Masyarakat
Setelah
selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai sejumlah hal terkait
dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting untuk memahami terlebih
dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal ini diperlukan karena kecuali
dunia kehidupan sosial itu beroperasi di masyarakat, juga pengertian masyarakat
akan selalu terbawa hingga akhir buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi
di depan komunikasi itulah yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa
hingga jauh.
Kata
masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun keduanya sangat
berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang
menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu yang tidak asali, baik berupa
sesuatu yang materiil maupun sebaliknya adalah konstruksi budaya atau hasil
kebudayaan, atau hasil suatu budi daya manusia. Sedangkan masyarakat merupakan
suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Mungkin
pemakaian istilah organisasi dapat dicairkan dengan pemakaian istilah
sekumpulan karena organisasi mengandung pengertian adanya pengaturan struktural
yang kaku dengan pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat
tidaklah setegas dan seteratur sebuah organisasi.
Masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama
cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang
sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton
& Hunt 1996; 59). Pendefinisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan
oleh dua sosiolog dari Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk
pegangan studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah
kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas milik mereka
sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu wilayah tertentu.
Adanya
sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai adanya sistem sosial.
Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik sentral pengertian
masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan
pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah, bahwa setiap bagian struktur
dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Setiap bagian dari sebuah
sistem sangat berfungsi terhadap bagian yang lain. Kesalingtergantungan antar
bagian atau struktur dalam sistem sosial inilah yang membentuk masyarakat.
Keyakinan ini menjadi asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang
pentolannya adalah Robert King Merton.
Keseimbangan
menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat. Sehingga, tesis atau anggapan ini
mengabaikan adanya struktur yang beroperasi menentang atau bertentangan dengan
struktur yang lain dalam sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala
pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki
fungsi dalam artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan,
oleh penganut teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya
adalah, fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional,
tetapi setidaknya kemiskinan itu berfungsi : 1) menyediakan tenaga kerja kasar,
2) pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya
terhadap si miskin, 4) penyedia tenaga
bagi pemanfaatan barang bekas pakai orang kaya dan lain sebagainya.
Yang
baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggapan bahwa masyarakat
adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya memiliki kesalingtergantungan
sekaligus saling memiliki fungsi bagi masing-masingnya. Kecuali teori
Fungsionalisme Struktural, masih terdapat sejumlah teori lain yang semuanya
berbicara tentang bagaimana masyarakat bisa dilahirkan, dipelihara serta
dikembangkan. Mengingat tekanan studi Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada
sosiologi tetapi juga pada teknologi komunikasi, maka akan menjadi baik kalau
kita batasi uraian tentang masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa
mainstream golongan besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja
sebagaimana, masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini
memiliki kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan
demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah hal
spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya.
1. Masyarakat Desa.
Sudah
lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua golongan besar, yakni desa
dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan perbedaan untuk sejumlah hal,
terutama fisik dan sosialnya. Karenanya, selalu terdapat perbedaan perilaku
antara oirang desa dan orang kota. Perbedaan tersebut merupakan sumber
inspirasi yang tak habis-habisnya untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi
sastrawan untuk mengarang novel atau skenario drama dan film.
Terdapat
ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat ditunjukkan dalam uraian
ini yakni, 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4) ekonomi subsistensi.
Isolasi.
Mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol pada masa silam
adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang desa mengelompkkan diri ke
dalam desa-desa kecil yang ladang pertaniannya dapat dicapai hanya dengan
berjalan kaki. Rumah yang terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman
desa, suatu pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun
dari segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah
dari yang lain, tetapi bahkan keluarga yang satupun terpisah denganb keluarga
yang lain. Bukan sesuatu yang kebetulan jika budaya ramah tamah terdapat dalam
kehidupan masyarakat desa di samping sifat yang menonjol lainnya yakni budaya
gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti nyata betapa adat dan kebiasaan
muncul karena kebutuhan sosial dan karenanya ketika kebutuhan sosial itu berubah
maka akan cenderung mengubah adat dan kebiasaannya.
Homogen.
Secara keseluruhan diseluruh pemukiman di suatu negara, Indonesia umpamanya,
sangatlah heterogen. Namun demikian, di tempat pemukiman pedesaan pemukim
cenderung sangat homogen dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada
umumnya mereka mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya
disertai oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional,
dan etnosentrisme masyarakat yang menonjol.
Pertanian.
Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau buruh lepas di sektor
tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan Tokopun ikut terlibat dalam
kehidupan pertanian. Semua menghadapi masalah dan tugas yang sama, serta
sama-sama merasakan betapa tidak berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan
alam yang berada di luar kemampuan manusia.
Ekonomi Subsistensi. Keluarga tradisional di
masyarakat pedesaan berusaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi
sendiri. Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai
kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem tukar
(barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat hemat
merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang menyolok dipandang
sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah keluarga pedesaan
ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak, hasil panen serta harta
warisan yang diterima dan yang kelak mampu diwariskan kepada anak keturunannya.
Dalam
kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya sistem ekonomi pasar,
masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelektualitas dan ilmu pengetahuan.
Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini muncul sebagai ketidakpercayaan dan
kebencian terhadap anggota masyarakat kota.Dari sudut pandang anggota,
masyarakat desa berjumlah relatif kecil terdiri dari individu-individu yang
cenderung disatukan oleh garis keturunan dengan teknologi pertanian sederhana
serta interaksi sosialnya dilakukan dengan model komunikasi tatap muka.
Saat
ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana membanjirnya
informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami perubahan.
Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah membedakan masyarakat
desa dengan kota melalui sejumlah penanda sebagaimana telah diuraikan di depan,
tetapi perbedaan yang dapat ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman
dahulu.
Dewasa
ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya. Meskipun memang masih
terdapat sejumlah perbedaan dalam segi kepribadian, gaya hidup, dan sistem
nilai antara masyarakat desa dengan kota, namun perbedaan itu semakin mencair.
Baik orang kota maupun desa telah dijangkau oleh media massa yang sama dan
mereka memberikan respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa
tersebut. Mobil dan jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan
menjadi tidak begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak
lagi dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat
kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan.
Pertanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komersialisasi
dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai bertumbuhan usaha
agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang berkurangnya petani dan
tenaga kerja agraris. Akibatnya
2. Masyarakat Kota
Pertumbuhan
kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa diorganisasi berdasarkan
sistem kekearabatn dan diarahkan oleh adat kebiasaan, maka tidak demikian dengan
kota. Kota memiliki pembagian kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus.
Bukan sistem kekerabatan sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota
merupakan organisasi sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial.
Perkembangan
kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan kota kecil (town) menjadi
kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai dengan aktivitas khas yang
terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu teritori. Misalnya, kota
peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristirahatan dan lain sebagainya.
Pertumbuhan kota kecil ini biasanya memberikan rangsangan kuat bagi
penemuan-penemuan yang tidak ditemukan di pedesaan, misalnya saja adanya
kereta, selokan dan terowongan air, sistem tulisan, sistem angka, birokrasi
pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifikasi sosial, serta masih banyak
lagi yang lainnya. Karenanya, maka wajar kalau di dalam pertumbuhannya sejumlah
kota menjadi pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta
sejumlah daya tari kemujuan lain.
Namun
demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan kejahatan, hedonisme,
pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepura-puraan. Singkatnya, kota
merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda dengan cirii budaya dominan.
Kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras)
tidak sebagaimana desa yang cenderung homogen. Terdapat sejumlah ciri yang
dapat membantu kita mengenali masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak
sosial, 3) keteraturan, 4) keramaian, 5) kepribadian urban.
Anominitas.
Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan cenderung menciptakan
anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota masyarakat kota habis ditengah
kumpulan manusia yang anonim. Keadaan ini dihasilkan oleh hebatnya
heterogenitas kehidupan kota yang ditandai oleh keanekaragaman ras, kelas
sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau agama, dan lain sebagainya.
Anominitas paling heboh di masyarakat kota biasanya terdapat di kampung kumuh,
yakni kampung tempat manusia, lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus
terlupakan. Mereka hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki
masa lalu yang jelas, dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan
kumpulan orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa
dengan peran sosialnya yang tida penting.
Jarak
Sosial. Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas, dan
impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini mungkin dapat
dilakukan dengan contoh berikut.
Jika
kita sedang berada di sesebuah mall atau di peron stasiun kereta kita tentu
berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja kita harus
bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita temui tersebut
bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan yang panjang dengan kita
atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya dapat mengenali orang-orang yang
lalu lalang itu melalui apa yang dapat kita lihat semisal pakaian, perhiasan,
sikap dan mungkin barang bawaannya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan
bahwa yang terjadi adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan
setiap oarang bisa saja bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di
dua tempat tersebut, namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta
tidak memiliki kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak
sosial yang nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat
diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah
menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam lagu
seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian.
Keteraturan.
Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau ketidakformalan, namun
tidak demikian dengan masyarakat kota. Keteraturan masyarakat kota sebagai
sesuatu yang wajar muncul akibat kepadatan penduduk dan spesialisasi pekerjaan.
Jadwal pekerjaan yang ketat yang harus dilakukan penyesuaian dengan 'jam
biologis' (waktu tidur, bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran
untuk mengatur sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum.
Lampu
pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, transportasi dan sejumlah
hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas perkotaan. Perkembangannya
bahkan, membangun rumah tinggal keluarga saja kini harus mengikuti Peraturan
Daerah. Di beberapa kota besar, ada sesuatu kawasan yang tidak boleh dibangun
sesuatu bangunan tanpa rekomendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga
dengan perlakuan warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan
mengingat pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus
dilindungi melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya.
Dengan
demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu kota, kecenderungannya
adalah semakin banyak pengaturan hidup yang pusat orientasinya adalah
pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan
masyarakat desa yang cenderung mengikuti harmoni alamiah. Tidak banyak
pengaturan hidup yang membatasi kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa.
Kehidupan cenderung berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan
cuaca.
Keramaian
(crowding). Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif yang dapat diukur,
sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif. Seseorang merasa berada
dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia kekurangan tempat atau kebebasan
pribadinya. Seseorang kawan mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai
untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan
sebaliknya, bahwa kota kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup
karena suasana kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal.
Kecenderungan
kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai oleh kepadatan penduduk yang secara
fisik tentu menghasilkan keramaian. Problem sosial yang muncul dari keramaian
biasanya terkait dengan penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial.
Dengan mengambil contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia,
memang tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam problem.
Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduknya paling tinggi di
dunia, namun tingkat kematian, penyakit, dan gangguan mental lebih rendah dari
pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton & Hunt 1996; 154). Keramaian
dan kepadatan penduduk tidak harus mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi
tampaknya kita harus mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas
lingkungan yang dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas
hidup manusia. Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan demi
menjaga kualitas hidupnya.
Kepribadian
urban. Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis Wirth, 1938)
menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat perkotaan menciptakan kepribadian yang
sangat berbeda dengan masyarakat desa. Orang kota cenderung memiliki
kepribadian anomis, materialistis, mandiri (self sufficient), impersonal,
tergesa-gesa, manipulatif, dan cenderung dalam perasaan tidak aman.
Seiring
dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotong-royong, ketetanggaan
serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun menurun. Hal ini menjadi
penyumbang utama munculnya kepribadian yang menempatkan 'diri' sebagai pusat
pertimbangan tindakan. Sikap tolong
menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan masyarakat desa
tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat semacam kekosongan sosial
yang alienatif yang menjadikan penduduk kota menjauh dari ciri kepribadian
desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar