Kebudayaan
Sejumlah orang memberikan arti
kebudayaan dengan pengertian yang sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai
pikiran, karya dan apapun hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya
akan keindahan. Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai
kesenian. Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh
dari pendefinisian yang memadai.
Sebaliknya, para ahli ilmu sosial
mengartikan kebudayaan dengan sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun
yang merupakan hasil pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang
asali dari manusia hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia
dalam kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedangkan
yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait dengann
sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan lain-lain yang
sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan merupakan konstruksi
budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari dengan alat berupa sendok,
piring dan garpu, serta cara mengunyah makanan yang tidak bersuara, semua itu
merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian maka hal penting yang harus
disadari adalah bahwa konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki
perbedaan di damping sejumlah persamaan.
Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi
penyumbang bagi usaha membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lainnya. Apa yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin
akan tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian
ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat itu
berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda
bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik di
kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim benar-salah,
baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak ada ukuran yang
dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya.
Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman
bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan konsep
yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar kehidupannya dan memberi
arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002). Dalam pandangan dasar ini kebudayaan
digambarkan sebagai sebuah teks, kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para
anggotanya dan menjadikannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan
menginternalisasikan suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk
perasaan maka seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah
kebudayaan mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga mereka
memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga mereka
memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang
memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan orang
lain.
Fakta penting lain mengenai
kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan itu bersifat
terbuka. Ia merupakan entitas ideasional. Karena sifatnya yang terbuka, maka
kebudayaan itu mudah ditembus, dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai
kebudayaan lain. Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin
terjadi pengaruh satu kebudayaan oleh
kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak tersusun atas beraneka ragam kebudayaan
yang mandiri, tertutup dan bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi
dan traksaksional atau pertukaran yang konstan.
Pertukaran dan penyesuaian terjadi
setiap saat dan disetiap waktu. Makanan yang kita makan, buku yang kita baca,
musik yang kita dengar, konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan,
pengetahuan, semuanya itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap
kebudayaan-kebudayaan lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk
disadari agar pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan
sebagaimana orang membuat kategori sederhana semisal : budaya kulit hitam,
budaya kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain
sebagainya.
Sebagaimana pengertian kebudayaan
yang demikian luas, maka sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian
material dan non-material. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat
berupa barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan
pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak lagi
benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif manusia. Semua
benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memudahkan manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang, manusiapun memerlukan pemenuhan
kebutuhan hidup. Tetapi, jika binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam
dan tinggal memakainya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan
mengolahnya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya.
Kebudayaan non-material terdiri dari
kata-kata atau bahasa yang dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi
atau berinteraksi sosial. Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta
sejumlah kebiasaan juga merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang
memfasilitasi umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan
hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil
pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan
pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkinkan oleh
kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta norma-norma
sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di sesuatu masyarakat, itu
semua merupakan wujud dari kebudayaan non-material. Berjabat tangan, berjalan di
sebelah kiri, berciuman ketika bertemu dengan teman lama serta masih banyak
lagi contoh yang dapat disebut sebagai kontruksi budaya.
Untuk lebih memudahkan usaha
memahami kebudayaan non-material ini, berikut secara agak terinci akan
diuraikan tentang bahasa dan komunikasi, norma, kebiasaan, tata kelakuan,
lembaga, nilai, dan hukum.
1. Bahasa
dan komunikasi
Sebagaimana di depan sudah sedikit
disinggung bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah mahluk pekerja, maka
keadaan ini sangat berbeda dengan binatang. Sekalipun demikian, segala
aktivitas (atau lebih tepatnya disebut gerakan) binatang tentu memerlukan
sarana yang memudahkan. Binatang memiliki 'bahasanya' sendiri. Banyak binatang
dapat bertukar perasaan melalui geraman atau auman, dengkuran, panggilan untuk
kawin dan suara-suara lain yang hanya dimengerti oleh sesama binatang. Beberapa
binatang mengeluarkan bebauan atau menggerak-gerakkan badannya untuk
menyampaikan pesan bagi yang lain.
Bunyi dan gerakan ini bukanlah
bahasa, karena masing-masing lebih merupakan reaksi naluriah daripada reaksi
yang terkonstruksi dari hasil learning process. Kita tidak tahu apakah anjing
menggonggong karena mengajak kawin anjing yang lain. Barangkali anjing tersebut
hanya sekedar ingin menggonggong saja. Sepengetahuan kita, tidak ada binatang
yang mengeluarkan suara khusus untuk maksud khusus yang ditujukan pada binatang
sejenisnya. Tidak juga gerakan khusus yang dimaksudkan untuk menandai maksud
khusus pada binatang lainnya. Dengan demikian maka bahasa tidaklah dimiliki
oleh binatang, tetapi hanya dimiliki oleh manusia.
Suatu bahasa hanyalah semacam tanda
yang berupa suatu susunan suara dengan arti khusus pada setiap suara. Suatu
teriakan emosional dan naluriah bukanlah suatu bahasa sekalipun suara yang
demikian itu mengandung makna. Bayi menangis tanpa menggunakan bahasa untuk
sekedar memberitahukan bahwa ia sakit, lapar atau popoknya minta diganti.
Bahasa barulah muncul ketika terdapat perkaitan makna dengan sesuatu bunyi.
Belakangan ini, muncul peristilahan
yang terkait dengan bahasa, yakni bahasa tubuh. Sejumlah artikel di majalah
bahkan sampai ada sebuah buku yang secara khusus menguraikan tentang bahasa
tubuh. Bahasa tubuh hanyalah dimaksudkan untuk menjelaskan ada perubahan arti
yang diperagakan melalui gerak isyarat dan sikap tubuh. Meskipun bahasa tubuh
mungkin dapat merupakan bentuk komunikasi, tetapi ia bukanlah bahasa dalam arti
sebenarnya karena bahasa terbatas pada komunikasi melalui simbol kata-kata.
Hanya manusialah yang menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi. Pertukaran simbol untuk merubah arah perasaan bagi
manusia difasilitasi oleh bahasa untuk berinteraksi sosial. Tanpa bahasa dan
komunikasi, dengan sangat mudah kita membayangan kehidupan manusia di dalam goa
dan ranting pohon.
2. Norma
Sejumlah besar pengertian norma
merujuk pada aturan moral yang disetujui untuk dilaksanakan dan tidak
dilaksanakan. Dengan demikian ia (norma) merefleksikan apa yang disetujui dan
yang tidak disetujui oleh anggota suatu masyarakat untuk dilakukan. Norma
menunjukkan kepada anggota masyarakat tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan
tidak dilakukan. Berbeda dengan hukum, maka norma tidak memiliki sanksi yang
tegas kecuali secara moral.
Pada dasarnya, norma sosial adalah
hasil dari kehidupan bermasyarakat. Kecuali memang ia menjadi bagian kehidupan
sosial ia juga tercipta dari proses sosial dalam suatu masyarakat. Norma tumbuh
menjadi batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Ia berada di luar
individu yang mengatur perilaku individu dalam interaksi sosialnya. Bahkan,
sejak sebelum individu itu dilahirkan, norma tersebut telah ada.
Individu dilahirkan dalam suatu
masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima seperangkat aturan tidak
tertulis yang berbentuk norma. Individu menginternalisasikan aturan-aturan, menerima
aturan tersebut sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah dan ia
dikendalikan tidak saja melalui rasa takut untuk merugikan individu lain tetapi
juga melalui perasaan bersalah apabila melanggarnya.
Sebagai contoh,
dalam suatu masyarakat Barat dimana kerja keras merupakan suatu keutamaan yang
sangat dihargai akan mengakibatkan perasaan bersalah pada individu bila ia
tidak mengerjakan apa-apa.
Sekalipun norma menghadirkan
pembatasan-pembatasan tingkah laku dan mengendalikan berbagai tindakan sosial
individu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak merasa mendapat tekanan atau
paksaan karena mereka telah menginternalisasi norma tersebut untuk kemudian
menjadi standar tingkah lakunya sendiri. Sepanjang hidup individu
disosialisasikan untuk menerima begitu saja bermacam-macam norma dari kelompok
yang beraneka ragam sebagaimana keluarga, teman sebaya, sejawat di kantor, dan
kolektivitas lain memungkinkan ia terlibat di dalamnya.
Dalam setiap kelompok sosial, tentu
norma yang hidup sangat mungkin berlainan. Bentuk-bentuk humor tertentu akan
diterima baik dalam suatu kelompok tetapi sangat mungkin dikatakan sebagai
'berselera rendah' di kelompok lain. Dalam hal tertentu tingkah laku dianggap
wajar dalam suatu masyarakat, tetapi mungkin dianggap menyimpang di masyarakat
lain. Di kalangan selebriti berciuman dan bersentuhan fisik dianggap normatif,
mungkin tabu bagi masyarakat dalam kelompok bukan selebriti.
3. Kebiasaan
Ada begitu banyak kebiasaan yang dilakukan
oleh setiap masyarakat. Bahkan masyarakat primitifpun memiliki kebiasaan. Tentu
kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat primitif tidaklah sebanyak
masyarakat modern. Kepemilikan kebiasaan yang merentang mulai dari masyarakat
primitif hingga modern ini menunjukkan bahwa pengulangan tindakan yang terpola
itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak masyarakat itu ada.
Di mana-mana kehidupan sosial selalu
penuh dengan berbagai masalah bagaimana merebut kehidupan dari alam, bagaimana
membagi hasil usaha atau keuntungan, bagaimana kita berhubungan secara serasi
dengan orang lain dan sebagainya. Manusia telah mencoba setiap cara 'yang
mungkin' untuk menghadapi masalah semacam itu. Berbagai masyarakat telah
menemukan berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Suatu kelompok dapat
saja makan satu kali dalam sehari dan boleh makan sambil berdiri, serta selalu
berjabat tangan jika bertemu seseorang kawan. Hal yang sama berlaku untuk
ratusan bahkan ribuan macam kebiasaan.
Setiap kebiasaan merupakan
sekumpulan dari sejumlah kemungkinan yang pengerjaannya. Awalnya tentu melalui
coba-coba datau mendapati situasi kebetulan yang mengibatkan pengaruh yang
tidak disadari, kemudian seseorang mengerjakannya serta mengulang-ulangnya.
Dari pengerjaan pengulangan atau berulangkali ini maka sampailah seseorang pada
penerimaan pengerjaan itu sebagai sesuatu yang wajar dikerjakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kejadian semacam ini terjadi turun temurun, dari generasi
yang lebih tua ke generasi yang muda.
Kebiasaan (folkways) hanyalah suatu
cara yang lazim dan wajar serta diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh
sekelompok orang. Ia (kebiasaan) memiliki kekuatan mengikat sebagai perilaku
yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Berjabat tangan, memberi hormat pada
yang lebih tua, selalu memberikan sesuatu melalui tangan kanan, merupakan
kebiasaan-kebiasaan dari sesuatu masyarakat sekalipun hal yang sama mungkin
tidak terjadi pada masyarakat lainnya. Sebagaimana
telah disinggung pada bab 2 bahwa kebiasaan bukanlah bawaan sejak lahir, namun
adalah hasil pembelajaran dari pengalaman. Pengalaman atau pembelajaran
tersebut diperoleh manusia sejak masa kanak-kanaknya melalui usaha peniruan
dari sejumlah tindakan yang telah ada dalam lingkungan sosialnya.
4. Tata
Kelakuan
Jika kebiasaan berangsur-angsur dipahami
tidak semata-mata sebagai cara bertindak namun juga menghadirkan
pembatasan-pembatasan atas tindakan individu, maka kebiasaan tadi akan berubah
menjadi tata kelakuan atau mores. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang
hidup dari kelompok manusia yang berfungsi sebagai penjaga harmoni sosial.
Dengan mengacu pada tata kelakuan, seseorang individu anggota masyarakat dapat
melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menghindari penyimpangan yang tidak
dikehendaki oleh masyarakatnya.
Penting disadari, bahwa tata
kelakuan merupakan batas perilaku individu dalam kelompok masyarakat. Tata
kelakuan akan melarang atau membolehkan sesuatu tindakan itu dilakukan di suatu
masyarakat. Ia diharapkan menjadi pusat acuan tindak individu demi
terpeliharanya harmoni sosial. Dengan demikian, mengingat tata kelakuan itu
merupakan produk masyarakat, maka dengan sendirinya setiap masyarakat memilik
tata kelakuan yang masing-masing cenderung berbeda.
Horton dan Hunt (1996) mengajukan
pengertian tentang tata kelakuan sebagai gagasan yang kuat mengenai salah dan
benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain. Ada kandungan irrasionalitas dalam tesis
tentang tata kelakuan ini, yakni terletak pada keyakinan bahwa sebagai gagasan
yang luhur pantang bagi siapapun anggora masyarakat yang melanggarnya. Karena,
pelanggaran dapat berarti undangan bagi hadirnya bencana pada masyarakat
pemiliknya (pemilik tata kelakuan tersebut). Orang luar dapat saja mengatakan
bahwa hal tersebut tidaklah masuk akal, namun demikian memang itulah
kenyataannya, dan pernyataan tidak masuk akal dari orang luar tersebut tidak
serta merta menghadirkan klaim benar salah untuk masyarakat yang meyakininya.
Tata kelakuan itu dapat saja
meliputi sifat tabu terhadap sejumlah jenis makanan tertentu semisal babi dan
kuda. Dapat juga tabu terkait dengan kesopanan seperti melarang muka, tumit,
pergelangan tangan, dada, atau apa saja yang terbuka, karena dianggap tidak
sopan. Berkata-kata jorok mungkin saja merupakan pelanggaran bagi tata kelakuan
yang mengutamakan kelemahlembutan dan kesopanan.
Tata kelakuan tidak ditemukan atau
dipikirkan atau disusun dengan sengaja karena seseorang menganggap hal itu
adalah gagasan yang baik. Tata kelakuan muncul dari keyakinan kelompok yang ada
dalam masyarakat bahwa suatu tindakan khusus akan merugikan dan harus dilarang,
serta tindakan khusus akan dianjurkan mengingat kemanfaatannya bagi orang lain.
Tata kelakuan pada abad pertengahan
membenarkan Gereja untuk membiarkan pelacuran dan bahkan turut menikmati
hasilnya. Orang-orang yang memerintahkan penyiksaan dan pembakaran orang-orang
biadab bukanlah orang-orang kasar yang jahat, tetapi orang yang terhormat
sekaligus bermartabat. Tetapi, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia,
kini tata kelakuan itu sudah semakin sulit ditemukan eksistensinya.
5. Lembaga
Lembaga adalah sistem hubungan
sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tatacara umum
tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu. Dalam sebagian besar
masyarakat yang kompleks, ada lima
lembaga dasar, yakni keluarga, agama, pemerintahan, pendidikan, dan kegiatan
ekonomi. Lembaga termasuk diantara kontruksi budaya yang paling resmi dan
bersifat memaksa. Jika kebiasaan dan tata kelakuan hanya bersifat mengikat,
maka lembaga melintasi sifat tersebut hingga bersifat memaksa.
Yang perlu diingat adalah bahwa
lembaga selalu merupakan sistem gagasan dan perilaku yang terorganisasi yang
menghasilkan perilaku kolektif. Dengan demikian sebenarnya, lembaga tidak
memiliki anggota tetapi memiliki pengikut. Sebagai contoh, agama bukanlah suatu
kelompok orang, tetapi merupakan sistem gagasan, kepercayaan, praktek dan
hubungan. Jadi agama bukanlah manusianya, agama adalah suatu sistem keyakinan
dan prakteknya. Sama halnya jika kita contohkan bahwa sepakbola adalah sistem
permainan, sedang team adalah para pemainnya. Team adalah asosiasi orang-orang
yang memainkan permainan itu sendiri.
Suatu lembaga setidaknya mencakup
tiga hal, yakni (1) seperangkat pola perilaku yang telah memiliki standar, (2)
serangkaian tata kelakuan, sikap dan sejumlah nilai yang mendukung, dan (3)
adanya tradisi. Cakupan ini mendekatkan
pengertian bahwa lembaga sebagai suatu sistem disertai kecenderungan praktek
gagasan yang telah secara umum mendapatkan dukungan dan atau toleransi dari
sejumlah nilai.
Ada seseorang mengatakan bahwa dulu
masyarakat kita tidaklah mengenal istilah pacaran, tetapi sekarang pacaran
sudah melembaga. Pemahaman atas teks tersebut adalah bahwa seseorang ingin
mengatakan jika tindakan pacaran itu sudah diterima secara umum di masyarakat
sebagai bagian yang perlu dari pendewasaan dan penemuan pasangan perkawinan.
Jika seseorang yang lain mengatakan bahwa sapaan assalamu'alaikum itu sudah
melembaga, maka itu berarti bahwa sapaan tersebut telah diterima secara umum
dan dibakukan sebagai salam ketika terjadi pertemuan seseorang dengan orang
lain.
Ada beberapa unsur dalam lembaga sosial, di
antaranya adalah (1) simbol kebudayaan. Manusia telah menciptakan berbagai
simbol yang berfungsi sebagai pengingat kelembagaan. Nasionalisme akan dengan
cepat diingatkan oleh bendera dan lambang negara. Begitu juga lagu kebangsaan.
Lagu kebangsaan akan dengan mudah menuntun pendengarnya untuk segera ingat pada
negaranya. Gedung juga dapat menjadi simbol lembaga. Karenanya, sulit untuk
membayangkan agama tanpa masjid dan desa tanpa rumah.
(2) Kode perilaku. Pengikut suatu
lembaga selalu harus siap melaksanakan perannya dalam lembaga tersebut. Peran
itu biasanya terungkap dalam tindakan tertentu yang resmi semisal janji setia
pada negara, janji setia pada pasangan perkawinan, kode etik paramedis, kode
etik advokad, janji sarjana dan lain sebagainya. Sekalipun janji-janji tersebut
pada akhirnya dilanggar, tetapi telah menjadi penanda atau kode perilaku yang
membatasi dari perilaku lain yang bukan merupakan mainstream perilaku lembaga.
(3) Ideologi. Secara sederhana
ideologi dapat dipahami sebagai seperangkat gagasan yang menyetujui sesuatu
norma. Ideologi menjelaskan mengapa seseorang harus bertindak demikian dan
tidak yang lain. Ia dapat menjadi pembenar yang masuk akal terhadap sesuatu
tindakan berdasar pada sesuatu norma lembaga. Contohnya, kenakalan remaja
mungkin saja diterjemahkan secara berbeda oleh lembaga yang satu dengan lainnya
karena ideologi masing-masing lembaga tersebut berbeda.
6. Nilai
Banyak pidato, bahkan hingga
berbuih-buih sudut bibirnya, menyelipkan kata nilai dalam frekuensi yang
tinggi. Tata nilai, nilai budaya, nilai-nilai luhur, nilai-nilai Pancasila,
nilai-nilai reformasi, menjadi sejumlah kata yang dapat dengan mudah didengar
dari pidato-pidato kantoran hingga kampanye lapangan. Bersamaan dengan itu,
banyak pula sebenarnya orang yang tidak begitu paham tentang apa yang dimaksud
dengan 'nilai'.
Nilai adalah konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang
harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1974). Karena
itu, sebagai suatu bagian dari sistem budaya, nilai biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi tata kelakuan anggota masyarakat. Bagian dari sistem
budaya (selain nilai) semisal norma dan juga hukum biasanya berpedoman pada
sistem nilai ini.
Jika tata kelakuan adalah gagasan
yang menyatakan apakah tindakan tertentu itu benar atau sebaliknya, maka nilai
adalah gagasan mengenai apakah pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai
merupakan bagian penting dari suatu kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah,
artinya secara moral dapat diterima. Ketepatan waktu, kemajuan materi, dan
persaingan bebas yang fair, serta etos pelayan merupakan nilai-nilai utama
orang-orang yang bekerja di sektor perbankan, sementara sejumlah nilai itu
tidak ditemukan, misalnya, di lingkungan karyawan pemerintahan lokal.
Dalam masyarakat plural,
pertentangan nilai akan terus berlangsung, dan nilai-nilai berubah dari waktu
ke waktu. Pergeseran nilai, atau bahkan perubahan nilai, akan mempengaruhi
kebiasaan (folkways) dan tata kelakukan (mores).
Pergeseran nilai
terkait dengan kehidupan seks misalnya, akan mengubah tata kelakuan remaja dalam
pacaran. Yang dulu pacaran tidak lebih dari sekedar saling berkirim surat penuh rayuan dan
ungkapan cinta, sekarang pacaran cenderung dianggap tidak lengkap tanpa ciuman
bibir bahkan saling raba.
7. Hukum
Operasionalisasi hukum terkait
dengan kewajiban dan hukuman. Sebagai perangkat aturan formal yang mengikat,
hukum memiliki sanksi sangat tegas berupa hukuman fisik dari pelanggarnya. Bagi
anggota masyarakat yang tidak berusaha mematuhi hukum dengan cara menyesuaikan
tindakan dengan apa yang dikehendaki hukum, maka akan dijatuhi hukuman penjara.
Tata kelakuan memang cenderung
berfungsi hanya sebagai tata kelakuan. Tetapi tata kelakuan berkecenderungan
juga menyatu dalam hukum di masyarakat. Bisa jadi, hukum muncul sebagai bentuk
formalisasi dari tata kelakuan yang ada. Oleh karena itu sebenarnya, hukum
muncul untuk memperkuat tata kelakuan. Pembatasan tindakan manusia oleh hukum
diorientasikan agar anggota masyarakat tidak tergoda untuk melanggar tata
kelakuan. Orang-orang dipaksa untuk menyesuaikan diri melalui ancaman hukuman
yang sah.
Pembicaraan mengenai hukuman sebagai
ungkapan tata kelakuan yang terkodifikasi adalah pandangan hukum kaum
fungsionalis. Para sosiolog aliran ini
memahami hukum sebagai alat golongan elite untuk mengendalikan dan mengeksploitasi
golongan tertindas. Mereka memandang hukum sebagai pengabsah eksploitasi,
sementara polisi dan pengadilan memaksakan pelaksanaannya untuk kepentingan
pertahanan sejumlah hak istimewa mereka atas beban golongan tertindas. Itulah
sebabnya, dalam masyarakat plural yang kompleks, kecuali hukum memperkuat tata
kelakuan, juga berusaha melindungi dan memelihara sistem sosial.
Pendapat lain tentang hukum adalah
alokasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan dilakukan dengan semangat
kebajikan yang mengedepankan aspek keadilan (justice). Masyarakat dipahami
sebagai sebuah entitas konsensual yang memiliki nilai-nilai bersama. Demi
menjaga harmoni sosial atau keteraturan sosial,
hukum menjadi sarana penting yang bersifat memaksa melalui sanksi-sanksi
tegas yang oleh Max Weber disebut sebagai alat-alat coecive. Bagi Weber,
kepatuhan terhadap hukum semata-mata karena ia memiliki alat tersebut.
Alat-alat coercive tersebut dipakai untuk menegakkan hukum dalam masyarakat,
organisasi korporasi, atau lembaga-lembaga (Kuper & Kuper, 2000).
Karenanya, pemberlakuan hukum dijamin oleh negara karena negara memiliki
keunggulan dalam hal penggunaan kekerasan kepada warganya.
Dari banyak hal terkait kebudayaan
material dan non-material sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka dapat
disimpulkan bahwa paling sedikit suatu kebudayaan itu memiliki tiga wujud,
yakni (1) wujudnya sebagai suatu tatanan gagasan berupa perangkat nilai, norma,
hukum. Wujud pertama ini merupakan sesuatu yang abstrak, yang tak dapat diraba apalagi
difoto. Lokasinya ada di kepala atau di alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan itu hidup.
(2) Wujud kebudayaan yang kedua
adalah kompleks aktivitas atau rangkaian tindakan dari manusia di dalam
masyarakat. Wujud kedua ini seringkali berbentuk tata kelakuan, berupa
rangkaian tindakan yang telah terpola menjadi sesuatu yang memiliki pembenar
moral karena telah diterima oleh masyarakat. Sebagai rangkaian tindakan atau
aktivitas, maka wujud ini bersifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan secara visual bahkan audio
visual.
(3) Wujud kebudayaan yang berupa
benda-benda meterial yang merupakan hasil karya manusia. Karena sifatnya yang
meterialistik, maka tentu wujud ketiga kebudayaan tersebut dapat dilihat,
diraba dan difoto. Iniliah wujud paling konkret dari sebuah kebudayaan.
Ketiga wujud kebudayaan sebagaimana
diuraikan di atas, dalam dunia kehidupan sosial tentulah tidak terpisah satu
dengan lainnya. Baik pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan, maupun tindakan dan
karya nyata manusia, terangkai menjadi suatu sistem kebudayaan. Sebagai suatu
sistem yang terdiri dari bagian-baian, maka dengan sendirinyalah ketiga wujud
kebudayaan tersebut menjadi saling berpengaruh sekaligus saling tergantung. Suatu
kebudayaan bukanlah sekedar akumulasi dari kebiasaan dan tata-kelakuan, tetapi
suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Memang rumit, bahkan sekedar
mengetahui unsur kebudayaan saja kita perlu memahami banyak hal yang sepertinya
tidak memiliki kaitan dengan kebudayaan.
Unit terkecil dalam kebudayaan disebut unsur (trait), yakni suatu
kesatuan corak perilaku yang dipelajari dan dianggap tak dapat diperkecil lagi.
Ada demikian banyak unsur dalam
suatu kebudayaan, tetapi memudahkan penjelasan terkait unsur-unsur tersebut, di
sini dapat disebut tujuh yang universal, yakni (1) sistem religi, (2) sistem
organisasi sosial, (3) sistem pengetahuan, (4) sistem bahasa, (5) sistem
kesenian, (6) sistem mata pencaharian, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh
unsur universal ini masing-masing dapat dipecah menjadi sejumlah sub-sistem
atau sub-unsur lagi.