KELOMPOK
Pengertian
Hidup berkelompok merupakan
pengakuan bahwa manusia itu memang makhluk sosial. Dengan demikian, pada
dasarnya adanya kelompok dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sangat wajar dan
manusiawi dalam kehidupan manusia. Dengan berkelompok akan terasa betapa
pekerjaan yang sulit jika dikerjakan sendiri barangkali akan menjadi ringan
bila dikerjakan di dalam kelompok.
Menghadapi ancaman akibat ketiadaan
aturan karena masing-masing individu tidak memiliki jalinan atau ikatan sosial,
menjadikan masing-masing individu melakukan pengelompokkan agar memungkinkannya
memperoleh jaminan perasaan aman dalam menjalani hidup. Diawali dengan usaha
mengartikan kelompok, uraian berikut ini menjelaskan makna kelompok sampai
kepada adanya konflik di dalammya.
Suatu kelompok (group) adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai
suatu sasaran tertentu. Dalam pengertian ini kelompok diberi tekanan pada
adanya interaksi antar personal di dalam jumlah yang tidak terlalu banyak
sehingga memungkinkan aktivitas komunikasi berlangsung dari masing-masing
individu kepada individu yang lain tanpa melalui orang lain atau orang katiga
dalam mentransformasikan pesannya. Karena merupakan kumpulan sejumlah orang
maka perilaku ataupun kinerja seseorang anggota kelompok sangat dipengaruhi
oleh hal yang sama dari seseorang yang lain di dalam kelompok tersebut.
Suatu kelompok juga merupakan suatu
sistem yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan
sehingga menunjukkan beberapa fungsi yang menyatakan peran dan norma yang
mengatur hubungan masing-masing anggotanya. Pandangan ini memang terlalu
sosiologis dengan mengedepankan adanya peran dan juga norma kelompok, tetapi
penting juga dipahami bahwa pemahaman kelompok tidak akan komprehensif jika
tanpa menyinggung tesis kontrak sosial yang selama ini memberi sumbangan yang
berarti bagi usaha pelacakan terhadap asal mula terjadinya kelompok dan
berlanjut kepada masyarakat.
Peran individu dan norma di dalam
kelompok merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat kesediaan
individu menyerahkan atau mengkontrakkan sebagian kepentingannya untuk diatur
oleh aturan yang disepakati atau norma yang hidup dalam kelompok. Dalam keadaan
asali manusia, setiap individu tentu menjalani hidup sesuai pandangan serta
caranya sendiri. Manusia belum lagi memiliki pola dalam bertindak sehingga
sangat mungkin terjadi benturan kepentingan yang bisa jadi mengakibatkan
situasi anarkis. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan hidup karena
ancaman yang mungkin selalu muncul dari individu lain sebagai akibat dari
pemilikan cara pandang dan tindakan hidup yang belum terpola menjadi perilaku
kelompok. Dalam situasi ini, manusia menjadi dituntut selalu waspada dari
ancaman. Perjalanan hidup yang penuh ancaman inilah yang lambat laun
menyadarkan tiap individu untuk mengintegrasikan sebagian kepentingan hidupnya
dengan melakukan sejumlah kesepakatan dengan individu lain untuk membentuk
kelompok. Munculnya kelompok dengan demikian memunculkan juga seperangkat
aturan yang membatasi sejumlah tindakan yang terbingkai dalam norma dan atau
bahkan hukum yang harus dipatuhi bersama.
Pemahaman tentang kelompok dapat
didekati dari beberapa perspektif yang berbeda yang tentu akan menghasilkan
tekanan yang berbeda dalam pendefinisiannya. Dari perspektif sosiologis
menghasilkan definisi yang memberi sumbangan pada tekanan adanya norma. Dari
perspektif organisasi menghasilkan definisi yang menekankan adanya interaksi
bertujuan dengan aturan tegas sebagai pembatas tindakan. Melintasi sejumlah
perspektif yang memang menghasilkan sejumlah tekanan yang berbeda, pada dasarnya
memahami kelompok selalu mendapati hal yang sama yakni, adanya sasaran
tertentu. Tidak mungkin suatu kelompok terbangun tanpa didasari oleh adanya
sasaran.
Akhirnya secara agak komprehensif
kelompok dapat didefinisikan sebagai kumpulan dua orang atau lebih yang saling
tergantung dan berinteraksi dengan seperangkat aturan yang membatasi sejumlah
tindakan untuk mencapai suatu sasaran tertentu.
Kelompok
Formal dan informal
Ketika terdapat dua orang yang
mengangkat meja untuk dipindahkan tempatnya, tentu berdasarkan pengertian di
muka, dua orang tersebut telah membangun kelompok. Begitu pula adanya beberapa
orang dalam sebuah tim pemasaran dari perusahaan pengalengan buah nanas, tim
inipun merupakan sebuah kelompok. Mencermati dua contoh tersebut, tentu akan
segera tertangkap pengertian bahwa sebenarnya berdasarkan formalitasnya,
kelompok itu dapat dipilah menjadi formal dan informal.
Kelompok formal adalah
kelompok yang didefinisikan oleh adanya struktur organisasi, dengan pembagian
kerja dan pembatasan sejumlah wewenang secara tegas untuk melakukan berbagai
tugas dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dalam kelompok formal,
berbagai tindakan ditentukan oleh dan diarahkan kepada tujuan tertentu.
Di dalam kelompok formal masih dapat
diklasifikasikan lagi menjadi kelompok tugas dan kelompok komando. Kelompok
tugas ditetapkan secara organisasional, mewakili beberapa unit kerja untuk
bersama-sama menyelesaikan suatu tugas tertentu. Kelompok yang melintasi garis
komando ini dapat dimisalkan jika di suatu Fakultas terdapat kasus plagiasi
atas salah satu skripsi. Dekan fakultas yang bersangkutan menentukan agar Ketua
Jurusan, Bagian Perpustakaan dan Pembantu Dekan serta Pembimbing Utama
penulisan skripsi yang diduga sebagai hasil plagiasi itu membentuk kelompok
untuk melakukan penyelidikan sebelum sanksi akademik diberlakukan kepada
sarjana plagiat yang bersangkutan.
Kelompok komando adalah kelompok
yang terdiri dari atas dan bawahan yang mengikuti garis komando dan sangat
hierarkis. Kelompok ini dispesifikasikan oleh bagan organisasi yang memetakan
secara tegas batas tugas, wewenang, dan tanggungjawab masing-masing anggota
kelompok.
Kelompok informal diartikan
sebagai persekutuan dua orang atau lebih yang tidak terstruktur secara formal.
Kelompok jenis ini biasanya muncul merupakan tanggapan atau respon terhadap
kebutuhan orang akan kontak sosial. Dengan kata lain, kelompok informal ini
tidak berkembang sebagai akibat dari perancangan tetapi tumbuh secara alamiah.
Di dalam suasana kerja, secara wajar seringkali kelompok informal ini
terbentuk. Empat orang karyawan dari unit kerja berlainan secara teratur selalu
melakukan pulang bersama-sama, merupakan contoh nyata dari kelompok informal.
Ivanchevic dkk (1996) membagi kelompok informal ini menjadi (1) kelompok minat
yakni elompok yang terbentuk oleh beberapa individu yang tidak menjadi anggota
kelompok tugas dan komando tetapi memiliki sasaran yang sama hanya saja sasaran
tersebut berbeda dengan sasaran kelompok utamanya. Sedangkan (2) kelompok
persahabatan adalah kelompok yang interaksi anggotanya terjadi di luar
aktivitas kerja.
Mengapa
Orang Berkelompok.
Selintas, di depan telah disinggung
tentang alasan mengapa orang cenderung berkelompok. Paling tidak, jika lebih
dirinci, terdapat enam alasan yang bisa dikemukakan berkaitan dengan
kecenderungan berkelompok ini, yakni alasan keamanan, status, harga diri,
integrasi sosial, kemudahan, dan prestasi.
1. Keamanan. Dengan bergabung dalam
suatu kelompok, masing-masing orang dapat mengurangi perasaan tidak aman dalam
kesendirian. Orang menjadi lebih percaya diri dan merasa menjadi bagian dari
suatu kesatuan kekuatan dan karenanya akan terasa lebih tahan terhadap berbagai
ancaman yang mungkin timbul.
2. Status. Ketika seseorang menjadi
bagian dari suatu kelompok penting, maka seseorang itu akan dipandang oleh
orang lain dengan status yang berbeda. Dalam stratifikasi sosial yang ada
dimungkinkan seseorang mendapatkan status yang berbeda jika seseorang tersebut
menjadi anggota sesuatu kelompok. Status yang berbeda ini berasal dari
pengakuan orang lain yang tidak menjadi bagian atau anggota kelompok.
3. Harga diri. Kelompok juga dapat
memberi perasaan berharga pada diri anggotanya. Artinya adalah, menjadi anggota
sesuatu kelompok dapat memberikan perasaan berharga karena dapat diterima
sebagai anggota tersebut sudah memenuhi standar tertentu yang disyaratkan.
4. Integrasi sosial. Berbagai kelompok
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk berafiliasi,
bersosialisasi dengan menjadi bagian dari suatu kelompok menunjukkan intensitas
kebutuhan sosial dari seseorang. Di dalam kelompok, masing-masing anggota
menikmati interaksi yang teratur, yang bagi banyak orang interaksi ini
merupakan modal awal mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam mengintegrasikan diri
ke dalam lingkungan sosialnya.
5. Kemudahan. Apa yang tidak dapat atau
terlalu sulit dicapai secara individual seringkali menjadi lebih ringan jika
diusahakan untuk dicapai melalui kerjasama dengan orang lain. Hal ini
menjelaskan bahwa dengan berkelompok seseorang itu akan mendapatkan berbagai
kemudahan dalam berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang
bersedia menjadi anggota suatu kelompok hanya apabila dalam pandangannya
kelompok tersebut dapat memenuhi berbagai harapan serta mampu menolong mencapai
atau memenuhi kebutuhannya.
6. Prestasi. Ketika diperlukan adanya
sekelompok orang untuk mencapai suatu tugas pekerjaan tertentu, dari
orang-orang tersebut muncul kebutuhan untuk menunjukkan bakat yang dimilikinya,
pengetahuannya dan mungkin saja kekuatannya agar pekerjaan dapat terselesaikan.
Setelah pekerjaan terselesaikan, maka hasilnya dapat menjadi ukuran
prestasinya.
Perkembangan
Kelompok.
Berkembangnya suatu kumpulan manusia
untuk menjadi sebuah kelompok selalu melewati proses yang dapat diidentifikasi
tahapannya. Konseptualisasi yang cukup terkenal mengenai ini bisa dijumpai
dalam teori yang disebut Tangga Cog (Cog Ladder) yang memetakan tahap
perkembangan kelompok dalam lima tangga dimulai dari tangga pertama berupa Polite
stage (tangga sopan santun), Why we're here stage (tingkat mengapa
kita ada disini), Bid power stage (tingkat usaha mendapat kekuasaan), constructive
stage (tingkat konstruktif), dan tangga kelima adalah Esprit stage
atau tingkat kompak. (Keating, 1995)
Stephen P Robbins (1996)
mengidentifikasi tahap perkembangan terjadinya kelompok juga ke dalam lima tahapan, yakni forming
(pembentukan), storming (keributan), norming (penormaan), performing
(pelaksanaan), dan adjourning (penundaan).
Mensintesakan kedua pendapat di atas,
maka kemudian dapat dijelaskan bahwa perkembangan kelompok adalah melalui
tahapan sebagaimana uraian berikut ini.
Tahap
1 Pengenalan. Pada tahap ini
masing-masing individu yang bertemu saling berusaha memahami dengan saling
bertanya dan memberitahukan tentang apa yang menjadi minatnya.Mereka saling
berusaha untuk saling diterima dan disukai. Perilaku yang muncul dalam tahap
awal ini masih diwarnai oleh norma pribadinya atau dari fakta sosialnya
masing-masing. Kesan kaku memang segera tampak, namun sebenarnya dalam kekakuan
itu mereka mulai berusaha mengadaptasikan minatnya melalui pemilihan tindakan
agar dapat mengatasi perbedaan atau bahkan rasa tidak senang yang timbul pada
saat saling bertemu, serta bagaimana mengolah rasa diri agar pihak lain dapat
menyukainya. Benih kelompok muncul pada tingkat ini dengan penampakkan awal
berupa clique atau kelompok kecil.
Pedoman bertindak pada
tahap ini biasanya adalah perkataan-perkataan sebagai ungkapan dari
gagasan-gagasan yang pada umumnya diterima orang dan menghindari perdebatan
ataupun hal yang menimbulkan kejutan. Masingmasing pihak dalam tahap ini
cenderung tampil dengan sosok yang belum sebagaimana adanya, personifikasinya
masih berusaha disamarkan di hadapan pihak lain sehingga yang tampak baru sekedar
front stage atau panggung depannya saja.
Tahap
2 Pemaduan sasaran. Tahap ini
memberi penjelasan adanya usaha dari masing-masing pihak untuk 'saling
menyapakan' sasarannya. Terdapat penerimaan melalui interaksi yang toleran
terhadap adanya perbedaan, namun ada juga konflik akibat ketidaksesuaian yang
memang tidak dapat dinegosiasikan. Dalam cog ladder, tahap ini
dipertajam menjadi tahap keributan (storming) untuk mengawali timbulnya
integrasi.
Pada tahap ini identitas
kelompok belum tampak jelas karena kegunaan kelompok bagi masing-masing
individu juga masih belum begitu jelas sekalipun sasaran kelompok sudah mulai
dibicarakan untuk dipadukan.
Tahap
3 Pemetaan kekuasaan. Tahap
ketiga dalam perkembangan kelompok ini dicirikan oleh munculnya strukturasi sehingga
mulai tampak peta kekuasaan dari masing-masing pihak atau individu dalam
kelompok. Sekumpulan individu dalam kelompok telah bergerak saling mempengaruhi
bahkan pengaruh itu sampai kepada jalan pikiran kelompok. Dalam pergerakan
kelompok ini akhirnya semakin tampak kekuatan masing-masing anggota yang secara
wajar akan memunculkan kenyataan adanya anggota yang lebih mendapat perhatian
dan pengakuan daripada yang didapat oleh anggota lain di dalam kelompok. Elite
kelompok akan muncul karena dalam interaksi antar anggota akan memperlihatkan
adanya sedikit orang yang ternyata memiliki kelebihan dibandingkan dengan
kebanyakan orang yang menjadi anggota kelompok, dan kelebihan itu berupa
kekuasaan. Akhirnya kekuasaan kelompok didistribusikan di antara anggota dengan
derajat yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Tahap
4 Konstruktif. Tahap ini
ditandai oleh berbagai perubahan sikap dalam diri anggota. Masing-masing
anggota kelompok mau dan mampu secara sungguh-sungguh mendengar yang lain dan
terbuka untuk saling menerima. Gagasan, pemikiran, dan usul kreatif diterima
dan ditanggapi secara wajar. Diskusi telah terfokus lebih spesifik pada
tugas-tugas dan mengembangkan strategi alternatif untuk menyelesaikannya. Di
tahap ini identitas kelompok mulai terbangun secara mantap. Setiap keputusan
yang diambil dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan bersama. Struktur kekuasaan
telah sepenuhnya fungsional dan diterima dengan baik.
Tahap
5 Kompak. Pada tahap terakhir
ini anggota telah memiliki semangat tinggi dan kesetiaan yang mendalam kepada
kelompok. Tujuan kelompok akan menjadi hal utama bagi setiap anggota dibanding
tujuan individunya. Ikatan emosional yang demikian kuat di antara anggota
kelompok dan tingkat saling percaya yang sudah tinggi membentuk norma atau aturan
yang memiliki sangsi terhadap segala bentuk pelanggaran. Hal ini menjadikan
setiap anggota kelompok memiliki kesetiaan dan kehendak untuk tetap berada
dalam kelompok.
Harapan-harapan yang
sebelumnya masih tersembunyi menjadi saling terbuka dan saling diterima,
didukung untuk menjadi lebih kreatif demi perkembangan kelompok sehingga
kelompok mampu menyelesaikan tugas yang hasilnya melebihi kemampuan yang ada
pada masing-masing anggota.
Ciri-ciri
Kelompok
Setiap kelompok memiliki beberapa ciri
tertentu yang dapat membedakannya dengan yang bukan kelompok seperti antara
lain kerumunan, gerombolan atau kumpulan orang yang sedang berada di lobi
sebuah hotel. Ciri-ciri tersebut adalah :
1. Struktur
Dalam setiap kelompok pasti terdapat
pemilahan anggota yang didasarkan pada sejumlah faktor tertentu semisal
keahlian, status sosial dan kadang juga latar belakang sosial ekonomi anggota
kelompok. Pemilahan ini diikuti dengan penjenjangan ke dalam sejumlah posisi
tertentu sehingga terbentuklah struktur yang dapat secara tegas memberi batas
tugas dan wewenang dalam hubungannya dengan aktivitas kelompok. Struktur dalam
kelompok formal didasarkan pada posisi anggota dalam organisasinya, sementara
dalam kelompok informal biasanya didasarkan pada sesuatu yang relevan dengan
minat dan kepentingan kelompoknya.
2. Peran
Peran adalah seperangkat pola perilaku
yang diharapkan dan dikaitkan pada seseorang yang menmpati suatu posisi
tertentu di dalam kelompok. Setiap posisi dalam struktur kelompok ditempati
oleh individu dengan perannya masing-masing. Peran individu dalam posisi
tertentu dapat berupa
a. Peran
yang diharapkan, yaitu perilaku yang diharapkan muncul dari peran seseorang
dalam posisi tertentu dalam struktur kelompok
b. Peran
yang dipersepsi, yakni pandangan seseorang mengenai bagaimana seseorang
seharusnya bertindak dalam suatu situasi.
c. Peran
yang dimainkan, yakni perilaku yang benar-benar dilakukan oleh seseorang yang
menduduki posisi tertentu dalam struktur kelompok.
3. Norma
Interaksi antar individu, yang
masing-masing individu tentu sebagian mendasarkan perilakunya pada seperangkat
nilai pribadi atau perpektifnya sendiri, di dalam kelompok akan menghasilkan
bentuk perilaku baru dan kemudian menimbulkan kesepakatan-kesepakatan baru
tentang beberapa hal yang layak dan tidak layak dilakukan. Masing-masing
individu akhirnya bersedia mengkompromikan kepentingan dan perilakunya sendiri
untuk suatu kepentingan dan perilaku kolektif yang akan tercermin dalam adanya
norma kelompok. Jadi norma ini dapat dipahami sebagai standar perilaku yang
diterima dalam suatu kelompok untuk digunakan bersama oleh setiap individu
anggota kelompok.
Ketika
seseorang menyadari bahwa nilai pribadinya berbeda dengan norma yang hidup dan
berlaku di dalam kelompoknya, maka seseorang itu dihadapkan pada pilihan apakah
(1) nemerima norma kelompok, (2) mencoba mengubah untuk disesuaikan dengan
nilai pribadinya, atau (3) meninggalkan kelompok tersebut.
4. Kepemimpinan
Di
dalam kelompok pasti muncul kesenjangan yang diakibatkan oleh adanya beberapa
faktor dasar yang dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Seseorang
anggota akan merasa tidak mampu dalam satu hal tetapi mampu untuk hal yang
lain. Seseorang mau dengan senang hati melakukan aktivitas kelompok, sementara
ada seseorang yang lain tidak mau. Kematangan profesional maupun kematangan
psikologis yang tidak mungkin sama pada tiap individu akhirnya memunculkan
dikotomi pemimpin dan pengikut, artinya bahwa dalam kelompok itu muncul
perasaan atau kesadaran diri seseorang yang merasa mampu memimpin sementara
yang lain merasa tidak mampu. Dari sinilah diperoleh alasan untuk mengatakan
bahwa dalam setiap kelompok pasti terdapat kepemimpinan, yakni perilaku
seseorang dalam kelompok yang berusaha mempengaruhi orang lain di kelompok yang
sama agar bersedia melakukan aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan
kelompok itu sendiri.
Kekohesifan
Kelompok
Kekohesifan adalah derajat sejauh mana
anggota kelompok tertarik satu kepada yang lain dan memiliki motivasi untuk
tetap tinggal dalam kelompok. Terdapat sejumlah hal yang harus diperhatikan
untuk sekedar mengetahui atau mengusahakan agar kekohesifan kelompok
terpelihara. Beberapa hal yang teridentifikasi di bawah ini dapat merupakan
kekuatan tetapi dapat pula menjadi faktor yang melemahkan tingkat kekohesifan
kelompok.
1. Konflik
Faktor konflik di sini lebih diarahkan
kepemahaman ide atau gagasan. Seringkali kontras antara dua atau lebih gagasan
dari beberapa individu di dalam kelompok tidak saja dapat menjadi kekuatan,
tetapi juga dapat menjadi kelemahan. Menjadi kekuatan konstruktif apabila
dikelola secara tepat dengan mensinergikan masing-masingg gagasan lewat
pemaduan. Menjadi kelemahan apabila konflik terlanjur menjadi kekuatan merusak
yang menjurus pada arah yang memisahkan masing-masing pihak yang memiliki
gagasan. Dalam hal yang demikian, pemimpin yang efektif pasti dengan segera
menghentikannya melalui cara yang dianggapnya sesuai dengan situasi konflik.
2. Kepentingan
Beberapa individu di dalam kelompok
seringkali memandang suatu masalah kelompok dari perspektif kepentingannya.
Dalam hal kepentingan individu tersebut memiliki kekuatan untuk memperbaiki
atau melengkapi kepentingan kelompok maka akan merupakan hal yang inovatif bagi
kelompok. Namun ketika dirasakan bahwa kepentingan individu tersebut
bertentangan dengan kepentingan kelompok dan individu bersangkutan tidak mau
dan mampu memadukannya dengan kepentingan kelompok, maka kecenderungan yang
akan terjadi adalah melonggarnya perasaan kolektif di dalam kelompok.
3. Resiko
Orang cenderung untuk berpikir bahwa
kelompok akan lebih konservatif dan waspada daripada individu (Stoner 1993).
Padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa dalam beberapa situasi, kelompok
akan mengambil keputusan justru lebih riskan dibanding individu.
4. Waktu
Faktor waktu (duration) merupakan
keuntungan bagi keputusan kelompok karena derajat kualitas keputusan itu
dipengaruhi durasi yang dipakai dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi,
dari sudut pandang beaya, panjangnya durasi akan menambah atau meningkatkan
beaya yang diperlukan.
5. Pikiran yang sering berubah
Sangat jarang terjadi, jika terdapat
masalah di dalam kelompok, masing-masing anggota kelompok memiliki frame of
meaning atau landasan pikiran yang sama dalam memandang masalah tersebut
sehingga akhirnya dalam memulai pemecahan masalah terjadi pemakaian cara yang
berbeda. Bagi pemimpin haruslah disadari bahwa manusia itu memiliki
kecenderungan mudah berubah pikiran sehingga pijakan kesadaran ini akan
menyediakan pilihan tindakan yang jika salah memilihnya dapat melemahkan
kekohesifan kelompok. Sebaliknya, jika tepat dalam memilih tindakan akan
berkecenderungan memperkuat kekohesifan atau kepaduan kelompok.