Minggu, 11 April 2010

Desentralisasi dan Otoda (1)

DESENTRALISASI DAN OTODA

Bagian 1

Secara harfiah, istilah desentralisasi dapat diartikan sebagai proses menjauh dari sentral. Awalan de memberi penjelasan sebagai anti atau berlawanan atau istilah apapun yang dapat dipersamakan dengan kontras dari sentral yang berarti pusat. Sedangkan akhiran sasi lazim diartikan sebagai proses. Desentralisasi sebagai istilah dapat diperlawankan dengan sentralisasi, yakni proses menuju sentral.

Dalam pengertian umum sebagaimana yang saat ini dipakai oleh wacana dalam system pemerintahan di Indonesia, desentralisasi dipahami sebagai penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena dalam istilah desentralisasi tersebut termuat arti penyerahan kewenangan kepada daerah maka tentu implikasi praktis yang muncul adalah otonominitas daerah, terutama dalam hal pengaturan daerahnya sendiri. Kemandirian dalam arti tanpa campurtangan pemerintah pusat dalam pengaturan rumah tangga daerah tersebutlah yang kemudian kita kenal sebagai otonomi daerah. Orang sering lalai bahwa antara desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah dua istilah yang sama. Kita sebenarnya tidak dapat menyebut desentralisasi dan otonomi daerah secara bergantian untuk maksud yang sama karena kecuali dua istilah tersebut berbeda juga kemunculannyapun berbeda. Desentralisasi muncul mendahului otonomi daerah.

Gagasan desentralisasi sebagaimana yang termuat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah berimplikasi pada perubahan arah dari pemerintahan yang sentralistis ke desentralistis. Semangat yang mengedepan dari desentralisasi tersebut adalah upaya mendemokrasikan sistem pemerintahan yang sebelumnya terindikasi tidak demokratis. Ide demokrasi adalah perluasan hak bicara. Jika dalam pemerintahan yang sentralisitis hak bicara itu monopoli pemerintah pusat maka era desentralisasi ini memberi akses kepada pemerintah daerah untuk lebih memiliki hak bicara.

Secara lebih terinci, ada sejumlah hal positif dari spirit desentralisasi sekalipun bukannya tanpa meninggalkan hal negative. Sisi positifnya adalah :

1. Sarana demokratisasi.

Sebagaimana telah disinggung selintas, bahwa ide demokrasi membawa spirit perluasan hak bicara. Hak bicara dalam desentralisasi bermaksud untuk lebih menyuarakan aspirasi daerah terkait dengan pembangunan yang harus dilaksanakan di daerah. Melalui desentralisasi masyarakat dan pemerintah daerah dibuka aksesnya untuk secara aktif memprakarsai serta melaksanakan pembangunan di daerahnya sendiri sesuai dengan aspirasi yang hidup di daerah tersebut.

2. Meningkatkan efisiensi dan kualitas pemerintahan.

Jelas bahwa model pemerintahan yang sentralistis menjadi sangat tidak efisien jika dibandingkan dengan desentralistis. Asumsi paling gampang dipahami adalah, dalam desentralisasi praktek pelayanan berlangsung dalam kedekatan geografis antara yang melayani dan yang dilayani, atau antara pemerintah daerah dengan masyarakat di daerahnya sendiri. Situasi ini lambat laun dapat menjamin peningkatan kualitas pemerintahan mengingat segalal pengalaman pelayanan dapat dengan segera direvisi untuk langkah-langkah perbaikan.

3. Stabilitas serta kesatuan nasional yang terjamin.

Anggapan ini lebih bersandar pada fakta yang muncul sejak hampir dua dekade terakhir ini. Fakta termaksud adalah munculnya gagasan dari sejumlah daerah yang mewacanakan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gagasan ini lebih menjelaskan adanya buah ketidakpuasan politik dan ekonomi dari sejumlah daerah atas praktek pemerintahan yang sentralistik. Karenanya, munculnya ide dan praktek desentralisasi ini dimaksudkan untuk dapat menjadi jaminan bagi adanya stabilitas politik sekaligus terjaminnya keberlangsungan kesatuan nasional.

4. Majunya pembangunan di daerah.

Desentralisasi, sebagaimana telah disinggung bahwa ada kedekatan antara pelayan dan yang dilayani, akan berimplikasi pada kemajuan pembangunan di daerah. Asumnya adalah, bahwa dengan kewenangan memprakarsai dan melaksanakan kegiatan pembangunan di daerahnya sendiri, maka sangat dimungkinkan kegiatan pembangunan terarah kepada focus yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah dalam melakukan pembangunan menjadi tidak tergantung pada adanya proyek dari pusat di daerahnya, tetapi dengan peluang kewenangan yang memadai pemerintah daerah selalu terbuka kemungkinan untuk setiap saat melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Di samping sisi posistif yang dapat dikedepankan oleh adanya desentralisasi, ada juga kerisauan terkait hal yang sama, di antaranya adalah :

1. Fragmentasi sosial

Kewenangan yang muncul dari adanya desentralisasi menjadikan setiap daerah berkemungkinan berkembang sesuai dengan penguasaan sumberdaya yang ada di daerahnya masing-masing. Daerah yang kaya sumberdaya alam dan unggul dalam sumberdaya manusia tentu berkemungkinan berkembang secara berbeda jika dibandingkan dengan kekuatan sumberdaya dari suatu daerah yang berkeadaan sebaliknya. Perbedaan dalam hal tersebut tentu akan mengakibatkan kondisi sosial masyarakat di Indonesia menjadi terfragmentasi mengikuti kekuatan-kekuatan tersebut. Kerisauan yang muncul adalah secara sosial masyarakat Indonesia menjadi mengalami degradasi integrasi nasionalnya. Kecemburuan yang muncul di suatu daerah miskin atas tetangga daerahnya yang kaya menjadi alas an bagi munculnya integrasi nasional yang melemah.

2. Penguasaan oleh elite lokal

Desentralisasi dan otonomi daerah berimplikasi pada akses kemunculan elite lokal terutama dalam rekruitmen kepemimpinan politik lokal. Yang telah terjadi adalah munculnya kapitalisasi politik. Penguasaan sumberdaya ekonomi oleh elite ekonomi lokal menjadikan seseorang memiliki akses bagi penguasaan politik. Jika dalam saat sebelum spirit desentralisasi menggelinding elite lokal tidak memiliki akses politik di daerahnya sendiri, maka dengan adanya otonomi daerah isu putra daerah menjadi dominan saat berlangsung pilkada. Kekuatan ekonomi mendajadi sumberdaya politik yang memungkinkan seseorang menjadi ‘raja kecil’ di daerahnya sebagaimana yang telah terjadi saat ini.

3. Kekurangsiapan aparatur birokrasi di daerah menjadikan kualitas pemerintahan cenderung merosot. Percepatan demokratisasi oleh gagasan desentralisasi dan otonomi daerah ini oleh sebagian kalangan dipahami sebagai sesuatu yang menggelinding begitu cepat. Akibatnya, banyak daerah yang belum begitu siap melaksanakannya. Akibat ketidaksiapan melaksanakan sejumlah kewenangan yang sebelumnya berada di tangan pusat itulah yang kemudian menjadikan kualitas pelayanan menjadi terganggu. Standar praktek pemerintahan yang sebelumnya telah menjadi fakta sosial dalam keseharian dan telah diterima secara nasional akhirnya menjadi sesuatu yang harus terlebih dahulu melakukan penyesuaian dengan kondisi di tiap daerah. Hal ini wajar sebagai konsekuensi otonomi daerah. Tanpa bermaksud mengatakan bahwa sumberdaya aparatur birokrasi lokal berkualitas tidak sebaik birokrasi nasional, tetapi kita cenderung setuju mengatakan bahwa perpindahan kewenangan dari pusat ke daerah tersebut selalu menciptakan suasana dan perasaan inferior bagi daerah yang sebelumnya tidak pernah melaksanakan kewenangan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kapasitas aparatur birokrasi lokal dengan demikian menjadi sentral perhatian untuk proyek peningkatannya.

Bersambung……………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar