Media
massa
dan
Masyarakat
Media adalah
institusi mediasi yang menghubungkan individu anggota masyarakat dengan segala
peristiwa dalam dunia kehidupan sosialnya. Keterhubungan ini disaranai oleh
informasi yang merayap melalui setiap interaksi antar individu. Dengan demikian
maka sebenarnya media dan masyarakat menjadi dua entitas sosial yang hanya bisa
dibedakan tanpa bisa dipisahkan.
Sekalipun
tidak setua umur manusia, tetapi sejarah media dalam menjadi bagian dari
kebudayaan masyarakat sudah sejak lama ada, dan hal itu berlaku di hampir semua
masyarakat. Di setiap negara, apapun model tatanan sosialnya, media massa selalu
berkontribusi dalam praktek keseharian masyarakatnya. Media menjadi pertanda
masyarakatnya sekaligus menjadi produk dari masyarakatnya. Hubungan simbiotik
ini hanya dapat membedakan praktek media dan masyarakat berdasarkan kekuasaan
yang dimiliki dan dimainkannya oleh masing-masing entitas tersebut. Seberapa
besar media mengambil peran akan menandai praktek tatanan sosial dalam suatu masyarakat
atau bahkan negara.
Sub-bab
berikut menguraikan terlebih dahulu pengertian kekuasaan dalam konteks media
sebelum kemudian uraian berikutnya mengajak kita melihat praktek media di
sejumlah model tatanan sosial.
A. Kekuasaan
dan Media
Anthony
Giddens (1979) secara luas mendefinisikan kekuasaan sebagai transformative
capacity, yaitu sebagai kemampuan mengadakan intervensi dalam peristiwa
tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk tindakan atau sikap
sesuai yang dihendaki. Penjabaran konsep
Giddens tentang kekuasaan ini mungkin dapat ditemui pada argumen Waters (1994)
mengenai hal yang sama.
Waters
(1994) mengetengahkan argumen yang subtantif tentang kekuasaan yang dijabarkan
sebagai berikut : 1) bahwa kekuasaan berimplikasi pada keberadaan sosial
tertentu (aktor individu, aktor kolektif atau struktur) yang memiliki
konsekuensi pada yang lainnya. Suatu entitas tertentu dapat mengontrol yang
lainnya. 2) Kekuasaan selalu berdasarkan hubungan spesifik tentang distribusi
sumber dalam masyarakat. 3) Kekuasaan menunjukkan derajat konsentrasi. 4)
Kekuasaan melibatkan hampir semua hubungan manusia. 5) Kekuasaan melahirkan relasi spesifik pada
maksud manusia atau teleologi, serta 6) penggunaan kekuasaan menunjukkan
spesialisasi dalam institusi sosial yang disebut negara atau politik.
Dari
beberapa konsep di atas, sementara dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan adalah
sumberdaya yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang
memungkinkannya mendapatkan perilaku menyesuaikan dari pihak lain. Simpulan
tersebut memang sangat sederhana mengingat untuk buku ini tentu kita diharapkan
lebih fokus melihat efektivitas media sebagai sarana distribusi kekuasaan di
masyarakat katimbang berputar-putar menemukan definisi kekuasaan yang mungkin
saja tidak akan membawa banyak arti.
Media
beroperasi di dalam masyarakat. Ia (media) bergerak mensaranai penyebaran
kekuasaan yang cenderung timpang di antara individu-individu, kelompok dan
kelas sosial. Kelas yang menguasai sarana produksi media cenderung memegang
kontrol atas efek yang ditimbulkannya. Seseorang atau sekelompok orang yang
memiliki kekuasaan melebihi dari seseorang atau kelompok yang lain cenderung
menggunakan kekuasaan tersebut untuk hal-hal yang dominatif. Tanpa kontrol
media yang beroperasi secara fair memperlakukan semua golongan yang ada dalam
masyarakat, maka keteraturan sosial (social order) berangsur-angsur terancam
konflik kelas yang destruktif.
Selalu
ada kekuasaan dalam masyarakat. Kekuasaan beroperasi dalam interaksi antar
individu, individu dengan kelompok, dan bisa juga interaksi itu bekerja antar
kelompok. Hal ini hanya dimungkinkan oleh adanya persaingan abadi memperebutkan
kekuasaan. Dikatakan demikian karena, hakekat manusia itu adalah
bekerja.Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup individu sekaligus
masyarakatnya. Pada titik inilah manusia berbeda dengan binatang yang segala
kebutuhan hidupnya sudah menyatu dengan alam, sementara manusia mesti
mengolahnya dulu melalui kegiatan kerja sebelum dapat menggunakan alam.
Kekuasaan
dan penguasaan selalu menyangkut mempengaruhi. Kegiatan mempengaruhi meliputi
mengarahkan perhatian, membujuk, membangun persepsi untuk mengubah sikap dan
lain-lain yang semuanya diarahkan agar orang lain atau kelompok lain bersedia
dengan sukarela mengikuti kehendak pemilik kekuasaan. Pada kaitan inilah
kekuasaan memiliki persentuhan yang nyata dengan media. Siapa yang
mengendalikan media cenderung lebih terfasilitasi dalam perolehan kekuasaan.
Dengan demikian maka hubungan antara media dengan masyarakat juga sangat
tergantung pada sistem sosial yang hidup dalam masyarakat bersangkutan. Praktek
media pada masyarakat dengan tatanan sosial liberal tentu akan berbeda dalam
sejumlah hal jika dibandingkan dengan masyarakat demokratis. Begitu juga di
masyarakat kapitalis, model hubungan media dengan masyarakat akan berbeda
dengan tatanan media di masyarakat sosialis. Demikian juga di negara-negara
berkembang. Di negara berkembang pasti terdapat sesuatu yang khas menandai
hubungan media dengan masyarakatnya.
Sekedar
mengurai perkaitan media massa dengan masyarakat
dari teropong kekuasaan akan menghasilkan pertanyaan tentang seberapa kuat
kekuasaan media massa
itu dalam memberi 'warna' dalam kehidupan sosial. Penting diketahui, bahwa jika
melihat kekuasaan media kita akan mendapatkan dua persoalan besar, yakni (1)
keefektifan media sebagai sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan tertentu, dan
(2) pemilik kekuasaan yang membonceng media massa. Keefektifan
media sebagai sarana pencapaian tujuan akan menuntun pikiran pada adanya model
komunikasi persuasi, mobilisasi, indoktrinasi dan lain sebagainya. Artinya
adalah, bahwa media massa
dipakai sebagai sarana pelaksanaan kekuasaan melalui sejumlah cara tertentu
sehingga media berkecenderungan terfasilitasi mendapatkan kepatuhan dari
khalayaknya. Jika dinyatakan bahwa pada prinsipnya kekuasaan adalah proses
pengaruh, maka posisi media massa
adalah sebagai alat pengaruh yang memudahkan proses itu berjalan efektif untuk
mengubah atau membangun persepsi massanya.
Persoalan
kedua tentang kekuasaan media sebagaimana telah disebutkan di muka adalah
terkait dengan pertanyaan siapa dan untuk tujuan apa di balik adanya media. Tak
satupun media diproduksi tanpa kandungan kepentingan dari seseorang, kelas
tertentu, kelompok kepentingan, atau masyarakat secara keseluruhan. Hal ini
menandai secara positif bahwa media dapat menjadi kendaraan bagi kekuasaan
tertentu. Ada
pesan yang dipengaruhkan kepada publiknya dengan semangat kepentingan tertentu.
Dalam sejumlah hal, produksi media tergantung kepada sesuatu kepentingan.
Ketergantungan ini pada akhirnya membatasi kemandirian yang semestinya menjadi
karakter yang dipertahankan.
Karena
kekuasaan adalah hal yang relasional, maka sebenarnya kerisauan terhadap
kemandirian media atau ketidakleluasaan media sebagai akibat ketergantungan
dalam produksinya tidaklah harus direspons secara pesimistis. Relasionalitas
memberi penjelasan bahwa kekuasaan media tidak saja tergantung kepada 'orang
dalam', tetapi juga pada kekuasaan yang tersebar di masyarakatnya. Kekuasaan
media dengan demikian diperoleh juga dari wewenang, legitimasi, dan dukungan
sosial yang tidak mungkin diperoleh secukupnya dari dalam institusi media itu
sendiri.
Intinya,
kekuasaan media ditentukan dari cara pandang bekerjanya kekuasaan. Hal ini
dapat dilihat pada penggunaan media untuk pengirim dan untuk kepentingan
penerima. Ketegangan dalam penggunaan media antara pengirim pesan dan penerima
pesan inilah yang akan menjelaskan
bekerjanya relasi kekuasaan dalam media massa.
Berikut,
sebagai dasar analisis perubahan sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan media
serta kemajuan teknologi komunikasi, dipandang penting untuk menampilkan
terlebih dahulu sejumlah teori yang dihasilkan beberapa studi dengan fokus
operasi media di suatu masyarakat.
B. Media
Massa dan Masyarakat
Teori
Media merupakan istilah yang digunakan secara longgar untuk menunjukkan
hasil-hasil penelitian dan segala macam pengamatan yang semuanya itu ingin
menjelaskan bagaimana pemanfaatan media dalam segala model dan jenisnya itu
dilaksanakan di masyarakat. Dengan demikian maka, teori media ini lebih berupa
kumpulan asumsi atau hasil analisis yang merupakan sumbangan dari sejumlah
disiplin yang tentu tidak tersusun secara rapi. Berasal dari penalaran induktif
maupun deduktif atas aplikasi prinsip dan aturan prosedur operasional dalam
praktek komunikasi.
Sebagai
bidang studi akademis komunikasi baru menampakkan wujudnya pada abad 20. Di
awali oleh temuan penelitian sebagaimana telah di uraikan dalam Bab 2,
selanjutnya kecuali sejumlah teori muncul dari penelitian tentang praktek
komunikasi, juga dari penelitian yang menghubungkan komunikasi dengan tatanan
sosial. Karena uraian tentang teori media ini bermaksud menjelaskan hubungan
media dalam bingkai sosial, maka berikut ini ditampilkan beberapa teori media
dalam sejumlah sistem sosial.
1. Media Massa di Masyarakat Sosialis
Uraian
ini berangkat dari keyakinan Karl Marx (1818-1883) tentang tatanan ideal suatu
masyarakat yang kelak dunia mengenalnya sebagai bentuk tatanan sosial yang
sosialis. Sosialisme Marx berasumsi bahwa masyarakat tanpa kelas merupakan
bentuk masyarakat yang ideal. Tatanan ini akan muncul dengan sendirinya secara
evolusioner karena sebenarnya kapitalisme mengandung benih kehancurannya
sendiri. Argumen Marx tersebut merupakan implikasi dari Teori Keterasingan
(alienasi) yang direkomendasikannya. Teori ini lebih berada di wilayah ekonomi
(Marxian) dari pada sosial (Marxis). Mengkritisi Marx, Lenin (1870-1924)
menyanggahnya dengan keyakinan bahwa tatanan sosialis itu harus direbut melalui
revolusi, bukannya menunggu kapitalisme hancur dengan sendirinya. Muncullah
Ravolusi Bolshevik sebagai bidan kelahiran Uni Soviet pada tahun 1918.
Tentu
bab ini tidak bermaksud menguraikan sejarah pemikiran sosiolog-sosiolog besar
dalam mengkonstruksi teori-teori warisannya. Tetapi, setidaknya uraian ringkas
tentang gagasan Marx tentang masyarakat sosialis tersebut akan mengenalkan
kepada kita terkait bahasan operasi media dalam model masyarakat yang
bersangkutan. Dengan mengetahui asumsi dasar Marx tentang masyarakat tanpa
kelas, hal itu akan menuntun pikiran dalam mengaitkan gagasan masyarakat ideal
tersebut dengan kebutuhan medianya.
Dalam
masyarakat kapitalis, media komunikasi (misalnya surat kabar) cenderung dimiliki oleh
sekelompok kecil pemilik modal yang diharapkan mampu mempertahankan atau
mengembangkan kepentingan kelompoknya. Banyak temuan penelitian yang memang
memperkuat pendapat di atas. Beberapa teori menyebutkan bahwa memang ada
hubungan langsung antara pemilikan modal dengan penyebaran pesan untuk
menegaskan legitimasi dan nilai-nilai suatu kelas kepada kelas yang lain.
Dengan demikian, Marx berpikir bahwa media massa sebenarnya adalah merupakan alat
kontrol kelas penguasa kapitalis. Dalam genggaman kapitalis, lucu kalau
kemudian dikatakan bahwa media massa
mnerupakan kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Karena, dalam masyarakat yang kapitalistik tidaklah mungkin media massa berfungsi sebagai
lembaga yang dapat secara leluasa mengkritik pemerintah serta bertindak sebagai
fasilitator bagi forum diskusi bebas.
Media
massa di
masyarakat sosialis lebih memberi penjelasan bahwa kepemilikan media berada di
tangan kelas pekerja yang dikelola bersama demi kebaikan atas kekuasaan bersama.
Media masa difungsikan sebagai penerjemah ideologi sosialis pada pemerintahan
bersama sebagai perwujudan masyarakat tanpa kelas. Segala alat produksi terkait
dengan media massa
dikuasai oleh negara dan digunakan semata-mata untuk memlihara integrasi sosial.
Dominasi media dalam masyarakat sosialis tidak diarahkan untuk kekuatan
komersial dan kelas, melainkan untuk kepentingan penyingkiran para penentang
yang dipandang sebagai orang-orang antisosial.
Tema
integrasi sosial menjadi sentral dan sangat menonjol dalam isi media dalam
masyarakat sosialis. Kebanyakan isi media cenderung bersifat konformistis dan
suportif (mendukung) daripada kritis terhadap nilai-nilai dominan. Juga, pada
umumnya media tidak menyajikan refleksi masyarakat sebagaimana adanya. Publikasi
yang menyangkut penolakan atas sejumlah nilai yang hidup di masyarakat
dipandang sebagai bentuk penyimpangan
Pada
masyarakat sosialis, negara sebagai institusi tertinggi menggunakan media massa secara instrumental
demi kemajuan kelas pekerja dan memajukan negara. Terkait dengan hal ini,
secara ekstrem Lenin pernah mengatakan bahwa kediktatoran kaum buruh sukses
karena tahu bagaimana menggabungkan pemaksaan dan pembujukan. Propaganda,
agitasi organisasi, penggunaan kekerasan selalu ada dalam pikiran dengan pusat
orientasi menjaga kekuasaan para elitenya. Media tidaklah dirancang semata-mata
untuk memberi informasi kepada anggota masyarakat, tetapi lebih untuk melayani
kebutuhan agitator sosialis.
Kesamaan
isi media massa
sosialis sebagai pertanda sehatnya masyarakat. Ia (media massa) merupakan instrumen paling canggih
untuk memelihara kekuasaan di negeri sendiri kecuali memilihara persatuan atau
integrasi sosial. Itulah sebabnya mengapa para elite masyarakat sosialis mau
bersusah payah menciptakan kontrol dan sensor terhadap penerbitan, media siaran
dan film dalam negeri serta mencegah masuknya penerbita, media siaran serta
film-film asing.
Singkatnya,
dalam masyarakat sosialis yang cenderung pemerintahannya dijalankan secara
diktator atas nama kemuliaan kaum buruh, media massa menjadi corong berbagai wahyu politik
dari penguasa yang terdiri dari sekelompok kecil elite. Media massa juga menjadi saluran komunikasi resmi
dalam masyarakat yang lebih melayani kepentingan golongan elitenya. Hal ini
memang sesuai dengan tesis perkembangan masyarakatnya Marx yang meyakini bahwa
setelah datang revolusi proletariat maka muncullah diktatorial proletariat.
Dengan sendirinya kediktatoran itu muncul untuk menghadang berkuasanya kembali
kelas borjuis.
Bagaimanapun
ketatnya kontrol negara pada media massa
di masyarakat sosialis pada akhirnya semua harus mengakui bahwa teori
masyarakat Marx ini mengandung kelemahan yang mendasar. Ketatnya pengendalian
operasi media massa
di masyarakat Marxis demi pemertahanan kekuasaan negara sebenarnya mengingkari
hakekat bahwa tidak ada masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas yang
digagas Marxpun sebenarnya menjadi gagasan yang menyesatkan. Karena, tidaklah
akan ada masyarakat yang demikian itu sementara pembagian kerja tak dapat
dihindari. Kalaupun dunia meributkan bahkan mengagumi gagasan sosialisme Marx,
tak lebih hanya karena Marx berhasil menggelorakan semangat kaum buruh untuk
memperjuangkan perbaikan nasib saja.
2. Media Massa di Masyarakat Liberal
Dalam
konsep liberal, media massa
mengemban fungsi pemberi informasi dan memberi hiburan bagi khalayaknya. Dalam
perkembangannya fungsi ini bertambah dengan pendidikan dan pemasaran atas
barang-barang produksi. Media menyediakan ruang bagi periklanan yang dengan
demikian akan mempersiapkan basis ekonomi yang menjamin tidak adanya
ketergantungan dari bidang keuangan negara. Terakhir, media massa dalam masyarakat liberal ini memiliki
peran juga dalam melakukan kontrol pada negara. Karakter khas media massa, akhirnya menjadikannya
kekuatan pengawas baru yang tak dapat dilakukan oleh lembaga lain.
Tidak
seperti dalam masyarakat sosialis yang menetapkan negara sebagai lembaga yang
memiliki otoritas penuh dalam penafsiran pesan yang sebenarnya merupakan hasil
pengorganisasiannya sendiri, dalam masyarakat liberal pesan media itu dibiarkan
sampai secara apa adanya ke masing- masing khalayaknya. Tafsir atas isi pesan
diserahkan sepenuhnya pada khalayak. Masyarakat penerima informasi dari media
bisa saja salah dalam menafsirkan, tetapi bisa juga benar. Masyarakat dibiarkan
sebebas-bebasnya memberikan tafsir atas pesan media berdasarkan rasionalitas
dan kepentingannya sendiri.
Dalam
masyarakat yang liberal, semua warga negara, yang asli ataupun asing, memiliki
kesempatan tak terbatas dalam pemilikan atau pengoperasian media massa. Warga negara
diberi kebebasan berusaha dan mendirikan perusahaan terkait pengelolaan media massa. Ini berarti bahwa
setiap orang yang memiliki modal dapat saja membangun perusahaan dalam bidang
komunikasi dan keberhasilan atau kegagalannya bergantung pada kemampuannya
dalam meraih keuntungan. Dalam hal seperti ini, banyak peneliti komunikasi yang
mempersamakan masyarakat liberal ini dengan kapitalisme. Dalam sejumlah besar
hal, pemersamaan ini tidak merisaukan.
Pengusaha
media dalam paham masyarakat liberal ini cenderung menolak campur tangan
pemerintah. Prasangkanya adalah, jika pemerintah mencampurtangani pengelolaan
media maka kecenderungannya akan mengembalikan pengendalian dan pengawasan atas
media massa di
tangan negara sebagaimana konsep media di masyarakat sosialis. Dengan demikian,
maka media massa
menjadi sangat bebas dari dominasi negara.
Berdasarkan
konsep masyarakat liberal, semakin sedikit keterlibatan pemerintah atau negara
dalam kegiatan komunikasi adalah lebih baik. Dalam hal negara tidak memiliki
otoritas pengawasan dan atau pengendalian media massa, maka sebagai institusi pengemban
kontrak sosial negara mau tidak mau berkepentingan menjaga integrasi sosial.
Karenanya timbul problem terkait pertanyaan sejauh mana pemerintah dapat
berpartisipasi dalam kegiatan bidang komunikasi.
Pada
dasarnya, tidak ada kebebasan absolut. Begitu juga terkait dengan kebebasan
media massa
dalam suatu masyarakat. Atas dasar asumsi ini maka sebebas apapun media beroperasi
harus tetap ada cara minimal yang dapat diperankan pemerintah untuk menjaga
keseimbangan sosial. Satu diantara cara itu adalah melalui sistem peradilan. Di
masyarakat liberal, lembaga peradilan menentukan sejauh mana batas pemerintah
dalam menerapkan kekuasaannya atas media. Pelindungan terhadap individu
biasanya dilakukan melalui mekanisme hukum yang dioperasikan oleh badan-badan
peradilan.
Segala
macam batasan tentang pencederaan perasaan, fitnah, pembunuhan karakter,
penghinaan diatur oleh negara dalam posisi sebagai penengah atau wasit. Dalam
posisi ini sandaran utama pemerintah adalah berlakunya hukum atau undang-undang
tentang media yang memberlakukan sangsi tegas bagi setiap pelanggarnya. Doktrin
liberal memang mengharuskan tiap orang membuka diri terhadap kritik, tetapi
sekaligus juga melindungi individu dari kemungkinan menjadi korban dari
kebebasan itu sendiri. Seorang pejabat publik harus terbuka terhadap kritik,
tetapi sebagai individu seseorang itu juga harus dilindungi hak-hak privatnya.
Walaupun penganut liberal cenderung menentang segala bentuk pembatasan, tetapi
dalam
sejumlah hal mereka tetap mengharapkan
peran negara. Misalnya, sebagian terbesar anggota masyarakat setuju bahwa
negara berkewajiban melindungi masyarakat dari publikasi cabul.
3. Media
Massa di Masyarakat Demokratis
Sering
terdengar dalam perbincangan kata plural dipakai secara bergantian dengan
demokrasi untuk pengertian keanekaragaman lapisan sosial. Pengertian yang sama
sekali tidak mengandung kebenaran tetapi mengganggu pendengaran bagi mereka
yang paham demokrasi sekaligus pluralitas. Perkaitan dua istilah tersebut
memang diakui sangatlah erat.
Secara
substansial, demokrasi dapat berarti perluasan hak bicara. Dapat juga demokrasi
diartikan sebagai transaksi bebas gagasan. Dalam substansinya yang demikian
itu, demokrasi membawa ciri tidak adanya dominasi dalam masyarakat. Artinya,
dalam demokrasi kita akan sulit mendapati sesuatu kelompok yang secara dominan
menguasai kelompok yang lain di dalam suatu masyarakat. Penghargaan yang tinggi
terhadap pluralitas menjadi ciri yang menonjol dalam masyarakat yang
demokratis.
Pluralitas
adalah istilah yang secara longgar dipakai untuk menyebut keanekaragaman
sosial. Masyarakat plural, adalah bentuk masyarakat yang sangat heterogen dari
sisi keanggotaannya. Unit-unit di dalamnya memiliki sejumlah perbedaan yang
menyolok. Ras, agama, asal-usul geografis, tingkat ekonomi menunjukkan
perbedaan yang hampir mustahil diseragamkan atau disatukan. Aspirasi politikpun
sangat beragam dalam masyarakat plural dan semuanya mendapatkan penghargaan
yang sama sesuai prinsip demokrasi.
Pluralitas
dalam pengertian sosiologis melintasi pencirian sosialis dan liberalis. Dalam
tatanan ekonomi masyarakat, sosialis memiliki kontras yang tepat adalah
kapitalis. Tetapi, dalam tinjauan bekerjanya media massa, untuk uraian ini lebih dipakai liberal
daripada kapitalis sekalipun hampir semua penjelasan tentang liberalisme selalu
menunjukkan peran pemilik kapital sangat dominan memainkan kekuasaannya atas
media. Begitupun tentang masyarakat plural yang kontras tepatnya adalah
homogen. Namun, dalam buku ini tiga istilah tersebut, yakni sosialis, liberal
dan plural dipakai sebagai konsep yang longgar dan sangat disadari masih
debatable. Pemakaiannya lebih diarahkan untuk memudahkan penjelasan tentang
adanya pemilahan masyarakat dalam suatu negara yang dikelola secara bersama
dengan tumpuan kekuatan negara (sosialis), secara bebas dalam arti tidak adanya
campur tangan negara (liberal), dan perpaduan antara keduanya (plural).
Masyarakat
plural timbul karena modernisasi. Pada proses menuju masyarakat modern selalu
diwarnai kemunculan sejumlah kelompok fungsional baru dan lapisan-lapisan baru
di dalam masyarakat. Kebanyakan di negara-negara berkembang, masyarakat jenis
ini menunjukkan adanya kelas-kelas sosial ekonomi. Ini berarti, bahwa ada
posisi-posisi tertentu yang lebih dihargai dari pada yang lain karena memiliki
kekuasaan yang berbeda dibanding yang lain. Pemilik posisi ini tentu tidaklah
banyak.
Clifford
Geertz (1963) dalam bukunya yang terkenal berjudul The Integrative Revolution
mengemukakan cara pencarian ciri masyarakat plural itu pada kekerabatan, ras,
bahasa, daerah asal, dan agama. Dalam masyarakat yang para anggotanya memiliki
beragam pelapisan sosial berdasarkan perbedaan lima
hal sebagaimana ditujukkan oleh Geertz tersebut, operasi media massa tentu berbeda corak jika dibandingkan
dengan di masyarakat sosialis maupun liberal. Pluralitas akhirnya menjadikan
masyarakat sebagai tumpuan operasi media.
Jika
uraian sebelumnya secara relatif memberi penjelasan komunikasi massa yang beralur vertikal, maka uraian
berikut ini lebih menempatkan nilai-nilai komunikasi horisontal dengan basis
masyarakat. Titik sentral bahasannya terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan
aspirasi penerima yang dalam hal ini adalah masyarakat. Ini merupakan antitesis
terhadap kecenderungan media massa
yang elitis, akrab dengan kemapanan golongan tertentu, sangat tanggap terhadap
tekanan politik dan ekonomi, monolitik serta dipaksakan untuk profesional.
Dalam
masyarakat plural tidak terdapat kecenderungan media yang seragam dan
dikendalikan oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi di masyarakat berideologi
sosialis. Egalitarianisme menjadi ciri menonjol kehidupan media massa di masyarakat yang
plural. Lembaga-lembaga media dibangun atas keikutsertaan dengan persyaratan
yang ditetapkan oleh khalayaknya daripada oleh pemiliknya. Hal ini terjadi
karena asumsi bahwa setiap warga negara baik secara individu maupun kelompok
memiliki hak pemanfaatan media (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani
oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri. Sehingga,
organisasi dan isi media tidak tunduk pada pengendalian yang terpusat pada
sekelompok kecil anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk memaksakan
pesan. Media ada untuk khalayaknya dan bukannya untuk organisasi media.
Media
lokal dapat tumbuh memadai dalam masyarakat atau negara dengan ciri pluralitas
yang menonjol. Media dengan skala kecil, interaktif, dan partisipatif, serta
lebih menjawab persoalan-persoalan lokal menjadi penanda 'hidup'nya media di
masyarakat plural. Media dipandang sebagai respons terhadap kebutuhan
keseluruhan lapisan masyarakat yang beranekaragam, terpisah-pisah, dan tanpa
tujuan yang tegas. Karakter ini memungkinkan perluasan sumber dan
keanekaragaman pesan, yang didistribusikan sesuai dengan kepentingan segala
macam orang yang berhak memilih secara bebas.
Isi
media dalam masyarakat yang demokratis, yang plural, bersumber dari berbagai
kelompok politik, sosial, dan budaya yang saling bersaing. Karena tidak ada
dominasi maka media massa
di masyarakat jenis ini lebih kreatif, bebas, dan apa adanya. Jumlah media
cenderung banyak dan independen satu sama lain sekaligus tanggap terhadap keinginan
khalayak. Karena jumlahnya banyak, maka khalayaknya terpisah-pisah dan terbagi
dalam jumlah yang relatif kecil sehingga menuntun segmentasi yang selektif
dengan cara pandang yang reaktif sekaligus aktif.