Senin, 22 Juli 2013

Masyarakat


Masyarakat

            Setelah selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai sejumlah hal terkait dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting untuk memahami terlebih dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal ini diperlukan karena kecuali dunia kehidupan sosial itu beroperasi di masyarakat, juga pengertian masyarakat akan selalu terbawa hingga akhir buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi di depan komunikasi itulah yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa hingga jauh.
            Kata masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun keduanya sangat berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu yang tidak asali, baik berupa sesuatu yang materiil maupun sebaliknya adalah konstruksi budaya atau hasil kebudayaan, atau hasil suatu budi daya manusia. Sedangkan masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Mungkin pemakaian istilah organisasi dapat dicairkan dengan pemakaian istilah sekumpulan karena organisasi mengandung pengertian adanya pengaturan struktural yang kaku dengan pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat tidaklah setegas dan seteratur sebuah organisasi.
            Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton & Hunt 1996; 59). Pendefinisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh dua sosiolog dari Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk pegangan studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas milik mereka sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu wilayah tertentu.
            Adanya sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai adanya sistem sosial. Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik sentral pengertian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah, bahwa setiap bagian struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Setiap bagian dari sebuah sistem sangat berfungsi terhadap bagian yang lain. Kesalingtergantungan antar bagian atau struktur dalam sistem sosial inilah yang membentuk masyarakat. Keyakinan ini menjadi asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang pentolannya adalah Robert King Merton.
            Keseimbangan menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat. Sehingga, tesis atau anggapan ini mengabaikan adanya struktur yang beroperasi menentang atau bertentangan dengan struktur yang lain dalam sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki fungsi dalam artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan, oleh penganut teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya adalah, fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional, tetapi setidaknya kemiskinan itu berfungsi : 1) menyediakan tenaga kerja kasar, 2) pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya terhadap si miskin, 4)  penyedia tenaga bagi pemanfaatan barang bekas pakai orang kaya dan lain sebagainya.
            Yang baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggapan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya memiliki kesalingtergantungan sekaligus saling memiliki fungsi bagi masing-masingnya. Kecuali teori Fungsionalisme Struktural, masih terdapat sejumlah teori lain yang semuanya berbicara tentang bagaimana masyarakat bisa dilahirkan, dipelihara serta dikembangkan. Mengingat tekanan studi Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada sosiologi tetapi juga pada teknologi komunikasi, maka akan menjadi baik kalau kita batasi uraian tentang masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa mainstream golongan besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja sebagaimana, masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini memiliki kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah hal spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya.

            1.         Masyarakat Desa.
            Sudah lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua golongan besar, yakni desa dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan perbedaan untuk sejumlah hal, terutama fisik dan sosialnya. Karenanya, selalu terdapat perbedaan perilaku antara oirang desa dan orang kota. Perbedaan tersebut merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi sastrawan untuk mengarang novel atau skenario drama dan film.
            Terdapat ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat ditunjukkan dalam uraian ini yakni, 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4) ekonomi subsistensi.
            Isolasi. Mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol pada masa silam adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang desa mengelompkkan diri ke dalam desa-desa kecil yang ladang pertaniannya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Rumah yang terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman desa, suatu pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun dari segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah dari yang lain, tetapi bahkan keluarga yang satupun terpisah denganb keluarga yang lain. Bukan sesuatu yang kebetulan jika budaya ramah tamah terdapat dalam kehidupan masyarakat desa di samping sifat yang menonjol lainnya yakni budaya gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti nyata betapa adat dan kebiasaan muncul karena kebutuhan sosial dan karenanya ketika kebutuhan sosial itu berubah maka akan cenderung mengubah adat dan kebiasaannya.
            Homogen. Secara keseluruhan diseluruh pemukiman di suatu negara, Indonesia umpamanya, sangatlah heterogen. Namun demikian, di tempat pemukiman pedesaan pemukim cenderung sangat homogen dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya mereka mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya disertai oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional, dan etnosentrisme masyarakat yang menonjol.
            Pertanian. Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau buruh lepas di sektor tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan Tokopun ikut terlibat dalam kehidupan pertanian. Semua menghadapi masalah dan tugas yang sama, serta sama-sama merasakan betapa tidak berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan alam yang berada di luar kemampuan manusia.
             Ekonomi Subsistensi. Keluarga tradisional di masyarakat pedesaan berusaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi sendiri. Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem tukar (barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat hemat merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang menyolok dipandang sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah keluarga pedesaan ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak, hasil panen serta harta warisan yang diterima dan yang kelak mampu diwariskan kepada anak keturunannya.
            Dalam kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya sistem ekonomi pasar, masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini muncul sebagai ketidakpercayaan dan kebencian terhadap anggota masyarakat kota.Dari sudut pandang anggota, masyarakat desa berjumlah relatif kecil terdiri dari individu-individu yang cenderung disatukan oleh garis keturunan dengan teknologi pertanian sederhana serta interaksi sosialnya dilakukan dengan model komunikasi tatap muka.
            Saat ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana membanjirnya informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami perubahan. Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah membedakan masyarakat desa dengan kota melalui sejumlah penanda sebagaimana telah diuraikan di depan, tetapi perbedaan yang dapat ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman dahulu.
            Dewasa ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya. Meskipun memang masih terdapat sejumlah perbedaan dalam segi kepribadian, gaya hidup, dan sistem nilai antara masyarakat desa dengan kota, namun perbedaan itu semakin mencair. Baik orang kota maupun desa telah dijangkau oleh media massa yang sama dan mereka memberikan respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa tersebut. Mobil dan jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan menjadi tidak begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak lagi dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan. Pertanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komersialisasi dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai bertumbuhan usaha agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang berkurangnya petani dan tenaga kerja agraris. Akibatnya        

            2.         Masyarakat Kota
            Pertumbuhan kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa diorganisasi berdasarkan sistem kekearabatn dan diarahkan oleh adat kebiasaan, maka tidak demikian dengan kota. Kota memiliki pembagian kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus. Bukan sistem kekerabatan sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota merupakan organisasi sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial.
            Perkembangan kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan kota kecil (town) menjadi kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai dengan aktivitas khas yang terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu teritori. Misalnya, kota peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristirahatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan kota kecil ini biasanya memberikan rangsangan kuat bagi penemuan-penemuan yang tidak ditemukan di pedesaan, misalnya saja adanya kereta, selokan dan terowongan air, sistem tulisan, sistem angka, birokrasi pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifikasi sosial, serta masih banyak lagi yang lainnya. Karenanya, maka wajar kalau di dalam pertumbuhannya sejumlah kota menjadi pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta sejumlah daya tari kemujuan lain.
            Namun demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan kejahatan, hedonisme, pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepura-puraan. Singkatnya, kota merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda dengan cirii budaya dominan. Kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras) tidak sebagaimana desa yang cenderung homogen. Terdapat sejumlah ciri yang dapat membantu kita mengenali masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak sosial, 3) keteraturan, 4) keramaian, 5) kepribadian urban.
            Anominitas. Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan cenderung menciptakan anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota masyarakat kota habis ditengah kumpulan manusia yang anonim. Keadaan ini dihasilkan oleh hebatnya heterogenitas kehidupan kota yang ditandai oleh keanekaragaman ras, kelas sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau agama, dan lain sebagainya. Anominitas paling heboh di masyarakat kota biasanya terdapat di kampung kumuh, yakni kampung tempat manusia, lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus terlupakan. Mereka hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki masa lalu yang jelas, dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan kumpulan orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa dengan peran sosialnya yang tida penting.
            Jarak Sosial. Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas, dan impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini mungkin dapat dilakukan dengan contoh berikut.
            Jika kita sedang berada di sesebuah mall atau di peron stasiun kereta kita tentu berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja kita harus bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita temui tersebut bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan yang panjang dengan kita atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya dapat mengenali orang-orang yang lalu lalang itu melalui apa yang dapat kita lihat semisal pakaian, perhiasan, sikap dan mungkin barang bawaannya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan bahwa yang terjadi adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan setiap oarang bisa saja bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di dua tempat tersebut, namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta tidak memiliki kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak sosial yang nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam lagu seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian.
            Keteraturan. Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau ketidakformalan, namun tidak demikian dengan masyarakat kota. Keteraturan masyarakat kota sebagai sesuatu yang wajar muncul akibat kepadatan penduduk dan spesialisasi pekerjaan. Jadwal pekerjaan yang ketat yang harus dilakukan penyesuaian dengan 'jam biologis' (waktu tidur, bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran untuk mengatur sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum.
            Lampu pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, transportasi dan sejumlah hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas perkotaan. Perkembangannya bahkan, membangun rumah tinggal keluarga saja kini harus mengikuti Peraturan Daerah. Di beberapa kota besar, ada sesuatu kawasan yang tidak boleh dibangun sesuatu bangunan tanpa rekomendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga dengan perlakuan warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan mengingat pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus dilindungi melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya.
            Dengan demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu kota, kecenderungannya adalah semakin banyak pengaturan hidup yang pusat orientasinya adalah pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat desa yang cenderung mengikuti harmoni alamiah. Tidak banyak pengaturan hidup yang membatasi kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa. Kehidupan cenderung berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan cuaca.
            Keramaian (crowding). Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif yang dapat diukur, sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif. Seseorang merasa berada dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia kekurangan tempat atau kebebasan pribadinya. Seseorang kawan mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kota kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup karena suasana kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal.
            Kecenderungan kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai oleh kepadatan penduduk yang secara fisik tentu menghasilkan keramaian. Problem sosial yang muncul dari keramaian biasanya terkait dengan penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial. Dengan mengambil contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia, memang tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam problem. Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduknya paling tinggi di dunia, namun tingkat kematian, penyakit, dan gangguan mental lebih rendah dari pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton & Hunt 1996; 154). Keramaian dan kepadatan penduduk tidak harus mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi tampaknya kita harus mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas lingkungan yang dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup manusia. Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan demi menjaga kualitas hidupnya.
            Kepribadian urban. Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis Wirth, 1938) menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan menciptakan kepribadian yang sangat berbeda dengan masyarakat desa. Orang kota cenderung memiliki kepribadian anomis, materialistis, mandiri (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, manipulatif, dan cenderung dalam perasaan tidak aman.
            Seiring dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotong-royong, ketetanggaan serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun menurun. Hal ini menjadi penyumbang utama munculnya kepribadian yang menempatkan 'diri' sebagai pusat pertimbangan tindakan.  Sikap tolong menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan masyarakat desa tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat semacam kekosongan sosial yang alienatif yang menjadikan penduduk kota menjauh dari ciri kepribadian desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar