istiadat, kaidah-kaidah moral dan hukum (nomos) yang semuanya itu kini disebut dengan istilah pengendalian sosial.
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula.
Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa:
a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu;
b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; dan
c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metode.
Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Secara garis besar sosiologi dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (1) sosiologi umum, yang tugas utamanya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, (2) sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam. Kajian yang termasuk kategori ini adalah sosiologi masyarakat pedesaan dan perkotaan, sosiologi hukum dan sosiologi pendidikan.
Vembriarto (1993:2) menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Cook & Cook mengartikan sosiologi pendidikan sebagai penerapan pengetahuan dan teknik sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam hubungan antar manusia dan kesejahteraan materil. Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, dan utuh serta bermakna. Dalam konteks antisipasi terhadap arus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk ini para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal.
Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Kini tibalah pada pengertian dasar bahwa sosiologi pendidikan pada dasarnya memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Educatioal Sociology
Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2. Sociology of Education
Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri
3. Social Foundation of Education
Merupakan suatu bidang telaah yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan perbandingan pendidikan
D. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Sosiologi pendidikan berasal dari dua kata, sosiologi dan pendidikan (Padil, 2007). Dalam dunia pendidikan, senantiasa memerlukan ilmu-ilmu lain yang dapat mendukung dan menunjang perkembangan pendidikan, di antaranya sosiologi. Sesuai dengan subyek pendidikan, yaitu manusia, maka secara langsung pendidikan membahas tentang perilaku manusia, sehingga bisa menjadi manusia yang baik, sebagai makhluk sosial dan makhluk individual. Sebagai makhluk individual, pendidikan memerlukan ilmu psikologi, tetapi sebagai makhluk sosial, pendidikan memerlukan ilmu sosial.
Berdasarkan pemikiran di atas, sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang masyarakat. Menurut Emile Durkheim (1858-1917), masyarakat itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup secara kolektif. Kehidupan masyarakat selalu memerlukan interaksi antara satu dengan yang lain, baik secara individu maupun kelompok. Seorang sosiolog Alvin Bertrand memahami sosiologi adalah sebagai suatu ilmu yang mempelajari dan menjelaskan tentang hubungan antarmanusia (human-relationship), yaitu hubungan manusia dalam segala aspek kehidupan. Mayor Polak mendefinisikan sosiologi yang lebih terperinci, yaitu sosiologi dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis maupun dinamis.
Dengan demikian, sosiologi itu adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dalam hidup di tengah-tengah masyarakat. Unsur utama dalam sosiologi itu adalah interaksi, masyarakat, proses, dan kehidupan (Padil, 2007). Pada umumnya, interaksi dilakukan oleh dua manusia atau lebih untuk melaksanakan tugas kehidupan. Tugas kehidupan melalui proses panjang yang harus dijalankan oleh manusia berdasarkan tujuan dan kebutuhan. Sebenarnya terjadinya interaksi sosial didorong oleh kebutuhan manusia dalam hidupnya. Sejauh mana manusia akan melakukan interaksi komunikasi, tergantung kepada besar-kecilnya kebutuhan hidup manusia.
Berdasarkan pengertian sosiologi di atas yang menitikberatkan kepada hubungan antarmanusia, sangat mendukung terhadap proses pendidikan secara umum. Apabila dilihat dari pengertiannya, pendidikan berasal dari kata “didik” mendapat awalan pe- dan akhiran –an menjadi pendidikan yang mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diterjemahkan dari kata education, yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, pendidikan diterjemahkan dari kata tarbiyah (Padil, 2007).
Pengertian pendidikan telah menjadi bahasan para tokoh pendidikan yang mempunyai daya tekan yang berbeda. Dari beberapa definisi pendidikan ini, ada titik temu dalam hal tujuan pendidikan. Secara sederhana, pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa. Menurut Imam Barnadib, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Menurut Zuhairini, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Definisi lain dijelaskan dalam ensiklopedia pendidikan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar memfasilitasi orang sebagai pribadi yang utuh sehingga teraktualisasi dan terkembangkan potensinya mencapai taraf pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki melalui belajar. Dari beberapa definisi pendidikan di atas dapat diambil unsur-unsur pokok antara lain (Padil, 2007):
1. usaha : kegiatan yang bersifat membimbing dan dilakukan secara sadar
2. pendidik : pembimbing
3. peserta didik : orang yang dibimbing
4. bimbingan : dilakukan berdasarkan tujuan dan dasar yang kuat
5. potensi : kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik
Dari pengertian sosiologi dan pendidikan di atas, kemudian disatukan yang dapat membentuk satu pengertian baru, yaitu pengertian sosiologi pendidikan. Para ahli telah memberikan sumbangan pemikirannya, terutama dalam mendefinisikan sosiologi pendidikan. Berikut ini beberapa definisi dari pendapat para ahli.
1. Menurut Dictionary of Sociology, Sosiologi Pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
2. E. George Payne, sosiologi pendidikan adalah the science which describes and explains the institution, social groups and social processes, that is the social relationship in which or through which the individual gains and organizes his experiences
3. Charles A. Ellwood. Sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang maksud hubungan-hubungan antara semua pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial
4. Menurut F.G. Robbins, Sosiologi Pendidikan ialah sosiologi khusus bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan
5. FG. Robbin dan Brown. Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasikan pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip mengontrolnya
6. EB. Renter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisis evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia dan dibatasi pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menetukan kepribadian sosial dari tiap-tiap individu. Jadi, prinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga sosial saling mempengaruhi
7. Menurut S. Nasution, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik
8. Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis
9. Sosiologi pendidikan adalah penerapan pengetahuan dan teknik (penelitian) sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam lapangan hubungan antar manusia dan kesejahteraan material (Cook & Cook)
10. Menurut HP Fairchild Sosiologi Pendidikan adalah Sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
11. Menurut Charles A Ellwod, Educational Sociology is the science which aims to reveal the connections at all points between the education process and the social process. Bahwa Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu Pengetahuan yang mempelajari atau bertujuan untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dengan proses sosial
12. Menurut Dr. Ell Wood Educational Sociology should be centered about the process of inter learning, learning from one another. Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu Pengetahuan yang mempelajari tentang proses belajar dan mempelajari antara orang yang satu dengan orang lain
13. Educational Sociology is interested in the impact of the total cultural milieu in which and through which experiences is acquired and organized. It is interested in finding out how to manipulated the educational process (social control) to active better personality development. Demikianlah pendapat dari W. Dodson, jelas kiranya bahwa sosiologi pendidikan itu mempersoalkan pertemuan dan pencampuran daripada lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas, dimana dalam aktivitas tersebut terbentuklah tingkah laku, dan sekolah dianggap sebagai daripada total cultural milieu, sedang sosiologi pendidikan memperbincangkan dan berusaha menemukan bagaimana memanipulasikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian
14. Menurut J.L. Gillin and J.P. Gillin dalam bukunya Cultural Sociology, bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
15. Ada lagi yang berpendapat sosiologi pendidikan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan (dari ilmu jiwa pendidikan) yang membahas proses interaksi sosial anak-anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan kondisi sosio cultural yang terdapat di dalam masyarakat dan negaranya, demikianlah pendapat dari R.B.S. Fudyartanto
16. Pendapat ALTHANS, ialah situasi terhadap interaksi daripada individu dan lingkungan sekitarnya, yang mencakup individu-individu lain, kelompok-kelompok sosial, pada tingkah laku atau kebudayaan.
17. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology (fatamorghana.wordpress.com: 2008)
18. Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense aims to reveld the connetion at all points between the cdukative process and the social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses social (ibid: 2008)
Dari beberapa pengertian sosiologi pendidikan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan dengan sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan sosiologis (Padil, 2007). EG. Payne menekankan pada prinsip-prinsip sosiologi bahwa dalam lembaga-lembaga pendidikan, kelompok-kelompok sosial, proses sosial terdapat interaksi sosial, di mana dengan interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisir pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Charles A. Ellwood menekankan kepada hubungan antara proses pendidikan dan proses sosial. Selama ini, antara proses sosial dan proses pendidikan berjalan sendiri-sendiri, yang menimbulkan problem yang berbeda-beda dan cara pemecahan yang berbeda pula. Dengan sosiologi pendidikan, keduanya dapat dipadukan sehingga problem-problem yang muncul dapat dipecahkan secara tuntas. FG. Robbin lebih menekan kepada fungsi hubungan sosial yang dapat mempengaruhi individu. Pengaruh tersebut harus berupa pengalaman yang berguna baginya. EB. Renter menyadari bahwa pengaruh pendidikan sangat besar dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan diharapkan dapat membentuk kepribadian manusia sesuai dengan nilai-nilai sosial. Apabila pendidikan tidak mampu mewarnai kepribadian manusia, maka pengaruh sosial lebih dominan dalam mempengaruhi kehidupan sosialnya. Sedangkan S. Nasution menekankan pada pembentuk kepribadian individual melalui proses pendidikan dan sosial.
Pada awalnya sosiologi berkembang sesuai dengan obyek dan tujuannya sendiri, demikian pula pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat mengalami perubahan sangat cepat, progresif, dan kerap kali menunjukkan gejala “desintegratif” (berkurangnya kesetiaan terhadap nilai-nilai umum). Perubahan sosial yang cepat menimbulkan “cultural lag” (ketinggalan kebudayaan akibat adanya hambatan-hambatan). Cultural lag ini merupakan sumber masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Masalah-masalah sosial juga dialami dunia pendidikan, sehingga lembaga-lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya. Maka para ahli sosiologi diharapkan dapat menyumbangkan pemikirannya untuk ikut memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental (Gunawan, 2003).
Perkembangan masyarakat yang sangat kompleks memerlukan ilmu pengetahuan yang kompleks pula. Salah satunya adalah sosiologi pendidikan. Secara selintas “sosiolisasi” yang dilakukan dengan baik akan sangat membantu pelaksanaan sosiologi pendidikan. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sosialisasi ialah proses membimbing individu ke dalam dunia sosial. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu pada kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya, agar ia menjadi anggota masyarakat yang baik termasuk juga dalam berbagai kelompok khusus. Jadi sosialisasi juga dapat dianggap sebagai pendidikan atau memanusiakan diri. Sedang pendidikan adalah proses memanusiakan manusia secara manusiawi, disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi sosialnya.
Sosialisasi adalah masalah belajar, dalam proses sosialisasi individu belajar bertingkah laku, kebiasaan, serta pola-pola kebudayaan lainnya, juga belajar tentang keterampilan-keterampilan sosial seperti berbahasa, bergaul, berpakaian, cara makan, dan sebagainya. seluruh proses sosialisasi berlangsung dalam interaksi individu dengan lingkungan, seperti orang tua, saudara-saudara, guru-guru, teman sekolah/sepermainan, informasi-informasi insidental seperti membaca buku, mendengarkan radio, menonton TV, mendengar percakapan orang lain, berinteraksi dengan lingkungan, dan sebagainya. Dalam hal ini yang penting adalah penggunaan “filter” untuk menyaring hal-hal yang kurang atau tidak baik.
Dari interaksi anak dengan lingkungannya, lambat laun ia akan memperoleh kesadaran akan dirinya sebagai pribadi. Ia juga belajar memandang dirinya sebagai objek, seperti orang lain memandang dirinya. Ia akan dapat mengatur kelakuannya seperti yang diharapkan orang lain dari padanya. Ia dapat merasakan tentang perbuatannya yang salah, dan harus meminta maaf. Dengan menyadari dirinya sebagai pribadi, ia dapat menempatkan diri dalam struktur sosial, dapat mengharapkan konsekuensi positif bila berkelakuan menurut norma yang berlaku, atau menerima akibat yang negatif atas kelakuannya/tindakannya yang melanggar norma yang berlaku. Dengan demikian akhirnya ia lebih mengenal dirinya dalam lingkungan sosialnya, dapat menyesuaikan kelakuan dan tindakannya sesuai harapan masyarakatnya, sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang baik melalui proses sosialisasi yang dilaluinya. Jadi dalam interaksi sosial ia memperoleh “self concept” tentang dirinya atau menemukan jati dirinya.
Langganan:
Postingan (Atom)