Sabtu, 27 Juli 2013

Kebudayaan



Kebudayaan

            Sejumlah orang memberikan arti kebudayaan dengan pengertian yang sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai pikiran, karya dan apapun hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan. Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai kesenian. Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh dari pendefinisian yang memadai.
            Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan dengan sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun yang merupakan hasil pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang asali dari manusia hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia dalam kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedangkan yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait dengann sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan lain-lain yang sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan merupakan konstruksi budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari dengan alat berupa sendok, piring dan garpu, serta cara mengunyah makanan yang tidak bersuara, semua itu merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian maka hal penting yang harus disadari adalah bahwa konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki perbedaan di damping sejumlah persamaan.
            Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi penyumbang bagi usaha membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Apa yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin akan tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat itu berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik di kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim benar-salah, baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak ada ukuran yang dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya.
            Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan konsep yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar kehidupannya dan memberi arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002). Dalam pandangan dasar ini kebudayaan digambarkan sebagai sebuah teks, kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para anggotanya dan menjadikannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan menginternalisasikan suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk perasaan maka seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah kebudayaan mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga mereka memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga mereka memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan orang lain.
            Fakta penting lain mengenai kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan itu bersifat terbuka. Ia merupakan entitas ideasional. Karena sifatnya yang terbuka, maka kebudayaan itu mudah ditembus, dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai kebudayaan lain. Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin terjadi pengaruh satu kebudayaan   oleh kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak tersusun atas beraneka ragam kebudayaan yang mandiri, tertutup dan bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi dan traksaksional atau pertukaran yang konstan.
            Pertukaran dan penyesuaian terjadi setiap saat dan disetiap waktu. Makanan yang kita makan, buku yang kita baca, musik yang kita dengar, konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan, pengetahuan, semuanya itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk disadari agar pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan sebagaimana orang membuat kategori sederhana semisal : budaya kulit hitam, budaya kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain sebagainya.
            Sebagaimana pengertian kebudayaan yang demikian luas, maka sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian material dan non-material. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat berupa barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak lagi benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif manusia. Semua benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang, manusiapun memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup. Tetapi, jika binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam dan tinggal memakainya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan mengolahnya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya.
            Kebudayaan non-material terdiri dari kata-kata atau bahasa yang dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi atau berinteraksi sosial. Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta sejumlah kebiasaan juga merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang memfasilitasi umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkinkan oleh kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta norma-norma sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di sesuatu masyarakat, itu semua merupakan wujud dari kebudayaan non-material. Berjabat tangan, berjalan di sebelah kiri, berciuman ketika bertemu dengan teman lama serta masih banyak lagi contoh yang dapat disebut sebagai kontruksi budaya.
            Untuk lebih memudahkan usaha memahami kebudayaan non-material ini, berikut secara agak terinci akan diuraikan tentang bahasa dan komunikasi, norma, kebiasaan, tata kelakuan, lembaga, nilai, dan hukum.

            1.         Bahasa dan komunikasi
            Sebagaimana di depan sudah sedikit disinggung bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah mahluk pekerja, maka keadaan ini sangat berbeda dengan binatang. Sekalipun demikian, segala aktivitas (atau lebih tepatnya disebut gerakan) binatang tentu memerlukan sarana yang memudahkan. Binatang memiliki 'bahasanya' sendiri. Banyak binatang dapat bertukar perasaan melalui geraman atau auman, dengkuran, panggilan untuk kawin dan suara-suara lain yang hanya dimengerti oleh sesama binatang. Beberapa binatang mengeluarkan bebauan atau menggerak-gerakkan badannya untuk menyampaikan pesan bagi yang lain.
            Bunyi dan gerakan ini bukanlah bahasa, karena masing-masing lebih merupakan reaksi naluriah daripada reaksi yang terkonstruksi dari hasil learning process. Kita tidak tahu apakah anjing menggonggong karena mengajak kawin anjing yang lain. Barangkali anjing tersebut hanya sekedar ingin menggonggong saja. Sepengetahuan kita, tidak ada binatang yang mengeluarkan suara khusus untuk maksud khusus yang ditujukan pada binatang sejenisnya. Tidak juga gerakan khusus yang dimaksudkan untuk menandai maksud khusus pada binatang lainnya. Dengan demikian maka bahasa tidaklah dimiliki oleh binatang, tetapi hanya dimiliki oleh manusia.
