Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi semua bentuk pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik di setiap tingkatan pemerintahan.Terkait dengan jangkauan atau ruang lingkup ini sebenarnya kita bleh mengingat betapa sejak kita dalam kandungan hingga kelak meninggal selalu berhadapan dengan pelayanan publik.
Ini penting dimengerti karena kepentingan manusia hidup dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai warga negara memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana efek doktrin kontrak sosial.
Selagi masih dalam kandungan kita sudah berhadapan dengan pelayanan publik di bidang kesehatan karena ibu kita memeriksakan kesehatan kita di puskesmas. Lahir juga harus dibuatkan akte kelahiran, berarti harus juga berhadapan dengan pelayanan publik. Matipun kita memerlukan catatan kematian agar hak pensiun tidak terhambat diterima.Sejumalh cntoh tersebut menandai bahwa sebenarnya pelayanan publik menjadi hal penting yang harus menjadi perhatian negara atau pemerintah.Bagi negara, pelayanan kepada masyarakat menjadi kewajiban yang harus diutamakan pemenuhannya.
Tujuan Pelayanan Publik
1. Mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban,a dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan secara maksimal.
3. Mewujudkan sistem yang baik dalam hal pelayanan publik.
4. Mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan sesuai mekanisme yang berlaku.
Hak Penerima Layanan
1. Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas2 dan tujuan pelayanan publik serta sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan.
2. Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prsedur dalam pelayanan publik.
3. Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik
4. Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah
5. Memperleh kmpensasi apabila tidak mendapat pelayanan sesu8ai standar pelayanan yang telah ditetapkan.
6. Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau kmisi pelayanan publik untuk mendapatkan penyelesaian,
7. Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku
8. Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Kewajiban Penerima Layanan
1. Mentaati mekanisme, prsdedur, dan persyaratan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
2. Memelihara dan menjaga berbagai sarana dan prasarana pelayanan publik
3. Mengawaasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam penyelesaian sengketa
4. Beritikan baik, sopan dan ramah.
Kewajiban Penyelenggara Layanan Publik
1. Mengundang penerima layanan dan berbagai pihak yang berkepentingan untuk merumuskan standar pelayanan dan melakukan pengawasan atas praktek pelayanan publik.
2. Menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai standar yang telah ditetapkan
3. Mengelola pengaduan dari penerima layanan sesuai mekanisme
4. Menyampaikan pertanggungjawaban secara periodik atas kerja pelayanan yang telah dilakukan
5. Memberikan kompensasi atas pelayanan yang tidak sesuai standar
6. Mematuhi ketentuan dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik
7. Mematuhi perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelaynan publik.
Hak Penyelenggara Layanan Publik
Mendapatkan penghargaan atas prestasinya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
bersambung
Minggu, 27 Maret 2011
Rabu, 16 Maret 2011
ADMINISTRASI PELAYANAN PUBLIK
Administrasi Pelayanan Publik
Tulisan bersambung yang hendak saya kerjakan ini dibingkai oleh topic Administrasi Pelayanam Publik. Memudahkan pemahaman pada kajian yang relative baru ini maka dipandang akan menjadi baik jika saya mengawalinya dengan uraian mengenai paradigma (model berpikir) terkait administrasi public dulu. Uraian ini lebih merupakan hasil elaborasi dari pemikiran beberapa kolega, terutama Prof. Ginanjar Kartasasmita.
Klasik
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.
Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.
Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.
Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan administrasi publik pada tataran yang makin menonjol. Program rehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peran administrasi publik.
Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pcmbangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.
Pada dua dasawarsa akhir abad ke 20, dunia kembali mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial.
Modern
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government.
Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep ”New Public Management” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.
Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalam administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseran paradigma government kepada paradigma governance.
Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. Istilah e-government dan e-governance merupakan cerminan dari penerapan teknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.
Tantangan Administrasi Publik
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber dana politik atau pusat terjadinya korupsi. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections).
Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan atau mengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas.
Revitalisasi administrasi publik
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik-alam, maupun lingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah.
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).
Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).
Namun pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itu diperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.
Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling-silang gagasan (cross-fertilization).
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirarkis dari bawah ke atas, di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat paternalistic (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management: yang menuntut harus adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result oriented dan bukan hanya effort oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telah mempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo. Pengalaman empirisnya telah dijadikan dasar penelitian dan disertasi Doktor di Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.
Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutama dilapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompok elite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat kecil.
Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, brokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rule), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.
Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota,harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnya dengan desentralisasi dan otonomi terjawab banyak sekali persoalan; salah satu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengan desentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat. Namun konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan. Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerah harus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi di daerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.
(bersambung)
Tulisan bersambung yang hendak saya kerjakan ini dibingkai oleh topic Administrasi Pelayanam Publik. Memudahkan pemahaman pada kajian yang relative baru ini maka dipandang akan menjadi baik jika saya mengawalinya dengan uraian mengenai paradigma (model berpikir) terkait administrasi public dulu. Uraian ini lebih merupakan hasil elaborasi dari pemikiran beberapa kolega, terutama Prof. Ginanjar Kartasasmita.
Klasik
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.
Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.
Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.
Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan administrasi publik pada tataran yang makin menonjol. Program rehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peran administrasi publik.
Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pcmbangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.
Pada dua dasawarsa akhir abad ke 20, dunia kembali mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial.
Modern
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government.
Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep ”New Public Management” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.
Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalam administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseran paradigma government kepada paradigma governance.
Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. Istilah e-government dan e-governance merupakan cerminan dari penerapan teknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.
Tantangan Administrasi Publik
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber dana politik atau pusat terjadinya korupsi. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections).
Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan atau mengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas.
Revitalisasi administrasi publik
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik-alam, maupun lingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah.
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).
Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).
Namun pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itu diperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.
Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling-silang gagasan (cross-fertilization).
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirarkis dari bawah ke atas, di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat paternalistic (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management: yang menuntut harus adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result oriented dan bukan hanya effort oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telah mempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo. Pengalaman empirisnya telah dijadikan dasar penelitian dan disertasi Doktor di Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.
Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutama dilapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompok elite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat kecil.
Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, brokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rule), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.
Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota,harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnya dengan desentralisasi dan otonomi terjawab banyak sekali persoalan; salah satu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengan desentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat. Namun konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan. Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerah harus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi di daerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.
(bersambung)
Kamis, 03 Maret 2011
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
B. Latar Belakang Timbulnya Sosiologi Pendidikan
Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi timbulnya sosiologi pendidikan adalah, kenyataan kehidupan manusia yang selalu ingin mengenal, mengetahui lebih mendalam tentang dirinya sendiri dalam berhubungan dengan dunia luar beserta isinya (Sukiman: 1992). Salah satu hal yang dapat membantu manusia memahami, mengetahui tentang dirinya sendiri adalah melalui interaksi. Melalui kegiatan tersebut individu dapat saling membutuhkan, melengkapi kekurangan, dan memperbaiki sesuatu dalam kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia tidak ada batas yang pasti. Manusia selalu merasa tidak puas dan selalu akan mencarinya. Hal ini disebabkan kondisi masyarakat selalu mengalami perubahan (dinamis). Perubahan sosial selalu akan terjadi. Faktor inilah yang menimbulkan cultural lag atau kemandekan kebudayaan.
Akibat cultural lag timbullah gejolak sosial yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi proses pendidikan. Atas dasar pertimbangan tersebut John Dewey bermaksud untuk memperbaiki, dengan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Diharapkan, melalui sekolah tersebut John Dewey dapat berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, saling membantu, dan “bergotong royong”.
Beberapa upaya harus dilakukan sekolah agar hubungan antara sekolah dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Menurut John Dewey sekolah merupakan miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro. Ia yang merupakan: (a) cerminan masyarakat sekitarnya, dan (b) menjadi pengilham perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tokoh dan ahli pendidikan ini memandang perlu “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Jhon Dewey dengan bukunya “Democracy and Education” (1916) merupakan faktor pendorong (push factor) timbulnya Sosiologi Pendidikan, meskipun hal ini tidak terlepas bantuan ahli-ahli sosiologi. Faktor pendorong lainnya yaitu, banyaknya permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan sementara tokoh pendidikan tidak mampu mengatasi secara sendirian (mono dicipline).
Terbukti keikutsertaan Emille Durkheim (1858 – 1917) yang memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia menyatakan, ”Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan, suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para masyarakat; Keseragaman yang essential yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan diperlukan dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi di balik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam baik jenjang maupun spesialisasinya.”
Adanya social thing (ikhtiar sosial) tersebut menuntun Emille Durkheim pada suatu pendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi harus bermacam ragam sesuai dengan kondisi dan permintaan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu ahli sosiologi lain yang ikut campur tangan memecahkan pelik-pelik dunia pendidikan adalah Karl Manneim (1893 – 1947). Ia menyatakan:
“Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme dan sebagianya) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dipahami apabila kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kita mendidik manusia tidak boleh gegabah tanpa adanya pertimbangan matang, tetapi jauh sebelumnya harus kita analisis corak masyarakat di mana proses pendidikan akan berlangsung; karena baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial konteks ini berpengaruh begitu luas dan banyak dalam faktor-faktor pendidikan. Fakta tersebut merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa untuk masyarakat apa, bilamana dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Masih banyak tokoh lain yang berpartisipasi dalam memecahkan problema pendidikan, sperti Stewart yang menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri”; termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi sosial, dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti klasifikasi dan definisi dari berbagai kelompok, sistem, dan istilah-istilah lainnya. Selainitu, perlu juga membicarakan “tugas lapangan” para ilmu sosial beserta bukti-bukti umum hasil telaahan sosiologis, dengan penekanan kepada melihat kemungkinan akar sosial filosofis. Hal itu terjadi karena pada kenyatannya konklusi-konklusi hasil telaahan empiris, menuntun untuk memasuki pertimbangan-pertimbangan sosial filosofis. Stewart jelas-jelas tertarik pada pendekatan sosiologis, yang menurutnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang secara meyakinkan memakai metodologi ilmiah. Tetapi bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa aplikasinya dalam penelaahan dunia pendidikan, haruslah bermuara kepada pendiskusian dan pemantapan nilai-nilai.
Program berikutnya, Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal yaitu:
1. institusi-institusi masyarakat;
2. sosiologi dan kurikulum;
3. pendidikan bagi kebudayaan;
4. proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis;
5. kedisiplinan dan tata aturan;
6. guru dalam masyarakat, dan akhirnya; dan
7. sosiologi dan nilai.
Perkembangan sosiologi pendidikan dapat dilihat sejak adanya kuliah sosiologi pendidikan yang pertama kalinnya diberikan oleh Henry Suzzalo pada tahun 1910 di Teachers College, Universitas Columbia. Tetapi baru pada tahun 1917 terbit buku teks sosiologi pendidikan pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. Sejak tahun itu diterbitkan jornal tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sociology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. Sejak tahun 1940 terbit Review of Educational Research yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1993).
Di Indonesia, pada tahun 1967, mata kuliah Sosiologi Pendidikan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam kurikulum Jurusan didaktik dan Kurikulum, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta (Vembriarto, 1993).Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa baik ditinjau dari sudut usia, lapangan penelitiannya, maupun dari sudut kristalisasi struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih muda. Beberapa penulis berpendapat, bahwa sosiologi pendidikan sedikit demi sedikit berkembang, yaitu menjadi disiplin yang otonom yang memiliki lapangan penelitian khusus. Dalam hal ini, ia masih mengalami proses akulturasi. Proses “akulturasi” inilah yang dipergunakan oleh Cook & Cook sama artinya dengan konsep “sosialisasi” yang dipergunakan oleh Robbins sebagaimana yang terjadi di sekolah dan institusi-institusi sosial lainnya.
Sejak proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang dahsyat. Karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, urbanisasi ke kota-kota besar, perubahan dari masyarakat pertanian menuju ke masyarakat industri (dari industri pertanian ke industri ringan, yang akhirnya ke industri berat), dan masuknya pengaruh kebudayaan asing yang makin intensif dan ekstensif, semuanya itu merupakan sumber masalah-masalah sosial yang kita hadapi dewasa ini. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, adanya jurang yang dalam antara mayoritas rakyat yang miskin dan minoritas masyarakat yang kaya, pengangguran yang makin meningkat, banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah, dan pendidikan sekolah yang tidak serasi dengan tuntutan masyarakat. Semuanya itu menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi proses sosialisasi. Ditambah dengan munculnya nilai-nilai golongan, yang disebabkan oleh makin dinamiknya masyarakat. Jika hal itu dibiarkan terjadi, maka bahaya desintegrasi sosial tidak dapat dielakkan lagi. Dari sudut pandangan inilah mulai nampak kepentingan sosiologi pendidikan bagi kita.
C. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (19820-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan. Hasil-hasil pengamatan tersebut disusun secara sistematis menurut metodologi keilmuan. Sesuai dengan sejarah anatomi pertumbuhannya sebagai disiplin ilmu, maka dalam perkembangannya selanjutnya sosiologi banyak dipengaruhi satu sama lain. Sejarah perjalanan dan perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu, diungkapkan para sosiologi bahwa hal itu tidak bisa terlepas dari pengaruh pemikiran para akhli terdahulu yang banyak memusatkan telaah pada kehidupan masyarakat, seperti Plato (227-347 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Secara garis besar, Plato dalam teori sosialnya amat mementingkan masyarakat dibanding individu. Bahkan individualisme disamakan dengan egoisme, dan egoisme kelompok dengan altruisme. Oleh karena itu, Plato memandang bahwa susunan negara adalah sintesis antara aristokrasi dengan demokrasi.
Aristoteles mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sejauh merupakan kenyataan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu:
1. dalam mengungkapkan suatu philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas;
2. dalam membentuk kelompok-kelompok khusus seperti keluarga yang merangkap sebagai unit ekonomi, desa, kota, perkumpulan-perkumpulan sukarela. Dengan ini disebut koinonia;
3. dalam mendirikan negara dan pemerintahan; dan
4. dalam menunjukkan suatu keterkaitan pada peraturan-peraturan sosial, adat istiadat, kaidah-kaidah moral dan hukum (nomos) yang semuanya itu kini disebut dengan istilah pengendalian sosial.
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula.
Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa:
a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu;
b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; dan
c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metode.
Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Secara garis besar sosiologi dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (1) sosiologi umum, yang tugas utamanya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, (2) sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam. Kajian yang termasuk kategori ini adalah sosiologi masyarakat pedesaan dan perkotaan, sosiologi hukum dan sosiologi pendidikan.
Vembriarto (1993:2) menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Cook & Cook mengartikan sosiologi pendidikan sebagai penerapan pengetahuan dan teknik sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam hubungan antar manusia dan kesejahteraan materil. Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, dan utuh serta bermakna. Dalam konteks antisipasi terhadap arus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk ini para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal.
Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Kini tibalah pada pengertian dasar bahwa sosiologi pendidikan pada dasarnya memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Educatioal Sociology
Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2. Sociology of Education
Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri
3. Social Foundation of Education
Merupakan suatu bidang telaah yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan perbandingan pendidikan
Secara garis besar, faktor yang melatarbelakangi timbulnya sosiologi pendidikan adalah, kenyataan kehidupan manusia yang selalu ingin mengenal, mengetahui lebih mendalam tentang dirinya sendiri dalam berhubungan dengan dunia luar beserta isinya (Sukiman: 1992). Salah satu hal yang dapat membantu manusia memahami, mengetahui tentang dirinya sendiri adalah melalui interaksi. Melalui kegiatan tersebut individu dapat saling membutuhkan, melengkapi kekurangan, dan memperbaiki sesuatu dalam kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia tidak ada batas yang pasti. Manusia selalu merasa tidak puas dan selalu akan mencarinya. Hal ini disebabkan kondisi masyarakat selalu mengalami perubahan (dinamis). Perubahan sosial selalu akan terjadi. Faktor inilah yang menimbulkan cultural lag atau kemandekan kebudayaan.
Akibat cultural lag timbullah gejolak sosial yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi proses pendidikan. Atas dasar pertimbangan tersebut John Dewey bermaksud untuk memperbaiki, dengan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Diharapkan, melalui sekolah tersebut John Dewey dapat berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, saling membantu, dan “bergotong royong”.
Beberapa upaya harus dilakukan sekolah agar hubungan antara sekolah dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Menurut John Dewey sekolah merupakan miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro. Ia yang merupakan: (a) cerminan masyarakat sekitarnya, dan (b) menjadi pengilham perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tokoh dan ahli pendidikan ini memandang perlu “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Jhon Dewey dengan bukunya “Democracy and Education” (1916) merupakan faktor pendorong (push factor) timbulnya Sosiologi Pendidikan, meskipun hal ini tidak terlepas bantuan ahli-ahli sosiologi. Faktor pendorong lainnya yaitu, banyaknya permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan sementara tokoh pendidikan tidak mampu mengatasi secara sendirian (mono dicipline).
Terbukti keikutsertaan Emille Durkheim (1858 – 1917) yang memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia menyatakan, ”Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan, suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para masyarakat; Keseragaman yang essential yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut oleh upaya pendidikan diperlukan dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi di balik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam baik jenjang maupun spesialisasinya.”
Adanya social thing (ikhtiar sosial) tersebut menuntun Emille Durkheim pada suatu pendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi harus bermacam ragam sesuai dengan kondisi dan permintaan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu ahli sosiologi lain yang ikut campur tangan memecahkan pelik-pelik dunia pendidikan adalah Karl Manneim (1893 – 1947). Ia menyatakan:
“Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme dan sebagianya) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dipahami apabila kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kita mendidik manusia tidak boleh gegabah tanpa adanya pertimbangan matang, tetapi jauh sebelumnya harus kita analisis corak masyarakat di mana proses pendidikan akan berlangsung; karena baik tujuan maupun teknik-teknik pendidikan tak dapat dipahami tanpa memperhatikan konteksnya. Secara sosial konteks ini berpengaruh begitu luas dan banyak dalam faktor-faktor pendidikan. Fakta tersebut merupakan kontribusi pokok pendekatan sosiologis. Siapa mengajar siapa untuk masyarakat apa, bilamana dan dimana, merupakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang ikut mewarnai tujuan dan teknik pendidikan.
Masih banyak tokoh lain yang berpartisipasi dalam memecahkan problema pendidikan, sperti Stewart yang menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri”; termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi sosial, dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti klasifikasi dan definisi dari berbagai kelompok, sistem, dan istilah-istilah lainnya. Selainitu, perlu juga membicarakan “tugas lapangan” para ilmu sosial beserta bukti-bukti umum hasil telaahan sosiologis, dengan penekanan kepada melihat kemungkinan akar sosial filosofis. Hal itu terjadi karena pada kenyatannya konklusi-konklusi hasil telaahan empiris, menuntun untuk memasuki pertimbangan-pertimbangan sosial filosofis. Stewart jelas-jelas tertarik pada pendekatan sosiologis, yang menurutnya, merupakan suatu disiplin ilmu yang secara meyakinkan memakai metodologi ilmiah. Tetapi bersamaan dengan itu, ia melihat bahwa aplikasinya dalam penelaahan dunia pendidikan, haruslah bermuara kepada pendiskusian dan pemantapan nilai-nilai.
Program berikutnya, Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal yaitu:
1. institusi-institusi masyarakat;
2. sosiologi dan kurikulum;
3. pendidikan bagi kebudayaan;
4. proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis;
5. kedisiplinan dan tata aturan;
6. guru dalam masyarakat, dan akhirnya; dan
7. sosiologi dan nilai.
Perkembangan sosiologi pendidikan dapat dilihat sejak adanya kuliah sosiologi pendidikan yang pertama kalinnya diberikan oleh Henry Suzzalo pada tahun 1910 di Teachers College, Universitas Columbia. Tetapi baru pada tahun 1917 terbit buku teks sosiologi pendidikan pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. Sejak tahun itu diterbitkan jornal tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sociology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. Sejak tahun 1940 terbit Review of Educational Research yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1993).
Di Indonesia, pada tahun 1967, mata kuliah Sosiologi Pendidikan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam kurikulum Jurusan didaktik dan Kurikulum, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta (Vembriarto, 1993).Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa baik ditinjau dari sudut usia, lapangan penelitiannya, maupun dari sudut kristalisasi struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih muda. Beberapa penulis berpendapat, bahwa sosiologi pendidikan sedikit demi sedikit berkembang, yaitu menjadi disiplin yang otonom yang memiliki lapangan penelitian khusus. Dalam hal ini, ia masih mengalami proses akulturasi. Proses “akulturasi” inilah yang dipergunakan oleh Cook & Cook sama artinya dengan konsep “sosialisasi” yang dipergunakan oleh Robbins sebagaimana yang terjadi di sekolah dan institusi-institusi sosial lainnya.
Sejak proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang dahsyat. Karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, urbanisasi ke kota-kota besar, perubahan dari masyarakat pertanian menuju ke masyarakat industri (dari industri pertanian ke industri ringan, yang akhirnya ke industri berat), dan masuknya pengaruh kebudayaan asing yang makin intensif dan ekstensif, semuanya itu merupakan sumber masalah-masalah sosial yang kita hadapi dewasa ini. Masalah-masalah seperti ledakan penduduk, adanya jurang yang dalam antara mayoritas rakyat yang miskin dan minoritas masyarakat yang kaya, pengangguran yang makin meningkat, banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah, dan pendidikan sekolah yang tidak serasi dengan tuntutan masyarakat. Semuanya itu menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi proses sosialisasi. Ditambah dengan munculnya nilai-nilai golongan, yang disebabkan oleh makin dinamiknya masyarakat. Jika hal itu dibiarkan terjadi, maka bahaya desintegrasi sosial tidak dapat dielakkan lagi. Dari sudut pandangan inilah mulai nampak kepentingan sosiologi pendidikan bagi kita.
C. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (19820-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan. Hasil-hasil pengamatan tersebut disusun secara sistematis menurut metodologi keilmuan. Sesuai dengan sejarah anatomi pertumbuhannya sebagai disiplin ilmu, maka dalam perkembangannya selanjutnya sosiologi banyak dipengaruhi satu sama lain. Sejarah perjalanan dan perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu, diungkapkan para sosiologi bahwa hal itu tidak bisa terlepas dari pengaruh pemikiran para akhli terdahulu yang banyak memusatkan telaah pada kehidupan masyarakat, seperti Plato (227-347 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Secara garis besar, Plato dalam teori sosialnya amat mementingkan masyarakat dibanding individu. Bahkan individualisme disamakan dengan egoisme, dan egoisme kelompok dengan altruisme. Oleh karena itu, Plato memandang bahwa susunan negara adalah sintesis antara aristokrasi dengan demokrasi.
Aristoteles mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sejauh merupakan kenyataan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu:
1. dalam mengungkapkan suatu philia atau kecenderungan bawaan kepada kebersamaan dan solidaritas;
2. dalam membentuk kelompok-kelompok khusus seperti keluarga yang merangkap sebagai unit ekonomi, desa, kota, perkumpulan-perkumpulan sukarela. Dengan ini disebut koinonia;
3. dalam mendirikan negara dan pemerintahan; dan
4. dalam menunjukkan suatu keterkaitan pada peraturan-peraturan sosial, adat istiadat, kaidah-kaidah moral dan hukum (nomos) yang semuanya itu kini disebut dengan istilah pengendalian sosial.
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula.
Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa:
a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu;
b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; dan
c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metode.
Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Secara garis besar sosiologi dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (1) sosiologi umum, yang tugas utamanya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, (2) sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam. Kajian yang termasuk kategori ini adalah sosiologi masyarakat pedesaan dan perkotaan, sosiologi hukum dan sosiologi pendidikan.
Vembriarto (1993:2) menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Cook & Cook mengartikan sosiologi pendidikan sebagai penerapan pengetahuan dan teknik sosiologi untuk masalah-masalah pendidikan dalam hubungan antar manusia dan kesejahteraan materil. Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, dan utuh serta bermakna. Dalam konteks antisipasi terhadap arus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk ini para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal.
Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Kini tibalah pada pengertian dasar bahwa sosiologi pendidikan pada dasarnya memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Educatioal Sociology
Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2. Sociology of Education
Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri
3. Social Foundation of Education
Merupakan suatu bidang telaah yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan perbandingan pendidikan
Langganan:
Postingan (Atom)