            Suatu bahasa hanyalah semacam tanda yang berupa suatu susunan suara dengan arti khusus pada setiap suara. Suatu teriakan emosional dan naluriah bukanlah suatu bahasa sekalipun suara yang demikian itu mengandung makna. Bayi menangis tanpa menggunakan bahasa untuk sekedar memberitahukan bahwa ia sakit, lapar atau popoknya minta diganti. Bahasa barulah muncul ketika terdapat perkaitan makna dengan sesuatu bunyi.
            Belakangan ini, muncul peristilahan yang terkait dengan bahasa, yakni bahasa tubuh. Sejumlah artikel di majalah bahkan sampai ada sebuah buku yang secara khusus menguraikan tentang bahasa tubuh. Bahasa tubuh hanyalah dimaksudkan untuk menjelaskan ada perubahan arti yang diperagakan melalui gerak isyarat dan sikap tubuh. Meskipun bahasa tubuh mungkin dapat merupakan bentuk komunikasi, tetapi ia bukanlah bahasa dalam arti sebenarnya karena bahasa terbatas pada komunikasi melalui simbol kata-kata.
            Hanya manusialah yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Pertukaran simbol untuk merubah arah perasaan bagi manusia difasilitasi oleh bahasa untuk berinteraksi sosial. Tanpa bahasa dan komunikasi, dengan sangat mudah kita membayangan kehidupan manusia di dalam goa dan ranting pohon.

            2.         Norma
            Sejumlah besar pengertian norma merujuk pada aturan moral yang disetujui untuk dilaksanakan dan tidak dilaksanakan. Dengan demikian ia (norma) merefleksikan apa yang disetujui dan yang tidak disetujui oleh anggota suatu masyarakat untuk dilakukan. Norma menunjukkan kepada anggota masyarakat tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan. Berbeda dengan hukum, maka norma tidak memiliki sanksi yang tegas kecuali secara moral.
            Pada dasarnya, norma sosial adalah hasil dari kehidupan bermasyarakat. Kecuali memang ia menjadi bagian kehidupan sosial ia juga tercipta dari proses sosial dalam suatu masyarakat. Norma tumbuh menjadi batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Ia berada di luar individu yang mengatur perilaku individu dalam interaksi sosialnya. Bahkan, sejak sebelum individu itu dilahirkan, norma tersebut telah ada.
            Individu dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima seperangkat aturan tidak tertulis yang berbentuk norma. Individu menginternalisasikan aturan-aturan, menerima aturan tersebut sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah dan ia dikendalikan tidak saja melalui rasa takut untuk merugikan individu lain tetapi juga melalui perasaan bersalah apabila melanggarnya.
Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat Barat dimana kerja keras merupakan suatu keutamaan yang sangat dihargai akan mengakibatkan perasaan bersalah pada individu bila ia tidak mengerjakan apa-apa.
            Sekalipun norma menghadirkan pembatasan-pembatasan tingkah laku dan mengendalikan berbagai tindakan sosial individu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak merasa mendapat tekanan atau paksaan karena mereka telah menginternalisasi norma tersebut untuk kemudian menjadi standar tingkah lakunya sendiri. Sepanjang hidup individu disosialisasikan untuk menerima begitu saja bermacam-macam norma dari kelompok yang beraneka ragam sebagaimana keluarga, teman sebaya, sejawat di kantor, dan kolektivitas lain memungkinkan ia terlibat di dalamnya.
            Dalam setiap kelompok sosial, tentu norma yang hidup sangat mungkin berlainan. Bentuk-bentuk humor tertentu akan diterima baik dalam suatu kelompok tetapi sangat mungkin dikatakan sebagai 'berselera rendah' di kelompok lain. Dalam hal tertentu tingkah laku dianggap wajar dalam suatu masyarakat, tetapi mungkin dianggap menyimpang di masyarakat lain. Di kalangan selebriti berciuman dan bersentuhan fisik dianggap normatif, mungkin tabu bagi masyarakat dalam kelompok bukan selebriti.
           
            3.         Kebiasaan
            Ada begitu banyak kebiasaan yang dilakukan oleh setiap masyarakat. Bahkan masyarakat primitifpun memiliki kebiasaan. Tentu kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat primitif tidaklah sebanyak masyarakat modern. Kepemilikan kebiasaan yang merentang mulai dari masyarakat primitif hingga modern ini menunjukkan bahwa pengulangan tindakan yang terpola itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak masyarakat itu ada.
            Di mana-mana kehidupan sosial selalu penuh dengan berbagai masalah bagaimana merebut kehidupan dari alam, bagaimana membagi hasil usaha atau keuntungan, bagaimana kita berhubungan secara serasi dengan orang lain dan sebagainya. Manusia telah mencoba setiap cara 'yang mungkin' untuk menghadapi masalah semacam itu. Berbagai masyarakat telah menemukan berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Suatu kelompok dapat saja makan satu kali dalam sehari dan boleh makan sambil berdiri, serta selalu berjabat tangan jika bertemu seseorang kawan. Hal yang sama berlaku untuk ratusan bahkan ribuan macam kebiasaan.
            Setiap kebiasaan merupakan sekumpulan dari sejumlah kemungkinan yang pengerjaannya. Awalnya tentu melalui coba-coba datau mendapati situasi kebetulan yang mengibatkan pengaruh yang tidak disadari, kemudian seseorang mengerjakannya serta mengulang-ulangnya. Dari pengerjaan pengulangan atau berulangkali ini maka sampailah seseorang pada penerimaan pengerjaan itu sebagai sesuatu yang wajar dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kejadian semacam ini terjadi turun temurun, dari generasi yang lebih tua ke generasi yang muda.
            Kebiasaan (folkways) hanyalah suatu cara yang lazim dan wajar serta diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Ia (kebiasaan) memiliki kekuatan mengikat sebagai perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Berjabat tangan, memberi hormat pada yang lebih tua, selalu memberikan sesuatu melalui tangan kanan, merupakan kebiasaan-kebiasaan dari sesuatu masyarakat sekalipun hal yang sama mungkin tidak terjadi pada masyarakat lainnya.                                             Sebagaimana telah disinggung pada bab 2 bahwa kebiasaan bukanlah bawaan sejak lahir, namun adalah hasil pembelajaran dari pengalaman. Pengalaman atau pembelajaran tersebut diperoleh manusia sejak masa kanak-kanaknya melalui usaha peniruan dari sejumlah tindakan yang telah ada dalam lingkungan sosialnya.

            4.         Tata Kelakuan
            Jika kebiasaan berangsur-angsur dipahami tidak semata-mata sebagai cara bertindak namun juga menghadirkan pembatasan-pembatasan atas tindakan individu, maka kebiasaan tadi akan berubah menjadi tata kelakuan atau mores. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang berfungsi sebagai penjaga harmoni sosial. Dengan mengacu pada tata kelakuan, seseorang individu anggota masyarakat dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menghindari penyimpangan yang tidak dikehendaki oleh masyarakatnya.
            Penting disadari, bahwa tata kelakuan merupakan batas perilaku individu dalam kelompok masyarakat. Tata kelakuan akan melarang atau membolehkan sesuatu tindakan itu dilakukan di suatu masyarakat. Ia diharapkan menjadi pusat acuan tindak individu demi terpeliharanya harmoni sosial. Dengan demikian, mengingat tata kelakuan itu merupakan produk masyarakat, maka dengan sendirinya setiap masyarakat memilik tata kelakuan yang masing-masing cenderung berbeda.
            Horton dan Hunt (1996) mengajukan pengertian tentang tata kelakuan sebagai gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain. Ada kandungan irrasionalitas dalam tesis tentang tata kelakuan ini, yakni terletak pada keyakinan bahwa sebagai gagasan yang luhur pantang bagi siapapun anggora masyarakat yang melanggarnya. Karena, pelanggaran dapat berarti undangan bagi hadirnya bencana pada masyarakat pemiliknya (pemilik tata kelakuan tersebut). Orang luar dapat saja mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah masuk akal, namun demikian memang itulah kenyataannya, dan pernyataan tidak masuk akal dari orang luar tersebut tidak serta merta menghadirkan klaim benar salah untuk masyarakat yang meyakininya.
            Tata kelakuan itu dapat saja meliputi sifat tabu terhadap sejumlah jenis makanan tertentu semisal babi dan kuda. Dapat juga tabu terkait dengan kesopanan seperti melarang muka, tumit, pergelangan tangan, dada, atau apa saja yang terbuka, karena dianggap tidak sopan. Berkata-kata jorok mungkin saja merupakan pelanggaran bagi tata kelakuan yang mengutamakan kelemahlembutan dan kesopanan.
            Tata kelakuan tidak ditemukan atau dipikirkan atau disusun dengan sengaja karena seseorang menganggap hal itu adalah gagasan yang baik. Tata kelakuan muncul dari keyakinan kelompok yang ada dalam masyarakat bahwa suatu tindakan khusus akan merugikan dan harus dilarang, serta tindakan khusus akan dianjurkan mengingat kemanfaatannya bagi orang lain.
            Tata kelakuan pada abad pertengahan membenarkan Gereja untuk membiarkan pelacuran dan bahkan turut menikmati hasilnya. Orang-orang yang memerintahkan penyiksaan dan pembakaran orang-orang biadab bukanlah orang-orang kasar yang jahat, tetapi orang yang terhormat sekaligus bermartabat. Tetapi, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, kini tata kelakuan itu sudah semakin sulit ditemukan eksistensinya.

            5.         Lembaga
            Lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tatacara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu. Dalam sebagian besar masyarakat yang kompleks, ada lima lembaga dasar, yakni keluarga, agama, pemerintahan, pendidikan, dan kegiatan ekonomi. Lembaga termasuk diantara kontruksi budaya yang paling resmi dan bersifat memaksa. Jika kebiasaan dan tata kelakuan hanya bersifat mengikat, maka lembaga melintasi sifat tersebut hingga bersifat memaksa.
            Yang perlu diingat adalah bahwa lembaga selalu merupakan sistem gagasan dan perilaku yang terorganisasi yang menghasilkan perilaku kolektif. Dengan demikian sebenarnya, lembaga tidak memiliki anggota tetapi memiliki pengikut. Sebagai contoh, agama bukanlah suatu kelompok orang, tetapi merupakan sistem gagasan, kepercayaan, praktek dan hubungan. Jadi agama bukanlah manusianya, agama adalah suatu sistem keyakinan dan prakteknya. Sama halnya jika kita contohkan bahwa sepakbola adalah sistem permainan, sedang team adalah para pemainnya. Team adalah asosiasi orang-orang yang memainkan permainan itu sendiri.
            Suatu lembaga setidaknya mencakup tiga hal, yakni (1) seperangkat pola perilaku yang telah memiliki standar, (2) serangkaian tata kelakuan, sikap dan sejumlah nilai yang mendukung, dan (3) adanya tradisi. Cakupan ini  mendekatkan pengertian bahwa lembaga sebagai suatu sistem disertai kecenderungan praktek gagasan yang telah secara umum mendapatkan dukungan dan atau toleransi dari sejumlah nilai.
            Ada seseorang mengatakan bahwa dulu masyarakat kita tidaklah mengenal istilah pacaran, tetapi sekarang pacaran sudah melembaga. Pemahaman atas teks tersebut adalah bahwa seseorang ingin mengatakan jika tindakan pacaran itu sudah diterima secara umum di masyarakat sebagai bagian yang perlu dari pendewasaan dan penemuan pasangan perkawinan. Jika seseorang yang lain mengatakan bahwa sapaan assalamu'alaikum itu sudah melembaga, maka itu berarti bahwa sapaan tersebut telah diterima secara umum dan dibakukan sebagai salam ketika terjadi pertemuan seseorang dengan orang lain.
            Ada beberapa unsur dalam lembaga sosial, di antaranya adalah (1) simbol kebudayaan. Manusia telah menciptakan berbagai simbol yang berfungsi sebagai pengingat kelembagaan. Nasionalisme akan dengan cepat diingatkan oleh bendera dan lambang negara. Begitu juga lagu kebangsaan. Lagu kebangsaan akan dengan mudah menuntun pendengarnya untuk segera ingat pada negaranya. Gedung juga dapat menjadi simbol lembaga. Karenanya, sulit untuk membayangkan agama tanpa masjid dan desa tanpa rumah.
            (2) Kode perilaku. Pengikut suatu lembaga selalu harus siap melaksanakan perannya dalam lembaga tersebut. Peran itu biasanya terungkap dalam tindakan tertentu yang resmi semisal janji setia pada negara, janji setia pada pasangan perkawinan, kode etik paramedis, kode etik advokad, janji sarjana dan lain sebagainya. Sekalipun janji-janji tersebut pada akhirnya dilanggar, tetapi telah menjadi penanda atau kode perilaku yang membatasi dari perilaku lain yang bukan merupakan mainstream perilaku lembaga.
            (3) Ideologi. Secara sederhana ideologi dapat dipahami sebagai seperangkat gagasan yang menyetujui sesuatu norma. Ideologi menjelaskan mengapa seseorang harus bertindak demikian dan tidak yang lain. Ia dapat menjadi pembenar yang masuk akal terhadap sesuatu tindakan berdasar pada sesuatu norma lembaga. Contohnya, kenakalan remaja mungkin saja diterjemahkan secara berbeda oleh lembaga yang satu dengan lainnya karena ideologi masing-masing lembaga tersebut berbeda.
           
            6.         Nilai
            Banyak pidato, bahkan hingga berbuih-buih sudut bibirnya, menyelipkan kata nilai dalam frekuensi yang tinggi. Tata nilai, nilai budaya, nilai-nilai luhur, nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai reformasi, menjadi sejumlah kata yang dapat dengan mudah didengar dari pidato-pidato kantoran hingga kampanye lapangan. Bersamaan dengan itu, banyak pula sebenarnya orang yang tidak begitu paham tentang apa yang dimaksud dengan 'nilai'.
            Nilai adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1974). Karena itu, sebagai suatu bagian dari sistem budaya, nilai biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan anggota masyarakat. Bagian dari sistem budaya (selain nilai) semisal norma dan juga hukum biasanya berpedoman pada sistem nilai ini.
            Jika tata kelakuan adalah gagasan yang menyatakan apakah tindakan tertentu itu benar atau sebaliknya, maka nilai adalah gagasan mengenai apakah pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai merupakan bagian penting dari suatu kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima. Ketepatan waktu, kemajuan materi, dan persaingan bebas yang fair, serta etos pelayan merupakan nilai-nilai utama orang-orang yang bekerja di sektor perbankan, sementara sejumlah nilai itu tidak ditemukan, misalnya, di lingkungan karyawan pemerintahan lokal.
            Dalam masyarakat plural, pertentangan nilai akan terus berlangsung, dan nilai-nilai berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran nilai, atau bahkan perubahan nilai, akan mempengaruhi kebiasaan (folkways) dan tata kelakukan (mores).
Pergeseran nilai terkait dengan kehidupan seks misalnya, akan mengubah tata kelakuan remaja dalam pacaran. Yang dulu pacaran tidak lebih dari sekedar saling berkirim surat penuh rayuan dan ungkapan cinta, sekarang pacaran cenderung dianggap tidak lengkap tanpa ciuman bibir bahkan saling raba.
           
            7.         Hukum
            Operasionalisasi hukum terkait dengan kewajiban dan hukuman. Sebagai perangkat aturan formal yang mengikat, hukum memiliki sanksi sangat tegas berupa hukuman fisik dari pelanggarnya. Bagi anggota masyarakat yang tidak berusaha mematuhi hukum dengan cara menyesuaikan tindakan dengan apa yang dikehendaki hukum, maka akan dijatuhi hukuman penjara.
            Tata kelakuan memang cenderung berfungsi hanya sebagai tata kelakuan. Tetapi tata kelakuan berkecenderungan juga menyatu dalam hukum di masyarakat. Bisa jadi, hukum muncul sebagai bentuk formalisasi dari tata kelakuan yang ada. Oleh karena itu sebenarnya, hukum muncul untuk memperkuat tata kelakuan. Pembatasan tindakan manusia oleh hukum diorientasikan agar anggota masyarakat tidak tergoda untuk melanggar tata kelakuan. Orang-orang dipaksa untuk menyesuaikan diri melalui ancaman hukuman yang sah.
            Pembicaraan mengenai hukuman sebagai ungkapan tata kelakuan yang terkodifikasi adalah pandangan hukum kaum fungsionalis. Para sosiolog aliran ini memahami hukum sebagai alat golongan elite untuk mengendalikan dan mengeksploitasi golongan tertindas. Mereka memandang hukum sebagai pengabsah eksploitasi, sementara polisi dan pengadilan memaksakan pelaksanaannya untuk kepentingan pertahanan sejumlah hak istimewa mereka atas beban golongan tertindas. Itulah sebabnya, dalam masyarakat plural yang kompleks, kecuali hukum memperkuat tata kelakuan, juga berusaha melindungi dan memelihara sistem sosial.
            Pendapat lain tentang hukum adalah alokasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan dilakukan dengan semangat kebajikan yang mengedepankan aspek keadilan (justice). Masyarakat dipahami sebagai sebuah entitas konsensual yang memiliki nilai-nilai bersama. Demi menjaga harmoni sosial atau keteraturan sosial,  hukum menjadi sarana penting yang bersifat memaksa melalui sanksi-sanksi tegas yang oleh Max Weber disebut sebagai alat-alat coecive. Bagi Weber, kepatuhan terhadap hukum semata-mata karena ia memiliki alat tersebut. Alat-alat coercive tersebut dipakai untuk menegakkan hukum dalam masyarakat, organisasi korporasi, atau lembaga-lembaga (Kuper & Kuper, 2000). Karenanya, pemberlakuan hukum dijamin oleh negara karena negara memiliki keunggulan dalam hal penggunaan kekerasan kepada warganya.
            Dari banyak hal terkait kebudayaan material dan non-material sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka dapat disimpulkan bahwa paling sedikit suatu kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yakni (1) wujudnya sebagai suatu tatanan gagasan berupa perangkat nilai, norma, hukum. Wujud pertama ini merupakan sesuatu yang abstrak, yang tak dapat diraba apalagi difoto. Lokasinya ada di kepala atau di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan itu hidup.
            (2) Wujud kebudayaan yang kedua adalah kompleks aktivitas atau rangkaian tindakan dari manusia di dalam masyarakat. Wujud kedua ini seringkali berbentuk tata kelakuan, berupa rangkaian tindakan yang telah terpola menjadi sesuatu yang memiliki pembenar moral karena telah diterima oleh masyarakat. Sebagai rangkaian tindakan atau aktivitas, maka wujud ini bersifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan secara visual bahkan audio visual.
            (3) Wujud kebudayaan yang berupa benda-benda meterial yang merupakan hasil karya manusia. Karena sifatnya yang meterialistik, maka tentu wujud ketiga kebudayaan tersebut dapat dilihat, diraba dan difoto. Iniliah wujud paling konkret dari sebuah kebudayaan.
            Ketiga wujud kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas, dalam dunia kehidupan sosial tentulah tidak terpisah satu dengan lainnya. Baik pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan, maupun tindakan dan karya nyata manusia, terangkai menjadi suatu sistem kebudayaan. Sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-baian, maka dengan sendirinyalah ketiga wujud kebudayaan tersebut menjadi saling berpengaruh sekaligus saling tergantung. Suatu kebudayaan bukanlah sekedar akumulasi dari kebiasaan dan tata-kelakuan, tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Memang rumit, bahkan sekedar mengetahui unsur kebudayaan saja kita perlu memahami banyak hal yang sepertinya tidak memiliki kaitan dengan kebudayaan.  Unit terkecil dalam kebudayaan disebut unsur (trait), yakni suatu kesatuan corak perilaku yang dipelajari dan dianggap tak dapat diperkecil lagi.
            Ada demikian banyak unsur dalam suatu kebudayaan, tetapi memudahkan penjelasan terkait unsur-unsur tersebut, di sini dapat disebut tujuh yang universal, yakni (1) sistem religi, (2) sistem organisasi sosial, (3) sistem pengetahuan, (4) sistem bahasa, (5) sistem kesenian, (6) sistem mata pencaharian, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal ini masing-masing dapat dipecah menjadi sejumlah sub-sistem atau sub-unsur lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar